Selasa, 30 Agustus 2016

Sastra : Antara Hidup dan Mati

Sastra : Antara Hidup dan Mati
Joyojuwoto*


Beberapa minggu yang lalu sekilas saya membaca status facebooknya Mas Ariadinata, beliau menuliskan bahwa icon sastra Indonesia telah mati. Tidak berlebihan beliau berkata yang demikian karena setelah 50 tahunan berjibaku di dunia sastra majalah Horison dinyatakan tutup buku di tahun 2016 dikarenakan biaya penerbitan cukup besar. Hal ini tentu sangat menyedihkan karena para pejuang sastra di majalah yang mulai terbit sekitar tahun 66an itu telah berjuang sekuat tenaga untuk menghidupi Horison, namun sayang karena kurangnya perhatian pemerintah maka mau tidak mau mereka harus berhenti. Horison akan sepenuhnya bermigrasi dari media cetak menjadi media daring (online).

Saya sendiri secara pribadi punya banyak kenangan dengan majalah Horison. Sekitar tahun 1998 yang saat itu saya duduk  di bangku SLTA, saya mendapati majalah horison di sekolah. Dari situlah saya mulai mengenal sastra, walau saya tidak mengikutinya dengan menulis secara baik dan disiplin. Dari majalah itu  pula saya mengenal nama-nama sastrawan Indonesia seperti Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Suripan Sadi Hutomo, Sutardji Calzoum Bachri, Asrul Sani, Putu Wijaya, penyair parodi Indonesia Hamid Jabbar, hingga Mbah Djajus Pete yang ternyata dari Bojonegoro.

Setelah membaca puisi dan cerpen yang disajikan di Horison lama kelamaan  akhirnya saya iseng-iseng juga menulis puisi, namun saya lupa puisi apa yang pertama kali saya tulis. Ada keindahan yang saya rasakan ketika berusaha merangkai kata untuk menjadi sebuah puisi yang utuh. Namun sayang majalah yang menarik gerbong sastra itu berhenti cetak. Tidak apa jika Horison berhenti cetak, namun bukan berarti perjuangan para sastrawan untuk menghidupkan sastra berhenti. Karena sastra adalah kehidupan itu sendiri, jika sastra berhenti maka denyut kehidupan tentu akan berhenti pula. Para sastrawan akan terus berkarya dan menginspirasi pemuda-pemuda Indonesia untuk turut serta meramaikan jagad kesusastraan Indonesia. Ini terbukti di era Cyber sastra banyak para sastrawan-sastrawan baru dan muda yang bergelut di medan sastra, baik itu di bidang puisi, cerpen, maupun novel.

Jadi tidak usah khawatir bapak-bapak pejuang sastra di barisan Horison. Benih yang engkau tebar akan menemukan lahannya, dan semoga segera mendapatkan pupuk serta air hujan yang cukup untuk pertumbuhannya, agar kelak tanaman itu menjadi tanaman yang baik yang akan memberikan buah manfaat dan oksigen baru bagi sebuah peradapan.

Kegandrungan terhadap karya sastra tidak hanya di kota-kota besar, sekarang di desa-desa mulai bermunculan komunitas sastra dan kegiatan-kegiatan yang bernyawa sastra. Tengok saja di Bojonegoro ada komunitas Atas langit, Arus Bawah, Langit Tobo, Lesung, Purnama Sastra kemudian di Tuban ada Kostra, Langit Tuban, Gerakan Tuban Menulis, FLP Tuban, bahkan di kota kecil Kab. Tuban tepatnya di Bangilan baru saja di launcing Komunitas Kali Kening yang juga menggeluti dunia literasi. Komunitas ini di gagas oleh anak-anak muda yang peduli terhadap literasi yang memang agaknya mulai meredup dan kehilangan gairah.

Kita memang tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah untuk menyuntikkan dana buat sastra, bagi mereka mungkin memang tidak penting. Hah !!! untuk apa sih sastra itu, mungkin begitu pikirnya. Oleh karena itu hemat saya komunitas-komunitas itu memang harus kreatif untuk menghidupi dirinya sendiri. Jangan pernah berharap pada apapun kecuali pada Tuhan.

Hal yang bisa dilakukan oleh komunitas yang bergerak di bidang sastra atau literasi adalah dengan memproduksi tulisan tentunya. Baik itu berupa buku, majalah, jurnal, ataupun booklet. Hasil produksi itu bisa dijual untuk menghidupi komunitas tersebut. Walau kita tahu dan sadar bahwa pasar buku tidaklah seramai pasar malam ataupun warung sate, soto, dan bakso. Selain itu mungkin komunitas bisa juga bersinergi dengan lembaga sekolah yang punya perhatian terhadap dunia tulis menulis, caranya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kepada peserta didik. Dari situ mungkin komunitas bisa mengambil rupiah demi keberlangsungan komunitas tentunya.

Bagaimanapun keadaannya budaya baca, tulis, atau budaya literasi khususnya dalam bidang sastra jangan sampai berhenti mati. Harus ada kreasi-kreasi baru dan inovasi agar sastra diterima dengan baik dan renyah oleh masyarakat. Agar masyarakat memberikan dukungan mau tidak mau sastra juga harus bisa hadir memberikan solusi terhadap berbagai problematika yang ada, menjadi problem solving bagi keberlangsungan kehidupan. Jadi sastra jangan hanya terpaku pada bunga-bunga kata tanpa makna serta memposisikan diri di menara gading yang lepas dari jangkuan masyarakat. Sastra harus hidup membaur dan berdampingan dengan masyarakat agar sastra tidak tercerabut dari akarnya. Karena pada hakekatnya sastra akan kehilangan makna jika meninggalkan masyarakat di mana sastra seharusnya berada di dalamnya.

Jadi sastra harus bergeliat bersama masyarakat, bergerak dan bersenyawa dengan gerakan sosial yang ada. Tanpa itu sastra akan mati. Bagaimanapun juga kita harus merapatkan barisan untuk menyelamatkan dan mewariskan sastra pada generasi mendatang, karena bagaimanapun sastra juga menjadi bagian dari sejarah yang ikut serta menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Salam Sastra.

*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak  Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.

1 komentar: