Santri Yang Istiqomah dan Tabah
Joyojuwoto*
“Nak,
Dadio Santri Sing Kuat Nyonggo Rahmate Gusti Allah”
(KH.
ABD. Moehaimin Tamam)
Nasehat itu selalu kami kenang, nasehat yang selalu menyalakan semangat
hidup yang tak kunjung padam, nasehat yang membuat kami para santri terasa
ringan menempuh jalan-jalan kehidupan yang kadang mendaki dan terjal. Nasehat
yang menjadi oase di tengah kegersangan hidup yang panasnya melebihi sahara
luas yang tak bertepi, nasehat yang menjadi kompas penunjuk arah bagi para
penempuh labirin-labirin waktu dan lika-liku masa depan yang belum jelas. Ya
begitulah nasehat dari Abah Yai yang
sering digembar-gemborkan kepada para santrinya. “Nak, Dadio Santri Sing
Kuat Nyonggo Rahmate Gusti Allah” (Wahai anakku, jadilah santri yang kuat
menanggung rahmatnya Allah).
Pada mulanya kami kurang faham terhadap makna dari nasehat itu, namun
entah karena apa walaupun belum begitu faham setiap mendengar beliau dawuh
seperti itu hati ini menjadi tenang, seakan menelan pil aspirin yang mengurangi
rasa sakit dan nyeri di kepala yang terserang migrain, atau bagai obat penenang
yang membius jiwa untuk selalu kuat dan tenang menghadapi segala permasalahan
hidup. Mantra itu begitu ampuhnya sehingga dayanya memberikan kekuatan batin
bagi para santri untuk terus berdiri kokoh setegar batu karang menghadapi
gempuran gelombang demi gelombang ujian dan cobaan.
Nasehat yang disampaikan Abah Yai memang keluar dari pengalaman batin dan
praktek nyata di medan perjuangan beliau dalam mendirikan dan mengelola pondok pesantren
ASSALAM Bangilan Tuban. Jadi sangat wajar jika apa yang beliau nasehatkan itu
benar-benar bersumber dari pengalaman empiris yang sangat mengena. Beliau tidak
hanya sekedar ngomong, namun beliau mengalaminya sendiri secara langsung. Tidak
heran jika nasehat beliau sangat menyentuh dan berjiwa.
Menjadi santri itu harus kuat nyonggo
rahmate Gusti Allah (menjadi santri harus kuat menanggung rahmatnya Allah),
sedang rahmatnya Allah itu diberikan kepada para hambanya yang kuat menanggung
ujian dan cobaan yang tiada putusnya. Rahmat itu tidak hanya berupa nikmat saja,
namun kesulitan demi kesulitan itu pun merupakan rahmat Allah yang dibungkus
dalam bentuk lain. Oleh karena itu jika kita mendapat rahmat Allah dalam bentuk
nikmat maka hendaknya kita bersyukur, demikian pula jika kita mendapatkan
rahmat Allah dalam bentuk ujian-ujian hidup maka hendaknya kita pun bersabar dalam
menghadapinya.
Menurut gemblengan dari Abah
Yai, bahwa hidup itu dipenuhi dengan berbagai macam ujian, maka jika kita diuji
oleh Allah jangan lemah, tapi justru kita harus tabah dan menjadikan ujian itu
sebagai sarana untuk mendewasakan diri serta meningkatkan maqom di hadapan
Allah Swt. Sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan ujian adalah orang-orang
yang dicintai Allah, sebagaimana dalam hadits Nabi yang berbunyi “Innallah idza
ahabba ‘abdan ibtalaahu” (sesungguhnya jika Allah mencintai seorang hamba maka
Allah akan menguji hamba tersebut).
Inilah yang dimaksudkan dengan santri
kudu kuat nyonggo rahmate Gusti Allah, yaitu kuat menghadapi goda dan ujian
hidup, tabah dalam menghadapi kesulitan demi kesulitan, dan selalu kuat serta
sabar untuk tetap menjadi santri ditengah-tengah carut-marutnya dunia. Siapa
yang ingin maqomnya tinggi dihadapan Allah maka Allah akan menguji orang
tersebut dengan berbagi ragam ujian dan ini adalah bagian janji-Nya.
Sebagaimana yang di dawuhkan oleh KH. Hasyim Muzadi bahwa “Janji Allah
selalu bersyarat, dan rahmat Allah selalu minta pertanggung jawaban”. Diantara
syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai maqom tinggi adalah ujian demi ujian
yang harus kita hadapi, sedang pertanggungjawaban kita terhadap rahmat Allah
adalah dengan bersyukur dan menggunakan anugerah berupa nikmat itu sebagai
rahmatan lil’alamin.
Pengalaman demi pengalaman,
kesulitan demi kesulitan yang dihadapi oleh Abah Yai menjadikan beliau sosok dan
pribadi yang tangguh dan tegar. Bagaimana tidak saat pertama kalinya beliau
merintis berdirinya pondok pesantren, orang-orang sama mencemoohnya. Abah Yai
selalu menceritakan kepada kami para santrinya bagaimana dulu beliau harus
menanggung kesulitan berjuang mendirikan pesantren. Hampir semua masyarakat
tidak ada yang mendukungnya, karena model dan sistem pesantren yang beliau
bangun tidak sama dengan model pesantren yang ada dipikiran masyarakat. Sebagai
alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo, tentu beliau meniru dan mencontoh ala almamater
yang didirikan oleh Trimurti Gontor, KH. Ahmad Sahal, KH. Imam Zarkasyi, dan
KH. Zainuddin Fannani.
Namun seiring dengan berjalannya
waktu, dengan kesabaran, keuletan dan keistiqomahan Abah Yai, dan dengan
semboyan yang kudu kuat nyonggo rahmate Gusti Allah akhirnya pesantren
yang beliau rintis dan beliau bangun di tengah-tengah gelombang penolakan dari
masyarakat, akhirnya lambat laun masyarakat pun mengakui dan menerima keberadaan
pondok itu. Bahkan masyarakat sama berbondong memasukkan anak-anaknya untuk
dididik dan dicelup ala ASSALAM, sibghatu ASSALAM, kata beliau. Tidak
hanya itu saja santri-santri pondok pesantren ASSALAM pun berdatangan dari luar
wilayah kabupaten Tuban, hingga merambah ke luar pulau Jawa.
Itulah buah dari kesabaran dan
keuletan Abah Yai dalam nyonggo rahmate Gusti Allah yang selalu kami
teladani, yang pada mulanya pahit dirasakan, namun terasa manis diakhirannya.
Semoga kami para santrinya mampu meneladani beliau Abah Yai dalam hal keuletan,
kesabaran, dan keistiqomahan dalam nyonggo rahmate Gusti Allah. Amien.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota
Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar