Kamis, 31 Januari 2019

NU Nggendong dan Nggandeng Indonesia


NU Nggendong dan Nggandeng Indonesia
Oleh: Joyo Juwoto

Hari ini Nahdlatul Ulama (NU) berulang tahun yang ke 93 tahun, sebuah usia yang cukup matang bagi sebuah organisasi untuk mentasbihkan dirinya sebagai organisasi besar dengan jumlah masa yang cukup banyak dan beragam.  Mau tidak mau dengan adanya proses dan dinamika yang cukup panjang yang menyertai perjalanan NU dengan segala jejak sejarah yang dilaluinya, menjadikan jam’iyyah ini menjadi sebuah rumah besar, aset ideologis, dan pengayom bagi masyarakat Indonesia.
Secara historis kita semua tahu bahwa NU adalah salah satu dari kakak kandung jabang bayi yang bernama Indonesia. NU dilahirkan sembilan belas tahun lebih tua dibandingkan dengan negara Indonesia. NU bersama kakak kandung organisasi lainnya seperti Muhammadiyah ikut serta merawat, ngemong, nggendong, nggandeng bahkan ikut serta membidani lahirnya negara kesatuan republik Indonesia. Saya rasa semua tahu dan tidak memungkiri akan hal ini, sejarah telah mencatatnya dengan baik.
Peran NU dalam membersamai Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak perlu diragukan dan dipertanyakan, jauh sebelum negara Indonesia lahir, Mbah Wahab Chasbullah setelah kepulangannya dari menuntut ilmu di Makkah, beliau mendidik para pemuda dalam wadah Nahdlatul Wathan. Mbah Wahab yang terkenal cerdik ini mengajarkan ilmu pengetahuan dan menggembleng para pemuda untuk cinta terhadap tanah airnya.
Setiap akan memulai kegiatan belajar mengajar, bersama santri-santrinya, mbah Wahab menyanyikan lagu Yaa Lal Wathan atau dikenal dengan mars Syubbanul Wathan (Pemuda cinta tanah air) yang lagunya sering dinyanyikan dalam perayaan-perayaan dan kegiatan Nahdlatul Ulama. Mbah Wahab menanamkan dalam dada para pemuda benih-benih rasa cinta tanah air, rasa nasionalisme, sehingga kelak bibit-bibit itu akan menjadi tanaman yang subur dan melimpah di Bumi Nusantara.
Pada kenyataannya memang apa yang menjadi cita-cita besar mbah Wahab, Mbah Hasyim Asy’ari dan kiai-kiai dalam wadah NU terbukti. Sebelum Indonesia lahir peran besar para santri, kiai, dan pesantren dalam mewujudkan negara kesatuan republik Indonesia menjadi bukti nyata. Pada saat penjajahan Belanda, Jepang, dan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan sejarah telah mencatat dengan tinta keabadian bahwa di situ ada peran NU, ada laskar Hisbullah, ada Banser, ada peran dan suwuk dari Kiai-kiai NU.
Saat republik Indonesia baru seumur jagung, pascakemerdekaan Indonesia baru saja dikumandangkan, tentara Belanda ingin kembali menguasai bekas negara jajahannya, Bung Karno sebagai pemimpin besar revolusi Indonesia meminta saran dan fatwa dari Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari. Jawaban dari Mbah Hasyim adalah resolusi 22 Oktober 1945, seruan jihad fi sabilillah menggelora penuh tekad dan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari penjahahan Belanda. Hasilnya adalah perang besar 10 Nopember di Surabaya, yang melegenda seantero dunia.
Dalam setiap tahapan sejarah dengan segala konsekuensinya NU selalu tampil terdepan nggendong dan nggandeng negara Indonesia. Hampir tidak pernah organisasi yang didirikan oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari meninggalkan Indonesia seorang diri. NU ibarat kakak kandung yang mengerti lahir batinnya Indonesia, karena kedekatan secara emosional inilah NU mengerti apa yang baik dan yang kurang baik bagi ke-Indonesiaan. NU selalu hadir dan tampil di garda terdepan sebagai penjaga, pembela, pengayom bagi ke-Indonesiaan kita.
NU sesuai dengan tagline Harlah NU yang ke-93 “Menyebarkan Islam yang damai dan toleran” karena NU selalu mampu menemukan bentuk Islam yang mengalir dan meresap dalam nilai dan kultur budaya bangsa Indonesia tanpa kehilangan nilai-nilai keislaman itu sendiri, NU selalu bisa menerjemahkan dan membuat pola Islam yang ramah sebagai perwujudan dari rahmatan lil ‘alamin, atau memayu hayuning bawana dalam nilai ke-Indonesiaan-ke-Nusantaraan.

Semoga Nahdatul Ulama selalu bisa nggendong dan ngandeng negara Indonesia. Dirgahayu yang ke- 93, rahayu, rahayu, Semoga NU selalu menjadi rumah besar bagi ke-Indonesiaan yang rahmatan lil ‘alamin. Amin.
Semoga di harlah yang ke- 93 ini NU terus istiqomah mewujudkan kedamaian di bumi Nusantara dan menjadi salah satu wasilah menuju Indonesia yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, Indonesia yang baik yang adil, makmur, sejahtera, damai penuh keberkahan dan dalam lindungan dan ampunan dari Allah swt.


*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban. Penulis Buku Dalang Kentrung Terakhir.

Rabu, 30 Januari 2019

Inilah wasiat Mbah Hasyim Muzadi kepada Ketua MPR Zulkifli Hasan

*Inilah wasiat Mbah Hasyim Muzadi kepada Ketua MPR Zulkifli Hasan*
Oleh: Joyo Juwoto

Dalam kunjungannya di pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, ketua MPR Zulkifli Hasan menceritakan pesan yang bisa disebut sebagai wasiat dari KH. Hasyim Muzadi yang ditujukan kepada beliau beberapa bulan sebelum Mbah Hasyim kapundut. Pesan ini menyangkut dengan urusan umat dan kebangsaan.

Pesan ini belum pernah beliau publikasikan dan beliau ceritakan kepada publik, entah apa alasannya. Namun ketika beliau hadir dalam acara sosialisasi empat pilar kebangsaan yang dilaksanakan di pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, Rabu, 30 Januari 2019, Bang Zul, panggilan akrab Zulkifli Hasan menceritakan wasiat yang telah diterimanya kepada para santri dan asatidz ponpes ASSALAM Bangilan Tuban.

"Saya harus menyampaikan pesan dan wasiat mbah Hasyim Muzadi ini, karena ini adalah kampung beliau." Ujar Bang Zul.

"Saya dan Kiai Hasyim Muzadi berkawan cukup lama dan cukup dekat sekali, oleh karena itu beliau menitipkan ini kepada saya."

"Pesan beliau sebelum meninggal dunia ada dua. Pertama, saya disuruh menghadap bapak Jokowi agar Ibu Khofifah Indar Parawansa diijinkan mencalonkan diri sebagai gubernur Jatim. Alhamdulillah pesan ini sudah saya laksanakan, dan Bu Khofifah sudah saya kawal hingga ke kursi gubernur, sebagaimana pesan dari Mbah Hasyim."

"Pesan kedua yang disampaikan kepada saya dan sampai saat ini belum saya laksanakan adalah saya diminta untuk mengumpulkan 6000 kiai dan ulama, dan saya telah mendapatkan dokumennya, cuma saya kalau ingat ini merasa berdosa, karena belum melaksanakan permintaan beliau."

Selain menceritakan pesan dari Mbah Hasyim, Bang Zul juga memberikan motivasi kepada santri untuk terus semangat berjuang dengan tanpa lelah untuk meraih apa yang dicita-citakan.
"Hidup ini tidak mudah maka perlu perjuangan yang keras." Kata Bang Zul menutup pidatonya.

Senin, 28 Januari 2019

Menyesap Barakah Bumi Tulungagung

*Menyesap Barakah Bumi Tulungagung*
Oleh: Joyo Juwoto

Tulungagung, sebuah kota kabupaten yang berada di 166 Km ke arah selatan dari tempat  tinggal saya. Di kota Tulungagung inilah kopdar II komunitas Sahabat Pena Kita (SPK) digelar. Sebagai salah satu anggota komunitas SPK, saya meniatkan diri untuk hadir di kopdar yang dilaksanakan pada Minggu, 26 Januari 2019 bertempat di gedung rektorat IAIN lantai 3 Tulungagung.

Saya termasuk anggota yang selalu punya seribu alasan untuk tidak hadir, entah itu karena kesibukan ataupun karena hal-hal lain,  walaupun sebenarnya kondisi itu bisa diubah menjadi selalu punya seribu alasan untuk hadir, Sebagaimana yang dikatakan oleh pak Emcho, panggilan akrab pak Much. Khoiri, salah satu senior di SPK.

Karena suatu hal, sabtu malam sesudah adzan isya' saya baru bisa berangkat menuju Tulungagung naik sepeda motor. Saya rasa jarak 166 km belum terlalu jauh bagi usia saya yang masih diangka 30an. Walau belum pernah pergi ke Tulungagung saya tak berfikir banyak, selagi roda berputar saya yakin pasti sampai di tempat tujuan. Apalagi sekarang jamannya GPS.

Rute terdekat yang harus saya tempuh sebagaimana petunjuk mbah GPS, dari Bangilan menuju Bojonegoro lanjut ke arah jalur selatan melewati jalur hutan sepanjang kurang lebih 30 KM sebelum memasuki perkampungan di kabupaten Nganjuk. Sebenarnya istri saya tidak tega membiarkan suaminya menempuh hutan bersepeda sendirian di tengah malam, namun niat dan tekad saya purna, saya harus datang di kopdar bagaimanapun caranya. 

Karena memang belum tahu rutenya, saya mengandalkan mbah GPS memandu perjalanan saya di malam gelap yang sesekali diiringi rintik hujan, sungguh syahdu sekali. Sekitar pukul 23.30 WIB saya sampai di Kediri, karena capek dan mengantuk saya istirahat dan tidur di salah satu masjid di sana. Pagi sesudah subuh perjalanan saya lanjutkan hingga akhirnya sampai juga di gerbang IAIN Tulungagung. Lega.

Seharian penuh seluruh rangkaian acara kopdar saya simak dan saya ikuti, mulai dari pembukaan, materi kepenulisan bersama pak Wawan Susetya, pak Yusri Fajar, dan juga pak Ngainun Naim, hingga acara ramah tamah khusus anggota SPK yang berlangsung sesudah seminar literasi, juga saya ikuti hingga selesai sekitar pukul 16.30 WIB. Sesudah itu dilanjutkan foto-foto bersama. Saya tentu sangat senang bisa mengikuti seluruh rangkaian acara kopdar hingga selesai. 

Setelah itu sekitar pukul 17.30 WIB saya langsung pulang diantar Mas Agus Hariono sampai di Kediri, sekalian dibontoti oleh-oleh khas kota Kediri. Perjalanan selanjutnya sama dengan keberangkatan saya, yaitu berjalan dalam gelap diiringi rintik hujan sambil  menyimak komando Mbah GPS yang mengarahkan perjalanan saya hingga sampai di rumah kembali. Alhamdulillah.

Kopdar SPK di Tulungagung memang sudah saya rencanakan dan saya niatkan jauh-jauh hari untuk hadir, oleh karena itu bagaimanapun kondisinya saya berusaha datang. Selain untuk kopdar saya meniatkan perjalanan saya menuju Tulungagung adalah perjalanan ibadah dan tholabul ilmi. Sebagaimana yang saya pahami dari hadits Rasulullah Saw. yang berbunyi: *"Man salaka thoriiqan yaltamisu fiihi Ilman sahhalallahu lahu thoriiqan ilal jannah".*

Selain itu dalam menempuh perjalanan menuju Tulungagung saya juga berkhusnudzon, qadarullah bisa menyesap barakah dari bumi Tulungagung. Tulungagung sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Jawa yang artinya pertolongan besar. Berarti sesuai namanya tempat ini dulu punya akar sejarah yang berkaitan dengan pertolongan. Saya hanya menduga secara linguistik saja, entah benar entah salah. 

Menurut saya masyarakat Jawa memang memiliki tradisi unik ketika menamai sesuatu. Ada doa dan harapan yang biasanya diselipkan dalam sebuah nama, entah itu nama anak, nama tempat, termasuk nama kota Tulungagung tentunya. 

Melewati kota Kediri sambil beristirahat saya mengotak-atik makna dari nama tersebut. Kediri menurut saya memiliki makna simbolik yang luar biasa, Ke(diri), berarti menuju kepada diri sendiri. Maksudnya manusia sesibuk apapun jangan lupa menengok kedalam batinnya, ke dalam jiwanya, karena di situlah terdapat telaga kontemplasi di mana manusia bisa merenungkan kesejatian dan makna hidup yang hakiki. Rasulullah Saw bersabda: *istafti qalbaka* mintalah fatwa pada hati nuranimu. 

Jadi setelah perjalanan menempuh Ke(diri) kita akan sampai pada pertolongan agung, atau sampai ke Tulungagung. Mungkin makna ini hanya sekedar perenungan dan cara saya mbombong diri di tengah perjalanan menuju kopdar ke Tulungagung. 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Rektor IAIN Tulungagung, Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag ternyata memang benar, dalam sejarahnya Tulungagung pada zaman dahulu mempunyai peranan besar dalam memberikan pengajaran agama untuk kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Jika dulu di Kediri ada kerajaan Daha, di Ponorogo ada Wengker, di Sidoarjo ada Jenggala, maka Tulungagung menjadi tempatnya para resi atau disebut sebagai keresian. Hal ini yang mungkin berkaitan dengan nama Tulungagung. Karena biasanya karesian ini digunakan pihak kerajaan maupun  masyarakat tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan.

Apapun itu, saya menuju Tulungagung untuk kopdar dengan anggota SPK dalam rangka mencari pertolongan besar guna meningkatkan kembali semangat saya dalam menulis yang mulai kendor, semoga pertemuan dengan para guru, sahabat, dan para sesepuh SPK di Tulungagung menjadikan semangat berliterasi kembali membara. Salam.

*Joyo Juwoto, penulis Dalang Kentrung Terakhir. Tinggal di Bangilan Tuban.*

Minggu, 20 Januari 2019

Belajar Menulis di SPK

Belajar Menulis di SPK
Oleh: Joyo Juwoto

Belajar apapun membutuhkan waktu yang cukup lama, begitu juga dengan belajar menulis sebagaimana yang saya rasakan sendiri cukup lama dan tidak ada masa selesainya. Semenjak gabung di group kepenulisan saya merasa makin lama makin banyak hal yang tidak saya ketahui. Ternyata memang tidak ada yang instan di dunia ini semua ada waktu dan proses panjang di mana kita harus terus bersabar untuk menjadi seorang pembelajar.

Tidak mudah memang untuk terus berproses menjadi sesuatu atau meraih sesuatu namun ternyata di tengah perjalanan banyak hal yang kadang tidak bisa kita prediksi dan kita bayangkan. Sebagaimana perjalanan belajar menulis saya di Sahabat Pena Kita (SPK) yang belum ada progres dan kemajuan berarti, padahal sudah cukup lama saya berada di sana, bahkan bisa dibilang termasuk dari kelompok "assabiqunal awwalun" di dalam group yang sudah mengalami metamorfosa itu.

Untuk nama group SPK sendiri memang baru berjalan satu semester, namun sebelum SPK group yang bernama SPN sudah ada sejak tahun 2015, dan saya sudah memulai belajar di sana. Karena suatu dinamika akhirnya group SPN berubah nama menjadi SPK dan saya masih tetap setia melanjutkan belajar saya hingga detik ini.

Dari masa SPN hingga berganti nama menjadi SPK saya berusaha untuk memenuhi kewajiban sebagai anggota, yaitu mengirimkan tulisan wajib dan tulisan sunnah. Sebenarnya kalau dipikir-pikir kewajiban itu sangat ringan, bayangkan menulis satu tema dalam satu bulan tentu bukan hal yang sulit, walau demikian ternyata banyak juga beberapa anggota yang tidak setor tulisan, termasuk saya pernah telat kurang dari lima menit sehingga harus mendapatkan pentol hitam sebagai hukumannya.

Jika di group SPK ada sistem perankingan tentu saya berada di level paling bawah, saya menyadari itu, karena menurut pengamatan saya, selain rutin mengirimkan tulisan wajib dan sunnah, para anggota di SPK memang sudah terbiasa menulis setiap hari sedang saya  kebanyakan memang hanya menulis untuk setoran wajib dan sunnah saja. Dan ini tentu menjadi koreksi bagi diri saya sendiri.

Walaupun demikian, mumpung ada kesempatan menulis untuk mengungkapkan harapan dan keinginan demi kemajuan seluruh anggota SPK, yang tentu setidaknya setiap anggota SPK mempunyai karya yang diterbitkan oleh penerbit mayor, saya berharap ada program pendampingan intensif bagi anggota yang belum mampu menembus penerbit mayor seperti saya ini.

Bagaimanapun juga sebuah karya yang mampu menembus penerbit mayor tentu akan menjadikan si penulis pemula lebih pede dan mempunyai "rasa" sebagai penulis, walaupun memang bukan itu yang sebenarnya menjadi tolak ukur dalam berkarya. Tentu selain kebanggaan  yang paling penting adalah standar  kepenulisan  kita  sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh penerbit mayor. Saya rasa alasan terakhir ini yang menjadikan penulis pemula punya keinginan karyanya masuk dapur penerbit mayor.

Saya tentu sangat senang jika SPK ada program pendampingan yang demikian, karena saya termasuk salah satu anggota yang belum mampu menerbitkan buku di penerbit mayor, kalau menerbitkan buku solo secara mandiri saya kira cukup mudah, bisa dibilang jika cukup punya kemampuan finansial dan mau tentu karya indie bisa segera terealisasikan. Pertanyaannya walaupun karya kita terbitkan secara indie apakah buku itu sebenarnya memang layak untuk terbit?

Layak terbit di sini tentu bukan sekedar materi yang ada di dalam buku, namun juga bagaimana mengelola pemasaran pasca penerbitan juga bagian terpenting bagi sebuah dunia perbukuan, karena pada dasarnya menulis buku untuk dibaca khalayak umum tentunya. Jika buku kita tersebar luas dimungkinkan buku itu banyak dibaca, dan ini tentu yang menjadi salah satu alasan mengapa menulis buku.

Oleh karena itu diakui atau tidak sebuah karya tulis bisa terbit di penerbit mayor tentu menjadi salah satu target bagi seorang penulis, termasuk saya tentunya. Walau sampai detik ini saya belum mencapai maqam itu, semoga ke depan target itu terpenuhi. Yang paling penting tentu meningkatkan kemampuan menulis dan membaca dan terus berusaha menjadi kunci utama sebuah keberhasilan untuk mencapai apa yang kita targetkan. Salam literasi.

*Joyo Juwoto, Penulis buku Dalang Kentrung Terakhir. Tinggal di Bangilan Tuban. Tulisannya juga bisa diakses di www.joyojuwoto.com

Senin, 14 Januari 2019

Cerita Ludruk dan relevansinya dengan perpolitikan Nasional


Cerita Ludruk dan relevansinya dengan perpolitikan Nasional
Oleh: Joyo Juwoto

Sekitar tahun 80-90an ludruk masih menjadi tontonan yang dipentaskan dan banyak digemari oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Sewaktu kecil saya sering menonton ludruk yang biasa pentas di gedung pertunjukan yang dibuat semi permanen.  Gedung ludruk dibangun di sebuah tanah lapang di desa saya, dinding pembatasnya memakai seng, di dalamnya ada sebuah panggung untuk pementasan ludruk.

Masyarakat yang menonton ludruk harus melewati pintu loket di pintu depan untuk mendapatkan karcis, dengan selembar karcis itulah masyarakat bisa menikmati seni ludruk yang biasanya dipentaskan sesudah isya’. Cerita ludruk yang masih saya ingat dan populer di tengah masyarakat diantaranya adalah: Maling Cluring, Sampek ingtai, Warok Suromenggolo Suminten Edan, Sogol Pendekar Sumur Gemuling, Sarib Tambak Oso, Jaka Sambang Pendekar Gunung Gangsir dan lain sebagainya.

Saya rasa generasi 80 hingga 90an sangat hapal dengan lakon-lakon yang saya sebutkan di atas, dan mampu membaca lakon-lakon dalam ludruk tersebut mempunyai relevansi nilai sosial, politik dan kebudayaan dalam masyarakat kita hari ini.

Lakon cerita yang dipentaskan dalam seni ludruk hampir memiliki kesamaan alur dan ide cerita, kisah yang dipentaskan cukup dekat dengan kehidupan masyarakat bawah, sarat dengan kondisi masyarakat yang mengalami banyak diskriminasi sosial dan politik kepentingan. Seperti lakon Sogol Pedekar Sumur Gemuling, Sakerah, Jaka Sambang, dan Sarib Tambak Oso. Lakon tersebut mengisahkan perjuangan dari kaum rakyat jelata dalam melawan kesewenang-wenangan penguasa, yaitu kaum ningrat yang didukung oleh goverman Belanda saat itu.

Kesamaan dari lakon-lakon tersebut adalah kisah perjuangan kaum proletar yang membela rakyat jelata, setiap perjuangan mereka selalu saja dikalahkan oleh orang-orang dekat mereka yang menjilat penguasa goverman Belanda. Orang-orang yang mengkhianati perjuangan para tokoh tersebut dengan cara menjual rahasia kelemahan dari kesaktian pendekar-pendekar tersebut,  yang akhirnya perjuangan mereka gagal dan nasib pendekar-pendekar itu tewas di tangan Belanda.

Kisah-kisah yang sedemikian ini tentu memiliki relevansi dengan kondisi sosial politik di tengah masyarakat kita saat ini, apalagi di era tahun politik yang cukup gerah dan memanas, ada saja hal yang dipakai senjata untuk menghancurkan lawan politiknya, baik dengan cara-cara yang konstitusional hingga pada hal-hal yang kadang berada di luar jangkauan akal sehat. Semua itu dilakukan demi politik praktis, demi kekuasaan, demi harta dan hal keduniaan lainnya.

Hari ini kita bisa membaca di tengah masyarakat hanya gara-gara pilihan politik yang berbeda persatuan terancam pecah, antar teman saling terjadi gesekan, bahkan gara-gara politik juga mayat yang sudah tidak memiliki dosa harus menanggung petaka terancam tidak disholatkan,  kuburan dibongkar juga gara-gara perbedaan pilihan dalam politik. Sungguh mengenaskan.

Dunia perpolitikan kita hari ini begitu memuakkan dan sangat kotor, wajar jika masyarakat kita anti dengan kata politik, masyarakat berusaha menjauhkan aktivitasnya dengan kata politik, lembaga agama dan tokoh-tokohnya berusaha menjaga jarak dengan politik, padahal lembaga-lembaga dalam masyarakat tersebut ada adalah bagian dari perpolitikan juga, sungguh naif.

Semoga kita semuanya menyadari kondisi yang mengkhawatirkan bagi persatuan dan kesatuab nasional kita, seyogyanya kita tahu perbedaan pilihan politik adalah konsekuensi yang harus kita tanggung dalam berdemokrasi yang kita cita-citakan bersama, kalau memang kita tidak memiliki sense terhadap perbedaan apakah perlu kita kembali ke rezim satu kekuasaan yang melahirkan politik tangan besi? saya tentu tak perlu menjawabnya.

Sabtu, 12 Januari 2019

Surat balasan dari Vanesa buat Mas Aam


Surat balasan dari Vanesa buat Mas Aam
Oleh: VA

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Selamat pagi Mas Aam, mohon maaf jika surat balasan  dari saya ini mengejutkan mas Aam,   tapi saya yakin di pagi yang cerah ini mas Aam sudah sarapan pagi ditemani istri tercinta. Jadi kaget-kaget sedikit saya rasa akan menambah nafsu makan mas Aam yang selalu move on sejak dalam pikiran.
Mas Aam tentu tidak mengira, jika Vanesa membaca surat mas Aam kan? hehe... seperti Vanesa sendiri yang juga tidak mengira, kalau
di tengah kesibukan mas Aam sebagai seorang suami, sebagai seorang calon bapak, sebagai seorang wakaprodi, sebagai seorang insan pers yang tentu punya kesibukan yang tiada terkira sempat-sempatnya menulis surat buat Vanesa. 🥰🥰

Kesan pertama membaca surat dari mas Aam saya merasa tersandung dan berbunga-bunga, lha ketepakan surat itu saya baca sambil jalan pagi, mas, Vanesa kaget, kok ada wong ganteng yang sebelumnya tidak pernah masuk daftar list tamu saya kok perhatian banget, mengirimi saya surat.
Bagi saya mas, di tengah badai yang sedang Vanesa alami, surat itu bisa menjadi semacam soft terapi dan suntikan semangat, surat  itu rasa-rasanya lebih berharga dibanding uang 80 juta. Suer mas!

Ya begitulah mas, sebagaimana yang mas tulis dalam surat, masyarakat dan pers tidak adil memandang satu persoalan, mengapa yang banyak dishot kok kaum perempuan, sedang pihak laki-laki harus pakai inisial segala. Tidak hanya itu, sampai warna nganu saja dipakai judul berita. Apa tidak ada yang lebih barakah dari sekedar nganu? 

Nganu saja dishare ke sana kemari,  kebangetan. Jian kebangetan temen-temen njenengan itu mas.

Vanesa sebenarnya pengin marah mas, tapi jika ingat senyum mas Aam yang semriwing urung marah saya, saya jadi gak tega gitu. Vanesa mengira seluruh insan pers adalah kusir cikar semua, meminjam istilah Sungging Raga (ini ada istilahnya dalam bahasa Jawa).

Tahu gak mas? Setelah Vanesa mendapatkan surat yang mas Aam kirimkan, surat itu saya print menjadi beberapa lembar mas. Lembar-lembar itu Vanesa simpan sebagai rajah, satunya saya buat perahu mas, ya, perahu Nuh yang menyelamatkan kaumnya dari murka Tuhan.

Sementara hanya itu yang dapat dik Vanesa sampaikan lewat balasan surat ini mas, lain waktu semoga saja adik bisa kembali menerima surat dari mas, atau bahkan lebih dari sekedar surat. Mas Aam mungkin bertanya dalam hati,  mengapa diakhir tulisan ini Vanesa pakai istilah adik, semoga mas peka dan paham. Terima kasih atas perhatiannya. Salam dari adik Vanesa.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi.wb.

Jumat, 11 Januari 2019

Bacalah bukan bakarlah!

Bacalah bukan bakarlah!
Oleh: Joyo Juwoto

Saya masih ingat ketika pertama kali berkunjung ke perpustakaan pataba milik keluarga Toer, saat masuk ke halaman yang cukup luas saya dan teman-teman disambut oleh beberapa ekor kambing peliharaan mbah soesilo Toer.

Rumah Soesilo Toer yang juga difungsikan sebagai perpustakaan itu banyak ditumbuhi oleh rumput rumput liar, sangat cocok jika kambing-kambing tersebut dibiarkan hidup bebas dan liar.

Tak berselang lama pemilik rumah sekaligus tuan dari kambing-kambing pun ikut keluar menyambut kedatangan kami, beliau adalah soesilo Toer. Kakek yang sudah berumur ini menyambut kami dengan wajah yang sumringah. Senyumnya mengembang diantara kumisnya yang sudah memutih rata.

" Ini dari mana semuanya? Tanya Mbah soesilo Toer ramah. " mari mari silakan masuk" beliau sambil menggamit satu dari kami.

"Oh, kami dari Bangilan Tuban" jawab teman kami yang digamit oleh Mbah soesilo Toer.

Saat akan masuk rumah, saya terpaku melihat sebuah tulisan yang dipasang di dinding perpustakaan pataba. Tulisan itu saya baca keras-keras, "bacalah, bukan bakarlah!

Saya menduga dan pasti dugaan saya benar bahwa tulisan itu sebagai bentuk pembelaan dan protes atas pembakaran buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Jadi saya tidak perlu menanyakan akan hal itu kepada Mbah soesilo Toer.

Walau tidak ditanya, mbah Soes mengatakan kepada kami, "Tulisan bacalah bukan bakarlah! itu kalau dulu karena buku-bukunya Pram banyak yang mendapat perlakuan vandalis, dibakar, oleh siapa? Saya rasa kalian sudah tahu"  Mbah Soes menjelaskan kepada kami, walau tanpa kami pinta.

"Itu dulu, dulu sekali, sekarang, kondisinya sudah berbeda, kalimat sama tersebut dapat kita tafsirkan ulang, "Bacalah dan bakarlah!..., titik-titiknya itu bisa kalian isi sendiri"  lanjut Mbah soes sambil memamerkan gigi-giginya yang sudah ompong beberapa.

Sambil memasuki ruangan perpustakaan yang tidak begitu luas, namun berisi banyak lembaran mutiara, Mbah Soes terus bercerita kepada kami banyak hal, sungguh beliau seorang kakek yang sangat mengasyikkan.

Saya sebenarnya tidak habis pikir, sebuah buku harus dimusuhi sedemikian rupa hingga perlu dibakar segala. Bagi saya membaca apapun it's oke, tidak ada masalah. Mau buku kiri mau buku kanan, mau atas mau bawah no problem. Buku adalah buku yang tetap tunduk di bawah nalar sadar dan pikiran sehat kita.

Mencurigai buku secara berlebihan dan menganggap buku bisa melahirkan kejahatan adalah tanda dari lemahnya literasi kita. Saya maklum ada buku yang ditulis dengan tujuan propaganda namun tetap saja akal sehat yang akan mengeksekusi paham yang ada di dalam buku tersebut. Pembaca tentu boleh berbeda pandangan dalam hal ini dengan apa yang saya kemukakan. Sah.

Jadi membaca bukan sekedar menelan mentah-mentah informasi yang ada di dalam buku, namun seorang pembaca dituntut untuk menjadi pembaca yang aktif, kreatif sekaligus kurator bagi sebuah buku itu sendiri.

Jika budaya literasi tumbuh subur dan menjadi bagian dari gaya hidup dan kebudayaan masyarakat, saya yakin tak ada buku berbahaya di hadapan kita, semua buku adalah sama menyajikan sebuah informasi baik itu kiri maupun kanan, tinggal kita yang akan mengeksekusi di level aksi nyata, "Fa alhamahaa fujuuraha wa taqwaaha".

Bukan hanya itu saja, masyarakat yang melek literasi menurut pendapat banyak pakar bukan saja mampu menjadikan masyarakat arif dan bijaksana dalam berperilaku, namun juga menjadikan masyarakat mampu memilah dan memilih informasi yang valid  dan dapat dipertanggungjawabkan, serta menghindarkan masyarakat dari berita hoax yang sekarang berada di titik ledaknya.

Benar sekali sebuah tulisan yang di tempel di dinding Pataba yang saya kunjungi beberapa waktu silam, "Bacalah, bukan bakarlah! Salam literasi, salam Iqra'.

Joyo Juwoto, pegiat literasi di Komunitas Kali kening, tinggal di Bangilan Tuban.

Kamis, 10 Januari 2019

Senja Pada Secangkir Kopi

Senja Pada Secangkir Kopi
Oleh: Joyo Juwoto

Di sebuah beranda rumah
Yang menyimpan sejuta cerita
Di mana kita arungi bersama samudra kehidupan

Dan waktu tak pernah berhenti
Memintal setiap kenangan dan hembusan nafas kita

Anak-anak terlahir dan kemudian beranjak remaja
Menghiasai fragmen sepi dengan canda tawa
Rengekan, dan juga tangisan

Di sebuah beranda rumah
Yang mengukir segala kenangan
Di mana kita berdua menjadi tokoh utama dalam alurnya

Beribu suka dan duka kita eja dalam lembar kehidupan
Dalam dekapan semesta cinta yang kita bangun bersama

Di sebuah beranda rumah
Pada secangkir kopi senja yang kita teguk
Mengabadikan cinta dan kebersamaan dalam mengarungi samudera kehidupan

Bangilan, 10/1/19

Rabu, 09 Januari 2019

Mata Senja

Mata Senja
Oleh: Joyo Juwoto

Bening matamu adalah telaga
Yang menggenang tenang
Di tepian senja merona tua
Saat matahari hinggap di pekarangan rumah
Angin sore berhembus mesra
Membisikkan kata-kata cinta
Ah, kau yang telah membersamai hari-hari penuh harmoni
Mengasuh masa bersama membesarkan harapan dan cita-cita
Mari duduk di sini
Di samping kehangatan dan kebersamaan
Mari bersama merajut rindu
Yang tak layu hingga senja tenggelam di ufuk sana
Bangilan, 9/1/19