Sastra : Antara Hidup dan Mati
Joyojuwoto*
Beberapa minggu yang
lalu sekilas saya membaca status facebooknya Mas Ariadinata, beliau menuliskan
bahwa icon sastra Indonesia telah mati. Tidak berlebihan beliau berkata yang
demikian karena setelah 50 tahunan berjibaku di dunia sastra majalah Horison
dinyatakan tutup buku di tahun 2016 dikarenakan biaya penerbitan cukup besar.
Hal ini tentu sangat menyedihkan karena para pejuang sastra di majalah yang
mulai terbit sekitar tahun 66an itu telah berjuang sekuat tenaga untuk
menghidupi Horison, namun sayang karena kurangnya perhatian pemerintah maka mau
tidak mau mereka harus berhenti. Horison akan sepenuhnya bermigrasi dari media
cetak menjadi media daring (online).
Saya sendiri secara
pribadi punya banyak kenangan dengan majalah Horison. Sekitar tahun 1998 yang
saat itu saya duduk di bangku SLTA, saya
mendapati majalah horison di sekolah. Dari situlah saya mulai mengenal sastra,
walau saya tidak mengikutinya dengan menulis secara baik dan disiplin. Dari
majalah itu pula saya mengenal nama-nama
sastrawan Indonesia seperti Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Suripan Sadi
Hutomo, Sutardji Calzoum Bachri, Asrul Sani, Putu Wijaya, penyair parodi
Indonesia Hamid Jabbar, hingga Mbah Djajus Pete yang ternyata dari Bojonegoro.
Setelah membaca puisi
dan cerpen yang disajikan di Horison lama kelamaan akhirnya saya iseng-iseng juga menulis puisi,
namun saya lupa puisi apa yang pertama kali saya tulis. Ada keindahan yang saya
rasakan ketika berusaha merangkai kata untuk menjadi sebuah puisi yang utuh.
Namun sayang majalah yang menarik gerbong sastra itu berhenti cetak. Tidak apa
jika Horison berhenti cetak, namun bukan berarti perjuangan para sastrawan
untuk menghidupkan sastra berhenti. Karena sastra adalah kehidupan itu sendiri,
jika sastra berhenti maka denyut kehidupan tentu akan berhenti pula. Para
sastrawan akan terus berkarya dan menginspirasi pemuda-pemuda Indonesia untuk
turut serta meramaikan jagad kesusastraan Indonesia. Ini terbukti di era Cyber
sastra banyak para sastrawan-sastrawan baru dan muda yang bergelut di medan
sastra, baik itu di bidang puisi, cerpen, maupun novel.
Jadi tidak usah
khawatir bapak-bapak pejuang sastra di barisan Horison. Benih yang engkau tebar
akan menemukan lahannya, dan semoga segera mendapatkan pupuk serta air hujan
yang cukup untuk pertumbuhannya, agar kelak tanaman itu menjadi tanaman yang
baik yang akan memberikan buah manfaat dan oksigen baru bagi sebuah peradapan.
Kegandrungan terhadap
karya sastra tidak hanya di kota-kota besar, sekarang di desa-desa mulai
bermunculan komunitas sastra dan kegiatan-kegiatan yang bernyawa sastra. Tengok
saja di Bojonegoro ada komunitas Atas langit, Arus Bawah, Langit Tobo, Lesung, Purnama
Sastra kemudian di Tuban ada Kostra, Langit Tuban, Gerakan Tuban Menulis, FLP
Tuban, bahkan di kota kecil Kab. Tuban tepatnya di Bangilan baru saja di
launcing Komunitas Kali Kening yang juga menggeluti dunia literasi. Komunitas
ini di gagas oleh anak-anak muda yang peduli terhadap literasi yang memang
agaknya mulai meredup dan kehilangan gairah.
Kita memang tidak
bisa berharap banyak kepada pemerintah untuk menyuntikkan dana buat sastra,
bagi mereka mungkin memang tidak penting. Hah !!! untuk apa sih sastra itu,
mungkin begitu pikirnya. Oleh karena itu hemat saya komunitas-komunitas itu
memang harus kreatif untuk menghidupi dirinya sendiri. Jangan pernah berharap
pada apapun kecuali pada Tuhan.
Hal yang bisa
dilakukan oleh komunitas yang bergerak di bidang sastra atau literasi adalah
dengan memproduksi tulisan tentunya. Baik itu berupa buku, majalah, jurnal,
ataupun booklet. Hasil produksi itu bisa dijual untuk menghidupi komunitas
tersebut. Walau kita tahu dan sadar bahwa pasar buku tidaklah seramai pasar
malam ataupun warung sate, soto, dan bakso. Selain itu mungkin komunitas bisa juga
bersinergi dengan lembaga sekolah yang punya perhatian terhadap dunia tulis
menulis, caranya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kepada peserta didik.
Dari situ mungkin komunitas bisa mengambil rupiah demi keberlangsungan
komunitas tentunya.
Bagaimanapun
keadaannya budaya baca, tulis, atau budaya literasi khususnya dalam bidang
sastra jangan sampai berhenti mati. Harus ada kreasi-kreasi baru dan inovasi
agar sastra diterima dengan baik dan renyah oleh masyarakat. Agar masyarakat
memberikan dukungan mau tidak mau sastra juga harus bisa hadir memberikan
solusi terhadap berbagai problematika yang ada, menjadi problem solving bagi
keberlangsungan kehidupan. Jadi sastra jangan hanya terpaku pada bunga-bunga
kata tanpa makna serta memposisikan diri di menara gading yang lepas dari
jangkuan masyarakat. Sastra harus hidup membaur dan berdampingan dengan
masyarakat agar sastra tidak tercerabut dari akarnya. Karena pada hakekatnya
sastra akan kehilangan makna jika meninggalkan masyarakat di mana sastra
seharusnya berada di dalamnya.
Jadi sastra harus
bergeliat bersama masyarakat, bergerak dan bersenyawa dengan gerakan sosial
yang ada. Tanpa itu sastra akan mati. Bagaimanapun juga kita harus merapatkan
barisan untuk menyelamatkan dan mewariskan sastra pada generasi mendatang,
karena bagaimanapun sastra juga menjadi bagian dari sejarah yang ikut serta
menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Salam Sastra.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
aku selalu nyimak ....
BalasHapus