Selasa, 31 Desember 2019

Hikayat Sandur

Hikayat Sandur
Oleh: Joyo Juwoto

Kembang waru
Aja aru-aru biru
Anak Adam gawe dolanan
Njaluk seger kuwarasan

Lelo lale lale lalo laloo
Lullah lullah Lola lelo leo
Ee...ya o ya e....ee ya o ya ee
Lullah...Rasalullah

Pada dupa yang membara
Pada kepulan asap yang mengangkasa
Sang Germa komat-kamit  lantunkan doa mantra

Suara kendang menghentak bertalu
Panjak hore riuh bernyanyi rak sorak hore
Merah nyala obor berkobar menerangi arena

Kembang gagar Mayang riang melambai-lambai
Ditiup angin malam
Pethak, Balong, Tangsil, dan Cawik menari ditingkahi irama kendang

Semua berputar menari
Sebagaimana jagad cosmic semesta raya berputar dan menari pada kodratnya

Tarian cinta membangun harmoni semesta
Mengikuti titah sang Maha Penguasa

Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore
Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore

Bangilan, 28/12/19

Kamis, 19 Desember 2019

Titip Rindu pada Secangkir Kopi


Titip Rindu pada Secangkir Kopi
Oleh: Joyo Juwoto

Aku titip rindu lewat secangkir kopi pagimu
Yang kau nikmati sendiri di beranda sepi
Hanya secangkir kopi hitam dan aromanya yang menggoda
Yang selalu membuatmu tetap  bahagia

Aroma kopi pagimu menembus batas rindu
Mengaduk-aduk kenangan yang terus berdenting di setiap putaran waktu

Kau lebih suka kopi pahit
Dengan racikan minus gula atau bahkan sama sekali
Entah apa alasanmu
Yang pasti kau sangat menikmati

Pahitnya kopi memang tak sepahit harapan yang hanya sebatas impian
Aku hanya bisa berdoa, semoga aroma kopimu mampu membunuh waktu yang jemu

*☕ kopi pagi*

Selasa, 17 Desember 2019

Menekur di Goa Pindul

Menekur di Goa Pindul
Oleh: Joyo Juwoto

Goa adalah tempat suci para Nabi
Menemukan hakekat diri dalam kesunyian
Menekuri ayat-ayat semesta yang terbentang di alam raya

Goa Pindul Gunungkidul dalam keramaian para salik menuju muara pencapaian
Menyusuri lorong-lorong waktu dalam gelapnya perjalanan

Pindul Gunungkidul, mata airmu mengalirkan ketenangan, pada  denting sepi di kedalaman bentang sungaimu
Yang bening bagai percik air mata sang kekasih

Teruslah melaju mengarungi riak-riak semu
Berperahu jiwa dan ragamu  yang mengambang dalam keremangan

Atau pinjamlah perahu Nuh, agar selamat jiwa ragamu menyebrangi samudra nafsu

Pada kelok labirin sunyi perjalanan tak boleh berhenti
Teruslah melaju bersama air suci kehidupan menuju muara keabadian

*Goa Pindul Gunungkidul, 14/12/19

Gerimis di Langit Malioboro

Gerimis di langit Malioboro
Oleh: Joyo Juwoto

Gerimis menari pada suatu gulita di langit Malioboro
Rintiknya basah memeluk  syahdu sepasang kekasih di sudut rindu

Gemerlap cahaya di seruas jalanan
Ditingkahi lalu lalang seribu kisah wajah-wajah
Yang menebar senyuman

Malioboro memang ceria
Tempat nyaman bagi anak-anak sepanjang zaman
Yang menapaki jejak-jejak kehidupan
Di altar suci trotoarnya

Gerimis di langit Malioboro adalah gerimis 
Yang di tanam dalam kebun kenangan dan kelak berbunga kerinduan

Kita adalah petani-petani yang akan memetik bunga-bunga rindu itu
Kemudian menyimpannya dalam ruang sunyi hati

Wanginya akan selalu kita nikmati dan kita cecap bersama, pada secangkir teh atau kopi
Yang kita minum berdua
Di pinggir jalan di bawah gerimis langit Malioboro


Malioboro, 14/12/19




Minggu, 15 Desember 2019

Mbah Dalhar dalam Dalang Kentrung Terakhir

Mbah Dalhar dalam Dalang Kentrung Terakhir
Oleh: Joyo Juwoto

Tak pikir-pikir, saya ini termasuk santri yang merugi, Jian santri model apa saya ini ya? Mbah Dalhar seorang ulama Kharismatik yang juga waliyullah saja saya tidak mengenalnya. Sungguh sebuah kerugian ketika kita tidak mengenal sejarah dan keteladanan dari orang-orang Sholeh.

Tapi Alhamdulillah, berkat silaturahmi dan dolan-dolan dengan saudara saya, kang mas Saya, Mas Mujoko Syahid saya mendapatkan sebuah kisah menarik tentang sosok Mbah Yai Dalhar, yang kemudian saya tuliskan dalam cerita pendek di buku Dalang Kentrung Terakhir.

Kisah dari mas Syahid ini yang kemudian menjadi inti sebuah cerpen yang berjudul "Jalan Pulang". Secara singkat isi dari cerpen tersebut akan saya ulas agar bisa bisa dipahami, karena jika membaca ceritanya secara langsung saya khawatir tidak bisa dipahami. Bukan apa-apa, sebabnya saya memang sering kesulitan menerjemahkan sebuah ide tulisan menjadi tulisan yang benar-benar enak dibaca dan dipahami oleh pembaca.

"Jalan Pulang" ini sebagaimana yang dikisahkan Mas Syahid berkenaan dengan salah satu dari periode kehidupan ayahnya sendiri, yaitu pak Muzadi. Ceritanya, Muzadi muda termasuk pemuda berandalan. Walau bertubuh kecil, Muzadi dikenal sebagai perampok sakti yang telah banyak malang melintang di dunia hitam.

Hampir seluruh perbuatan molimo telah dilakukan oleh Muzadi muda. Daerah yang menjadi target operasi kejahatannya berada sekitar Solo, Jogja, dan Magelang. Begitulah yang menjadi adat perampok jaman dahulu, mereka tidak mau bertindak jahat di daerahnya sendiri.

Ada hal unik yang dilakukan oleh Muzadi ini.  Sebagaimana satu teori yang menyatakan bahwa tempat yang paling aman untuk mencuri adalah di dekat kantor polisi itu sendiri. Dan ini dilakukan oleh Muzadi, walau perbuatannya melanggar ajaran agama, tapi demi penyamarannya dalam melakukan kejahatan, ia justru bersembunyi di pondok pesantren. Tepatnya di pondok watu congol yang saat itu diasuh oleh Mbah Dalhar.

Muzadi muda pura-pura menjadi santri Watu Congol. Layaknya seorang santri, Beliau juga ikut mengaji bersama santri-santri lainnya. Walau nyantrinya hanya pura-pura saja, sekedar menyamar dan menyembunyikan identitasnya.

Tak disangka oleh Muzadi, pada suatu kesempatan ia dipanggil untuk sowan ke ndalemnya Mbah Dalhar. Bukan main takut dan bingungnya Muzadi saat itu. Dia khawatir identitasnya terbongkar. Tapi sebagai santri Muzadi memberanikan diri untuk bertemu Mbah Dalhar.

Ketika memasuki ndalemnya Mbah Dalhar, Muzadi pasrah, ia sama sekali tak menyangka Mbah Dalhar akan memanggilnya. Apalagi dia bukan santri ndalem dan bukan santri yang menonjol, Muzadi hanya ngaji nguping di setiap pengajian Mbah Dalhar.

Panggilan Mbah Dalhar inilah yang akan mengubah jalan hidup yang selama ini digeluti oleh Muzadi. Bahkan mengubah seluruh perjalanan hidupnya hingga akhirnya menikah dan bisa memiliki keturunan, padahal Muzadi telah divonis oleh seorang dokter  bahwa ia tidak akan memiliki keturunan.

Apa yang didawuhkan oleh Mbah Dalhar dan apa yang dilakukan oleh Muzadi sesudah dipanggil Mbah Dalhar ada baiknya bisa dicek sendiri di buku saya saja ya. Haha...mohon maaf saya gak jadi bercerita secara komplit cerita tentang Jalan Pulang. Capek ngetiknya, lha ini pakai hape soalnya.

Yang jelas saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada mas syahid yang telah membeberkan sedikit kisah dari Mbah Dalhar. Dan tak disangka dan tak sengaja saya kok bisa sowan dan berziarah ke makam mbah Dalhar yang berada di area Maqam Raden Santri yang berada di Gunung Pring Magelang. Alhamdulillah, saya menyempatkan sambung hati dan sambung rasa dengan beliaunya.

Semoga hal ini menjadi jodoh yang baik bagi saya pribadi khususnya. Aamiin aamiin ya rabbal 'alamin. Demikian sedikit hubungan Mbah Dalhar dan Buku Dalang Kentrung Terakhir yang saya tulis. Terima kasih. Salam bahagia Indonesia raya,  jayalah Nusantara tercinta.

*Puncak Gunung Pring*
15/12/19

Sandur Jalan Dakwah Yang Mulai Dilupakan

Sandur Jalan Dakwah Yang Mulai Dilupakan
Oleh: Joyo Juwoto

"He yao ya e
Lollah
Rasalullah
Lelolalelalo
Lalolelullah
Lollah lollah"
...
"Hore hore hore hore
Ra sorak sorak sorak 2x
Lalolalelolalolalelolalelolalelolelo"

Begitulah ramainya sorak-sorai panjak hore saling bersautan dalam  pertunjukan sandur. Bisa dikatakan tanpa panjak hore pertunjukan sandur terasa hampa. Karena para pesorak yang berada di tengah arena sandur ini yang membuat suasana pertunjukan sandur terasa hidup.

Pertunjukan sandur memang pertunjukan ramai-ramai yang hanya menggunakan satu alat musik yaitu kendang. Jadi tanpa panjak hore pertunjukan sandur terasa sepi. Bahkan menurut pengamatan saya, pada nyanyian panjak hore inilah esensi sandur bisa kita tangkap.

Dari nyanyian-nyanyian panjak hore yang jika saya tidak salah menangkap, sebenarnya mengucapkan dua kalimat syahadat dengan irama  yang diulang-ulang. "Laa ilaaha illaallah, Rasulullah" ini tentu merujuk pada dua kalimat syahadat.

"He yao ya e
Lollah
Rasalullah
Lelolalelalo
Lalolelullah
Lollah lollah"

Tembang-tembang tersebut dinyanyikan secara bersama-sama oleh panjak hore. Suasana malam yang gelap dan dingin akan terasa magis, mendengar sekelompok orang duduk bersila, sebagaimana para salikin yang sedang melafalkan wirid kepada Allah SWT.

Saya berhusnudzon, sandur pada zaman dahulu diciptakan oleh para ulama yang berusaha mendakwahkan agama Islam melalui jalan kultural, yaitu melalui media kesenian. Namun dari beberapa referensi yang saya baca saya belum menemukan, sejak era kapan sandur ini mulai ada, dan siapa yang menciptakannya.

Sandur sendiri persebarannya cukup luas, sehingga masing-masing daerah tidak bisa mengklaim bahwa Sandur berasal dari daerah mereka. Walau masing-masing daerah memiliki karakter dan ciri khas dari model sandur mereka. Hal ini tentu juga menjadi sebab sulitnya melacak jejak sandur.

Walau demikian, sandur layak dan patut diperjuangkan dan dilestarikan sebagai salah satu peninggalan budaya masyarakat non benda. Masyarakat sekarang perlu diedukasi dan dipahamkan bahwa pertunjukan sandur memiliki karakter sebagai media dakwah yang cukup kreatif.

Karena masih ada sebagian masyarakat yang memandang dari segi negatif pertunjukan ini. Mungkin karena ada semacam sesajen yang dipersiapkan sebelum pertunjukan ini digelar, sehingga sandur dianggap dekat dengan klenik. Saya rasa hal-hal yang melingkupi pertunjukan sandur dengan segala ritualnya bisa dibedah dan didiskusikan bersama dengan tokoh-tokoh adat maupun tokoh-tokoh agama.

Sebelas dua belas dengan sandur, di daerah Tuban selatan tepatnya di desa Bate Kec. Bangilan ada juga pertunjukan yang juga dipakai sebagai media dakwah di tengah-tengah masyarakat, yaitu Kentrung. Sayangnya pertunjukan Kentrung Bate sudah tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Kentrung Bate is dead. Innalilahi wa innailaihi rojiun.

Kesenian Sandur, Kentrung, bahkan seni Tayub sekalipun yang sekarang mengalami degradasi nilai, sebenarnya memiliki nilai dan muatan religius jika kita mampu dan mau membuka bahkan membedahnya. Tinggal kita saja bagaimana caranya memandang pertunjukan-pertunjukan tersebut.

Demikian sedikit tulisan tentang Sandur yang saya dedikasikan buat temen-temen sastrawan Tuban yang tahun ini merayakan "Tahun Sandur".

Selamat juga, buat teman-teman sastrawan Tuban dan Dewan Kesenian Tuban yang pagi ini akan melaunching antologi "Dari Sekar Wardhani ke hikayat Pethak dan Balong" semoga acaranya berjalan sukses.
Terima kasih.

*15/12/19. Puncak Bukit Raden Santri Magelang*

Kamis, 12 Desember 2019

Pendar Cahaya di Puncak Gomang

Pendar Cahaya di Puncak Gomang
Oleh: Joyo Juwoto

Gomang, sebuah perkampungan di atas perbukitan, yang berada di tengah hutan jati. Perkampungan ini cukup unik, sebagian wilayahnya masuk kecamatan Singgahan dan sebagian lainnya menjadi bagian dari kecamatan Bangilan.

Di Gomang ini ada pondok pesantren yang fenomenal, Pondok Pesantren Walisongo yang diasuh oleh KH. Noer Nasroh. Beliau masih memiliki hubungan darah dengan keraton Surakarta.

Karena berada di dusun Gomang, pesantren Walisongo ini lebih dikenal dengan nama Pondok Gomang. Saya sendiri sudah sejak lama mendengar keberadaan pondok ini, maklum jaraknya cukup dekat dengan tempat tinggal saya. Kira-kira sepenghisapan sebatang kretek sudah sampai di lokasi pesantren.

Pesantren Gomang punya icon yang fenomenal, masjid dengan tiang penyangga yang hanya satu batang pohon saja. Masjid pesantren yang unik  ini sering menjadi bahan perbincangan warga masyarakat. Saya sendiri belum melihatnya secara langsung, apesnya tadi malam saya tidak menyempatkan diri untuk melihatnya.

Alhamdulillah, tadi malam saya berkesempatan sowan dan silaturahmi ke pesantren Gomang. Ya, saya sowan ke ndalem Gus Afa pemilik nama lengkap Gus RM. Aflakha Mangkunegara, putra dari Romo Yai Noer Nasroh yang menggawangi Jagad Sholawat dari Bumi Walisongo Gomang.

Dari silaturahmi tadi malam, saya punya harapan untuk bisa ke sana lagi, ingin menyecap barakah ilmu dari beliau, dan setidaknya  ingin kembali menikmati secangkir kopi hitam yang disuguhkan oleh Shohibul bait yang cukup ramah, grapyak sumanak, dengan senyumannya yang khas dan meneduhkan.

Saya merasa beruntung dapat bertemu secara langsung dan memandang wajah keluarga ndalem Pesantren Gomang. Bukankah memandang wajah seorang yang alim adalah anugerah yang tiada tara? Malam itu saya ibarat mendapat pendar cahaya hikmah yang menentramkan dari bumi Gomang.

Selain bertemu Gus Afa, saya juga menyempatkan diri untuk sowan dan mengaji kitab kepada beliau Gus Naja. Beliau juga putra dari Romo Yai Noer Nasroh. Gus Naja ini pakar ilmu, fasih membaca kitab kuning, karena beliau jebolan dari Yaman. Luar biasa. Allahu Akbar.

Dari penampilan beliau, saya bisa menilai kealiman dan kefaqihan dari Gus Naja. Walau demikian beliau sangat tawadhu' sekali. Dengan santri-santri yang mengaji  beliau sangat akrab dan ramah, beliau sama sekali tidak jaim dan menjaga jarak. Sungguh beliau adalah sosok luar biasa dan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya kisahkan dalam tulisan ini tentang Gomang, mungkin sementara hanya itu saja. Di lain waktu insyaallah saya akan menulis kembali tentang bumi Gomang dengan segala dinamikanya. Di bumi Gomang, saya merasa dekat, seakan menginjak dan pulang ke kampung halaman yang telah lama saya rindukan.

Semoga keberkahan bumi Gomang menjadi mata air yang menyejukkan di bumi Tuban, dan menjadi cahaya yang mampu menyinari persada Nusantara pada umumnya. Aamiin.

*Bumi Gomang, 12/12/19*

Rabu, 11 Desember 2019

Jalan Cinta Seorang Hamba


Jalan Cinta Seorang Hamba

Banyak jalan menuju Roma, demikian pepatah yang sering kita dengar, banyak jalan pula menuju pada jalan ketuhanan. Salah satu jalan untuk menuju kepada Tuhan adalah jalan cinta. Secara universal cinta mampu mewadahi suluk seseorang untuk menuju altar suci ketuhanan. Dengan cinta seseorang mampu mereguk manis dan segarnya cawan-cawan anggur ilahiyyah yang memabukkan. Dengan cinta seseorang bisa berma’rifatullah dan bermusahadah kepada Allah Swt.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda:
Ø°َاقَ Ø·َعْÙ…ُ Ø­َلاَÙˆَØ©ِ الإِÙŠْÙ…َانِ Ù…َÙ†ْ رَضِÙŠَ بِاللهِ رَبًّا ÙˆَبِالإسْلاَÙ…ِ دِÙŠْناً
Artinya:
“Rasa manis iman hanya bisa dicicipi oleh orang yang telah rida bahwa Allah-lah sebagai Tuhannya dan Islam sebagai agamanya.”

Dari hadits Rasulullah Saw di atas kita tahu bahwa manisnya iman hanya bisa dirasakan dan dicicipi oleh hamba yang memberikan cinta dan ketulusan hatinya kepada Allah Swt. Karena cinta adalah sebuah bentuk keridoan kepada hal yang dicintainya. Dengan cinta seseorang rela memberikan apapun yang menjadi miliknya kepada hal yang dicintainya.
Inilah yang saya sebut sebagai jalan cinta, yaitu salah satu jalan untuk mujahadah seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Mujahadah di sini tentunya melibatkan anggota lahir dan batin yang dilakukanseorang hamba dengan penuh keikhlasan. Karena hati yang ikhlas, hati yang bersih dan suci adalah kunci untuk membuka ruang ketuhanan.
Imam Al Qusyairi berkata: “Barang siapa yang menghiasi dirinya dengan mujahadah niscaya Allah akan memperbaiki sirrnya (hatinya) dengan musyahadah.”
Sangat banyak contoh yang telah diberikan oleh para Ulama sufi dalam menapaki jalan cinta ini. Oleh karena itu jalan cinta, atau saya sebut di sini sebagai madzhab agama cinta sama sekali tidak akan menggantikan agama yang kita anut, yaitu Islam, bukan pula mau mengubah syariat dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, tapi agama cinta hanya sebuah tarekat untuk menuju jalan ketuhanan.
Banyak sekali tokoh Ulama tasawuf yang menempuh jalan cinta ini, sebut saja tokoh sufi wanita Rabi’ah al Adawiyah, Maulana Jalaluddin ar Rumi, Abu Mansyur Al Hallaj, Ibnu Arabi, Ibrahim bin Adham, Syekh Abu Hasan as Syadzili dan banyak tokoh lainnya yang tersebar dalam khasanah dunia tasawuf Islam. Tokoh-tokoh sufi tersebut di atas dapat dipastikan memiliki salah satu jalan ketuhanan yaitu jalan cinta.
Apakah ajaran agama cinta ini ada dasarnya? Sebagaimana yang saya kemukakan di atas, bahwa  agama cinta bukan madzhab baru dalam ajaran Islam, agama cinta hanya sekedar jalan menuju ketuhanan semata, bukan mau membuat ajaran baru atau madzhab baru. Tentu saja ajaran cinta di sini muaranya adalah dari Al Qur’an dan Hadits. Banyak sekali tentunya ayat-ayat Al Qur’an yang secara tersurat maupun tersirat menerangkan tentang jalan cinta ini. Dalam surat Al Baqarah ayat 165 Allah swt berfirman:
ÙˆَÙ…ِÙ†َ النَّاسِ Ù…َÙ†ْ ÙŠَتَّØ®ِØ°ُ Ù…ِÙ†ْ دُونِ اللَّÙ‡ِ Ø£َÙ†ْدَادًا ÙŠُØ­ِبُّونَÙ‡ُÙ…ْ ÙƒَØ­ُبِّ اللَّÙ‡ِ ÙˆَالَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ø£َØ´َدُّ Ø­ُبًّا Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ÙˆَÙ„َÙˆْ ÙŠَرَÙ‰ الَّØ°ِينَ ظَÙ„َÙ…ُوا Ø¥ِØ°ْ ÙŠَرَÙˆْÙ†َ الْعَØ°َابَ Ø£َÙ†َّ الْÙ‚ُÙˆَّØ©َ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ جَÙ…ِيعًا ÙˆَØ£َÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ الْعَØ°َابِ (١٦٥)
Artinya:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Dalam hadits, Rasulullah Saw juga bersabda tentang cinta kepada beliau:
Artinya:
عَÙ†ْ Ø£َبِÙŠ Ù‡ُرَÙŠْرَØ©َ رَضِÙŠَ الله عَÙ†ْÙ‡ُ Ø£َÙ†َّ رَسُÙˆْÙ„َ الله صَÙ„ّÙ‰ الله عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„ّÙ…َ Ù‚َالَ: Ù…ِÙ†ْ Ø£َØ´َدِّ Ø£ُÙ…َّتِÙ‰ Ù„ِÙ‰ Ø­ُبّاً Ù†َاسٌ ÙŠَÙƒُÙˆْÙ†ُÙˆْÙ†َ بَعْدِÙ‰ ÙŠَÙˆُدًّ Ø£َØ­َدُÙ‡ُÙ…ْ Ù„َÙˆْ رَانِÙ‰ بِØ£َÙ‡ْÙ„ِÙ‡ِ ÙˆَÙ…َالِÙ‡ِ. Ø£َØ®ْرَجَÙ‡ُ Ù…ُسْÙ„ِÙ…ٌ.

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW Bersabda: ‘Salah satu yang paling mencintai aku di antara umatku adalah orang yang hidup speninggalku yang salah satu di antara mereka senang bila melihat aku bersama keluarga dan hartanya.” (HR. Muslim).

Sungguh dari ayat Al Qur’an dan hadits Nabi tentang cinta di atas meyakinkan dan memberikan ketegasan kepada kita semua, bahwa jalan cinta adalah salah satu jalan yang tidak menyelisihi ajaran baku dalam agama Islam. Jalan cinta memberikan ruang bagi seorang hamba untuk mengeksplor rasa cinta dan getar kerinduan yang mendalam terhadap Allah Swt.
Dalam sebuah riwayat: “Tsawban, seorang budak Rasulullah Saw begitu khawatir dan takut untuk berpisah dengan Nabi, hingga keadaan sang budak Rasulullah ini sangat kurus. Ketika Rasulullah mengetahui hal ini, beliau menghibur Tsawban dengan sabdanya: “Seseorang itu berkumpul bersama orang yang dicintainya.” Legalah hati budak Rasulullah Saw setelah mendengar penuturan dari beliau.
Salah seorang ulama sufi, Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi mendendangkan syairnya:
Segala puji bagi Allah yang telah menajdikan cinta sebagai tanah suci yang menjadi tujuan haji bagi hati para sastrawan.
Menjadi Ka’bah yang menjadi tempat thawaf bagi rahasia-rahasia akal orang-orang cerdas.
Dia juga menajdikan perpisahan sebagai cangkir berisi anggur paling pahit yang pernah dicicipi, menjadikan pertemuan terasa insh dan mempesona. Nama-Nya yang indah dan suci bersinar dalam sanubari.
Ketika sanubari tenggelam dalam samudra cinta-Nya, maka pintu pun tertutup lalu pasukan tentara harapan diperintahkan untuk menyabetnya dengan pedang-pedang keinginan.

Demikianlah cinta telah menjadi tanah suci tempat di mana sang pecinta dan yang dicintainya bertemu dalam ruang rahasia hati. Hanya pecinta sejati yang akan menemukan apa yang dicintainya. Dalam Fushush al Hikam dikatakan bahwa cinta adalah sumber suatu perwujudan.
“Dari cinta kita muncul dan atas cinta kita dicipta
Karena itu, sengaja kita datang padanya
dan karena inilah, kita benar-benar diterima
(Fhusush al Hikam: 2/322)

Begitulah jalan cinta adalah jalan mula segalanya ada, tanpa cinta mustahil semesta raya ada. Allah adalah Sang Maha Pecinta dan kita para hamba-Nya berduyun-duyun datang keharibaan-Nya dengan penuh cinta, membawa obor cinta, dan melalui jalan cinta kepada-Nya. Fa Innamaa Nahnu bihi wa lahu. “Kita ada karena Dia dan untuk-Nya.” (Al Hadits).



Kamis, 05 Desember 2019

Eksistensi Sandur Tuban

Foto: Umar Afiq
Eksistensi Sandur Tuban
Oleh: Joyo Juwoto

Kesenian sandur Tuban ternyata masih eksis. Saya menyangka kesenian ini sudah mati, setidaknya ini yang saya rasakan. Terakhir kali saya melihat pertunjukan sandur di masa kecil, sekitar usia 9 atau 10 tahunan, dan pertunjukan sandur itu tidak pernah saya lihat dan saya dengar lagi hingga usia saya menginjak 40 tahunan.

Dulu ditempat saya tinggal, tepatnya di tetangga desa ada group sandur. Saya hanya melihat dan membaca plat nama yang ditempelkan di depan rumah, entah namanya apa, saya lupa. Saya sendiri belum pernah mendengar ada pertunjukan sandur yang digelar di wilayah kecamatan di mana saya tinggal.

Sebenarnya saya juga sayup-sayup mendengar, ada sandur di wilayah Tuban bagian timur, tapi saya juga belum pernah mendengar pentas sandur. Jadi, saya mengambil kesimpulan sementara bahwa Sandur Tuban mati suri.

Setelah waktu berlangsung lama, dan kehidupan berjalan dengan segala dinamikanya, bunyi gendang sandur dan sorak panjak hore nyaris tak terdengar. Sandur menjadi salah satu kesenian lokal yang tidak begitu diminati oleh masyarakat. Sandur masih kalah dengan kesenian lokal Tuban lainnya, tayub misalnya. Kira-kira demikian.

Dalam perjalanan waktu, sandur Tuban terdengar sayup-sayup mulai menyeruak ke permukaan. Saya merasa senang, sandur Tuban mulai ditampilkan ke ranah publik. Masyarakat akan kembali mendengar dialog Cawik, Balong, Tangsil yang mendayu-dayu dalam teater rakyat pinggiran ini. Sungguh menggembirakan.

Hari menggembirakan yang saya tunggu akhirnya datang juga. Dalam perhelatan Akbar Tuban Art Festival (ART) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Tuban (DKT) tahun 2019, ada pertunjukan sandur. Wow...saya berniat untuk menontonnya, walau tempatnya lumayan jauh dari rumah saya.

Secara umum saya berterima kasih kepada segenap punggawa DKT, yang dikomandani Bapak Joko Wahono atas terselenggaranya pentas sandur yang sudah saya impikan sejak lama. Sebagai lembaga yang mengurusi masalah kesenian dan kebudayaan di Tuban DKT layak mendapat apresiasi atas segala kegiatannya selama ini.

Saat pertunjukan sandur yang digelar di halaman gedung Budaya Loka Tuban, saya hadir dan melihat kemeriahanndan kehebohan malam puncak kegiatan Dewan Kesenian Tuban yang dihadiri penonton yang cukup banyak. Luar biasa.

Dari pertunjukan sandur yang tampil meramaikan malam itu cukup menjadi jawaban kegelisahan saya tentang eksistensi Sandur Tuban yang mati suri. Ah...sandur Tuban masih ada. Saya berharap kesenian lokal ini bisa lestari dan diwariskan generasi muda kita hari ini. Sekian.