Selasa, 28 Januari 2020

Rahasia Menjadi Penulis produktif dan menginspirasi ala profesor Suprayogo

Rahasia Menjadi Penulis produktif dan menginspirasi ala profesor Suprayogo
Oleh: Joyo Juwoto

"Kalau ingin pintar, bergaullah dengan orang pintar, kalau ingin jadi kiai bergaullah dengan para kiai, kalau ingin jadi penulis ya bergaullah dengan orang yang suka menulis" (Prof. Imam Suprayogo)

Demikian Kredo yang dipakai Prof. Imam Suprayogo untuk memantik semangat menulis para peserta kopdar ke-IV SPK di  UNISMA. Dengan siapa bergaul maka itulah yang akan membentuk watak dan karakter kita sesuai dengan apa yang kita harapkan.

Kredo yang dipakai Prof. Imam mengingatkan kita pada sebuah hadits Nabi yang isinya kurang lebihnya demikian, "Jika kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka kita akan ketularan bau wangi, dan jika kita berteman dengan pandai besi maka kita juga akan kena percikan apinya, atau setidaknya kita akan kena bau sangitnya." Sebuah perumpamaan yang sangat sederhana sekali, walau mungkin prakteknya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Prof. Imam Suprayogo telah memberikan keteladanan yang luar biasa dalam keistiqomahan beliau menulis setiap hari tanpa henti, dan ini berlangsung hingga sembilan tahunan.  Dalam kesempatan Kopdar Di UNISMA, Prof. Imam membeberkan beberapa rahasia mengapa beliau mempunyai energi yang sedemikian dahsyatnya dalam menulis secara kontinyu.

Diantara alasan Prof. Imam Suprayogo selalu full energi dalam menulis sebagaimana yang saya ingat dan saya fahami  adalah:
1. Karena merasa kurang
2. Merasa bodoh
3. Menulis Tanpa beban
4. Buang rasa ragu-ragu dalam menulis

Hal-hal yang dapat menimbulkan Inspirasi dalam menulis diantaranya adalah:
- Merdasarkan pengalaman spiritual
-Merenungkan ayat-ayat Al Qur'an
-Mencari inspirasi dari nilai spiritual kota Mekkah
- Tempat itu penting, maka carilah tempat yang bisa memantik inspirasi untuk menulis.
-Sambungkan hati dengan Tuhan

Kenapa nulis kok sulit? Agar dalam menulis bisa lancar dan mengalir, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
-Kenali diri sendiri. Diri yang betul-betul diri itu yang bisa menulis.
-Menulislah pakai hati

Demikian kurang lebihnya kisi-kisi inspirasi menulis yang disampaikan oleh Prof Imam Suprayogo dalam Kopdar ke-IV Sabahat Pena Kita di Unisma. Semoga bermanfaat.

Bangilan, 27/01/2020

Kuliah Literasi dari Prof. Imam Suprayogo

Kuliah Literasi dari Prof. Imam Suprayogo
Oleh: Joyo Juwoto

Profesor Imam Suprayogo, nama yang telah cukup lama saya dengar, kalau tidak salah sekitar tahun 2016. Walaupun saat itu saya sama sekali belum pernah ketemu dengan beliau secara langsung. Hanya saja, saya satu group WhatsApp (WA) dengan beliau, jadi saya sering membaca beberapa ulasan dan nasehat beliau di channel WA.

Baru kemarin saat Kopdar ke-IV SPK di UNISMA, sebuah kampus yang cukup keren yang berada di kota Malang, saya bertemu, bersalaman, bermuwajahah, dan tak lupa berfoto dengan beliau, setelah sebelumnya mendengarkan kuliah literasi dari prof Imam Suprayogo yang sungguh luar biasa.

Prof. Imam Suprayogo layak dijuluki sebagai salah satu Imamnya literasi di Indonesia. Beliau selama ini memang tidak banyak berbicara tentang literasi, tapi keteladanan beliau dalam dunia literasi, khususnya dalam bidang menulis patut mendapat apresiasi. Museum Rekor Indonesia (Muri) memberikan apresiasi kepada beliau sebagai tokoh akademisi yang tidak pernah berhenti menulis kurang lebih selama 9 tahun. Sungguh capaian yang luar biasa.

Dari kegiatan menulisnya inilah lahir puluhan judul buku. Rata-rata buku Prof. Imam Suprayogo disunting oleh dalam istilah santrinya Muhibbin Prof. Imam. Yang luar biasa, buku tersebut setelah dicetak, hasil royaltinya tidak diambil oleh Prof. Imam, semuanya diberikan kepada penyunting naskahnya. Sifa kedermawanan yang layak disuri teladani. Dari menulis itulah Prof. Imam banyak berbagi kepada masyarakat, selain berbagi ilmu, beliau juga berbagi rejeki dengan penerbit dan penyunting naskahnya.

Dalam seminarnya Prof Imam memaparkan, manfaat apa yang beliau terima dan beliau peroleh  dari menulis jika royalti bukunya diberikan orang lain? Prof. Imam menuturkan bahwa masih sangat banyak sekali manfaat yang beliau dapatkan dari menulis. Salah satunya beliau sering diundang keluar negeri dan semua itu didapatkan secara gratis. Selain tentu manfaat non-materi dan manfaat yang lainnya dari kegiatan menulis.

Salah satu kunci dari kesuksesan Prof. Imam Suprayogo dalam menulis adalah keistiqomahan beliau, ini yang berat, walaupun berat bukan berarti tidak bisa ditiru dan dikerjakan. Asal ada niat yang kuat insyaallah semua bisa dilakukan.

Demikian sedikit kuliah literasi yang disampaikan Prof. Imam Suprayogo dalam Kopdar ke-IV SPK di UNISMA yang saya ikuti. Semoga bermanfaat.

*Bangilan, 27 Januari 2020*

Senin, 27 Januari 2020

Maafkan Saya Bang Grab

Maafkan Saya Bang Grab
Oleh: Joyo Juwoto

Di era modern ini, atau orang-orang menyebutnya sebagai era informasi dan teknologi, menjadikan kehidupan manusia menjadi mudah, bahkan sangat mudah sekali.  Saya lebih suka menyebutnya era ini sebagai era "Nutul centris" karena hampir semuanya permasalahan bisa selesai hanya dengan nutul layar hape.

Layar hape menjadi semacam tempat mencari solusi dan inspirasi bagi kebutuhan manusia, bahkan termasuk pada hal yang sepele sekalipun, contohnya urusan cemilan, atau sekedar urusan hiburan dan bergame ria. Hampir semua pertanyaan yang kita ajukan di mesin pencarian Google bisa dijawab olehnya, walau Google tidak pernah bisa menjawab pertanyaan jomlo kapan ia menemukan serpihan dari tulang rusuknya yang entah ada di mana.

Walau saya termasuk kaum ndeso, saya juga tidak mau ketinggalan dengan tren anak-anak milenial yang hampir seluruh aktivitasnya bersinggungan dengan dunia maya itu. Sebagai kaum milenial ndeso saya gak mau kalah dengan mereka-mereka itulah.

Saya punya pengalaman lucu sekaligus tragis saat mencoba menggunakan fasilitas daring ini. Saat itu saya akan menghadiri Kopdar Ke-IV Sahabat Pena Kita yang diadakan di UNISMA Malang. Karena berangkat dari rumah sore hari, sedang perjalanan menuju kota Malang dari tempat tinggal saya sekitar 5 jam, karena macet dan sebagainya sekitar jam 24.00 WIB saya baru turun dari bis di terminal Arjosari.

Sebenarnya saya sudah berniat menginap di terminal (dan memang saya benar-benar menginap di sana) tapi entah karena apa saya kok pengin menggunakan fasilitas transportasi online. Padahal saat itu saya ditawari oleh ojek konvensional. Akhirnya saya mendownload aplikasi Grab.

Setelah aplikasi terinstall, saya mulai pesan ojek Grab. Tul tul tul... terpesanlah ojek online, dan dan berselang lama saya mendapat balasan bahwa ojek segera meluncur. Apesnya, saat saya memesan ojek, lokasi belum saya sesuaikan dengan tempat di mana saya berada. Saya mengira auto lokasi, eh, ternyata perlu disetting dulu,  jadi saya tidak begitu memperhatikannya.

Mungkin karena Bang Grabnya tidak menemukan saya dilokasi yang tertera di aplikasi, bang Grab menelepon saya.

"Halo mas, kamu di mana, saya sudah di lokasi?"

Dengan pede dan senang karena mendapat telepon cinta dari bang Grab saya pun menjawabnya.

"Saya di depan terminal Arjosari, pak."

"Lha, tadi pesannya di Alfamart, kok jadinya di terminal?"

Mendengar protes dari Bang Grab saya agak gugup. Saya melihat aplikasi kembali ternyata benar, saya salah menentukan lokasinya. Dengan tergagap saya pun menjawab protes bang Grab.

"Mohon maaf pak, saya di terminal Arjosari, njenengan ke sini bisa?"

Mungkin karena sudah tengah malam dan kondisi yang agak gerimis, Bang Grab dengan agak marah bilang ke saya dari seberang telepon.

"Nggak mas, batalkan saja pesanannya, jangan bermain-main dengan orang yang sedang bekerja." Katanya dengan nada marah.

"Ngapunten, pak, ngapunten...kulo mboten paham." Kata saya meminta maaf. Tak lama kemudian sambungan telepon pun terputus.

Saya sama sekali tidak berniat mempermainkan Bang Grab, hanya karena kurang kefahaman dan kecermatan saya terhadap aplikasi tersebut, yang menyebabkan  tragedi di tengah malam tersebut terjadi. Tentu itu karena kesalahan saya yang kurang cermat dan hati-hati.

Tulisan ini saya buat sekaligus sebagai permohonan maaf kepada bang Grab yang telah saya rugikan. Saya berdoa semoga beliaunya dikaruniai nikmat sehat,  mendapatkan rejeki yang turah-turah dan barakah. Aamiin.


*Bangilan, 27/01/2020*

Sabtu, 25 Januari 2020

Kopdar SPK Ke-IV dan Menziarahi (Sejarah) Kota Malang

Kopdar ke-IV SPK dan menziarahi (sejarah) Kota Malang
Oleh: Joyo Juwoto

Kota Malang bisa disebut sebagai kota pendidikan, sederet nama kampus beken ada di sana. Selain itu kota yang berudara sejuk ini juga menjadi salah satu destinasi wisata masyarakat. Walau demikian, jika saya ke kota Malang, salah satu yang selalu saya ingat adalah sepenggal kisah sejarahnya yang melegenda "Ken Dedes, Ken Arok, dan ken ken yang lain". Saya memang suka cerita-cerita sejarah, apalagi yang berbumbu mitos dan menjadi foklore masyarakat.

Ken Dedes adalah seorang gadis ayu dari lembah Panawijen,. putri seorang pendeta Budha, Mpu Parwa. Sekarang nama Panawijen sudah tidak ada, kemungkinan besar nama itu mengalami perubahan vonem menjadi Polowijen Blimbing. Karena di desa tersebut ditemukan sebuah situs yang dikenal dengan nama Sumur Windu Ken Dedes atau sumur upas.

Ken Arok adalah seorang anak terbuang yang menjadi brandal ternama,  ia terlahir dari sebuah skandal asmara yang rumit. Dari ide gilanya-lah tercipta pusaka sakti Keris Empu Granding yang meminta tumbal darah tujuh turunan. Ken Arok dan Ken Dedes inilah yang nantinya mendirikan wangsa baru dalam sejarah kerajaan di Jawa, wangsa Rajasa Sang Amurwabumi.

Kisah tentang Ken Dedes dan Ken Arok dengan segala drama perebutan kekuasaan yang dibumbui kisah romantis bisa pembaca dalam novel Ken Arok; Cinta dan Takhta karya Zhaenal, atau kalau mau lebih revolusioner lagi silakan baca buku Arok Dedesnya Pramoedya Ananta Toer, ada banyak sudut pandang lain yang dihidangkan Pram untuk pembaca. Dan Pram memang selalu berbeda dan memiliki tafsir yang unik yang berkenaan dengan kisah Arok-Dedes dalam suksesi raja-raja Jawa.

Kedatangan saya di Malang Hari ini bukan  dalam rangka mendedah sejarah ataupun foklore Arok-Dedes, tapi dalam Kopdar Literasi bersama Sahabat Pena Kita (SPK) yang diselenggarakan di Kampus UNISMA. Jadi saya mencukupkan diri membahasnya sampai di situ saja. Selanjutnya saya ingin bercerita kedatangan kopdar saya di komunitas literasi di mana saya belajar menulis di sana.

Setiap enam bulan sekali SPK mengadakan kopdar,  saat kopdar di UNISMA adalah kopdar yang keempat. Karena kopdar sebelumnya saya tidak hadir, maka di kopdar ke-IV ini saya mewajibkan diri saya hadir. Seribu alasan untuk tidak hadir telah saya hapus dari pikiran saya. Saya wajib hadir titik.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, niat baik dan tekad yang kuat selalu menemukan jalannya untuk berhasil. Tepat tadi malam jam 00.00 saya sampai di Malang, tepatnya di terminal Arjosari. Saya memilih tidur di terminal menemani tukang ojek, bakul kopi, dan angkringan di pinggir jalan yang tak lelah mengais rezeki dan barakah. Sampai larut malam mereka mengabdikan tenaganya untuk melayani penumpang yang sampai larut malam baru tiba di terminal.

Saya menikmati dinginnya kota Malang dengan bahagia, menghitung jumlah bintang yang alpa di cakrawala, menikmati secangkir jahe anget, dan kemudian tidur di emperan toko di tepi jalan raya, setelah Shubuh saya   meluncur ke kampus UNISMA dan bersiap untuk silaturahmi dan thalabul Ilmi dalam kopdar SPK.

*Arjosari, 25/01/2020*

Rabu, 22 Januari 2020

Menjelajahi Belantara Diksi Puisi


Menjelajahi Belantara Diksi Puisi

Ada yang bilang entah siapa, bahwa puisi yang baik dan bernilai tinggi nan sastrawi adalah puisi yang tak terpahami oleh pembaca. Ungkapan ini bisa iya bisa tidak, tergantung sudut pandang yang menilai dan memberikan apresiasi dan kritik terhadap sebuah puisi itu sendiri. Saya pribadi menilai puisi tidak sekedar dengan logika makna semata, kadang juga melibatkan intuisi dan frekuensi bahasa jiwa. Gampangnya saya tidak begitu ambil pusing dengan segala teori menulis puisi itu yang bagaimana, yang terpenting saya menulisnya dan selesai.
Mohon dimaafkan, mungkin saja saya terlalu naif, tapi ya begitulah, sebagai seorang yang awam dengan sastra puisi itu sendiri, saya kadang lebih mengedepankan kebahagiaan dengan puisi yang selesai saya tulis, ada perasaan yang membuncah saat puisi itu mencapai titik akhir penulisan.  Entah apa jadinya nanti, apakah puisi saya itu sesuai dengan wadah atau model yang telah disiapkan oleh aturan yang bernama teori menulis puisi, atau tidak. Saya hanya berusaha menulis dengan hati itu saja. Sederhana.
Oleh karena itu, disekian waktu saya menulis dan menerbitkan buku, baru kali ini saya memberanikan diri menerbitkan puisi saya, itupun karena dibersamai oleh sahabat saya, Yulia Pratitis Yusuf yang bernama pena Liaiko, jika tidak, saya mungkin belum tentu mampu mengumpulkan keberanian untuk menerbitkan kumpulan puisi saya sendiri.
Bagi saya pribadi puisi itu tidak harus dengan kalimat mengharu biru, tidak wajib juga penuh diksi yang menyihir dan membuat bengong para pembaca, atau dengan kalimat bunga-bunga yang mempesona, yang terpenting menurut saya adalah bagaimana seorang penulis bisa menuangkan ide dan gagasannya dalam bait-bait puisinya.
Saya menyukai hampir diseluruh rangkaian kata dalam sebuah puisi yang ditulis oleh penulisnya, saya meyakini setiap penulis berusaha mengungkapkan hal terbaik yang terbetik dalam hati, walau kadang hasilnya biasa-biasa saja, tak apalah dunia memang rupa-rupa, puisi juga demikian, tak harus yang menghanyutkan perasaan itu yang disebut puisi, kadang datar dan biasa saja, kadang melompat, kadang terguling tidak berbentuk pun tak apalah, karena semuanya menuju pada muara untuk menciptakan karya yang bernama puisi. Walau nanti bisa kita sebut sebagai puisi yang gagal.
Bagi saya puisi itu alat, bisa sebagai alat propaganda, alat menyampaikan suatu ide, alat protes, menuangkan suasana kegembiraan dan kesedihan hati penulisnya, bahkan mungkin alat untuk lari dari kenyataan sekalipun. Saya sangat suka dengan ungkapan yang ditulis oleh Sujiwo Tejo. Beliau bilang begini: Tahukah kamu orang yang paling tak berperasaan? Dia yang jauh dari kekasih di saat hujan, tapi tak menghasilkan puisi.”
Saya sebenarnya mencurigai ungkapan presiden Jancukers Indonesia ini terinspirasi dari qoulnya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali yang saya intip di beranda facebooknya salah seorang teman
“Orang yang tak tersentuh hatinya melihat bunga-bunga yang bermekaran di musim semi dan tak bergetar jiwanya mendengar alunan merdu dawai kecapi, maka orang itu rusak mentalnya, taka da obatnya.”
Tampaknya dua ungkapan yang cukup indah itu, bisa mewakili dan menjadi hujjah serta dalil atau mungkin juga sebagai dalih untuk menulis bait-bait puisi, selain tentu apa yang pernah diungkapkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab yang menyatakan “Ajarilah anak-anakmu sastra, lantaran sastra menciptakan anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani.”
Akhirnya, dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, dan bagaimanapun bentuknya, saya berdoa dan berharap tulisan dalam buku Antologi Puisi “AKU Api Kamu Air” menjadi salah satu karya sastra yang bisa menginspirasi kepada pembaca. Kritik dan saran dari para budiman tentu sangat kami harapkan. Sekian dan terima kasih.


Bangilan, 20 Januari 2020
Penulis

Rabu, 01 Januari 2020

Jaran Dawuk

Jaran Dawuk
Oleh: Joyo Juwoto

Namanya Sumadi, namun  masyarakat lebih mengenalnya dengan panggilan Mad Dawuk. Dia adalah satu-satunya lelaki di desa ini yang masih mau menjalani laku tradisi sebagai penari jaran kepang untuk sandur Turonggo Seto.  Sebuah paguyuban seni tradisional yang masih dilestarikan di desa Randu Pokak. Mad Dawuk menjalani kesehariannya sebagai petani, hanya pada event-event tertentu jika ada pagelaran sandur, dialah yang ditunjuk sebagai media masuknya roh jaran dawuk dalam pagelaran sandur.

Mad Dawuk hidup sebatang kara, bapak dan ibunya entah kabur kanginan kemana, sejak kecil Mad Dawuk diasuh oleh neneknya yang renta. Hingga akhirnya sang nenek meninggal dunia, saat itu usia mas Dawuk menginjak remaja.  Karena hidup sebatang kara dan tidak memiliki sanak dan saudara, Mad Dawuk kemudian diasuh oleh Mbah Ronggo, seorang Germo Sandur di dusun tersebut.

"Mad kamu ikut saya saja ya? Sandurku membutuhkan seorang penari jaran kepang" ujar Mbah Ronggo seusai hari berkabung karena neneknya meninggalkan dunia.

"Saya manut pada kehendak Mbah Ronggo saja." Jawab Sumadi sambil menundukkan kepala,  dia memang tak punya pilihan harus bagaimana sepeninggal neneknya. Karena dia sadar dia hanya seorang diri di dunia ini.

Pertemuannya dengan Mbah Ronggo ini menjadikan Mas Dawuk sering mengikuti pagelaran Sandur yang digelar di hajatan warga, maupun saat diundang dalam event-event tertentu. Mad Dawuk kebagian peran naik jaran kepang, sebuah miniatur kuda yang terbuat dari anyaman bambu dibentuk mirip seekor kuda, namun bentuknya pipih.

Mad Dawuk sangat menikmati perannya sebagai penari jaranan, hal itulah yang dirasa bisa digunakan untuk membalas budi baik kepada Mbah Ronggo yang mau menampungnya, ia bahkan rela menanggung resiko hingga diusianya yang menginjak kepala empat belum ada gadis yang mau dilamarnya. Kebanyakan orang tua dari para gadis tidak ingin anaknya bersanding dengan pemuda yang sering dimasuki roh jaran  dawuk. Karena, selain di arena pertunjukan sandur, kadang-kadang Mad Dawuk berulah kesurupan  roh jaran dawuk dan ia pun mengamuk sejadi-jadinya, makan rumput, padi, bahkan gelas kaca.

Kadang Mas Dawuk sendiri bingung, sebenarnya para gadis tak mau mendekat dan  menjauhinya itu gara-gara ia sebagai penari Jaran kepang atau karena ia tidak punya uang,.dan bahkan tidak punya pekerjaan yang jelas, karena berumah tangga tidak hanya membutuhkan cinta, namun harta benda pun wajib ada.

Memang dari setiap pertunjukan, Mad Dawuk mendapatkan upah uang lelah namun nominalnya tak seberapa, karena hasil dari tanggapan dibagi oleh Mbah Ronggo dengan pemain sandur lainnya. Bahkan kadang Mbah Ronggo sendiri tombok untuk menjamu rombongan panjak hore yang kadang jumlahnya membludak.

Hal ini yang kadang membuat Mad Dawuk  jenuh juga ketika harus menjalani perannya sebagai jaran, bagaimanapun ia adalah lelaki normal yang juga ingin membangun rumah tangga layaknya kebanyakan manusia. Tapi mau apalagi, hanya itu yang dibisainya selain bertani dari sepetak lahan yang ada di pekarangan rumah warisan sang Nenek yang hasilnya juga tidak jelas.

Kadang Mad Dawuk gamang dengan takdirnya sendiri, namun apa daya, manusia hanya menjalankan garis kuasa Tuhan. Walau ia sadar Tuhan memberikan hak ikhtiar bagi hamba-nya yang mau mengubah nasib yang sedang dijalaninya. Tuhan tentu sangat bergembira ketika hamba-hamba-Nya mau mengubah kondisi yang buruk menjadi yang lebih baik lagi.

Pada suatu sore, saat Mad Dawuk duduk santai di serambi depan rumahnya Mbah Ronggo, sambil sesekali ia mengebulkan asap rokok klobotnya, ia melamunkan masa depannya yang tidak jelas. Tiba-tiba, Mbah Ronggo datang mengagetkannya.

"Mad, kamu nglamun apa? Sore-sore gini kok sudah bengong." Sapa Mbah Ronggo yang sudah tampak tua.

"Ah, Mbahe ini mengagetkan orang yang sedang asyik nglamun saja. Iya mbah, ini lho saya sedang melamun didatangi Dewi Widodari." Jawab Mad Dawuk sambil bergurau.

"Hehe...nglamunmu diijabahi Gusti engger, sapa ngerti ana wali liwat." Jawab Mbah Ronggo sambil terkekeh.

"Aamin, Mbah Aamin..." lanjut Mad Dawuk sekenanya.

Mbah Ronggo ini sudah sepuh, rambutnya sebagian besar telah memutih, ia biasa menggunakan udeng dikepalanya. Ya udeng model mblarak sempal khas pesisiran Tuban. Udeng ini menjadikan penampilan Mbah Ronggo tampak serasi dengan gelarnya sebagai Germo Sandur.

Udeng mblarak sempal ini dilihat dari bentuknya secara filosofis memiliki makna sempalan ke bawah dan bukakan. Sempalan ke bawah ini memiliki makna seseorang itu harus rendah hati, jangan sombong kepada siapapun, sedang model  udeng Tuban terbuka di bagian atas kepala atau bukakan. Ini memiliki arti bahwa seseorang harus terbuka hati dan pikirannya, selalu menerima masukan dari orang lain dengan hati terbuka.

Oleh karena itu, Mbah Ronggo menyarankan orang-orang yang terlibat di sandurnya agar memakai udeng atau ikat kepala. Mad Dawuk sendiri selama ini tidak mau memakainya, ia merasa ikat kepala hanya cocok untuk orang tua sebagaimana Mbah Ronggo. Ia lebih suka bertelanjang kepala daripada harus tampil seperti mbah-mbah. Begitu pikir Mad Dawuk.

Tapi entah bagaimana, Mbah Ronggo kemudian membuka udengnya dan memberikannya kepada Mas Dawuk sambil berkata:

"Angger anakku, satu Minggu yang akan datang, tepat di malam bulan purnama sandur kita akan main di alun-alun Kota Tuban. Kita diundang bapak Bupati untuk pentas. Ini kamu latihan pakai udeng ya? Besok pas tampil kamu harus memakainya." Kata Mbah Ronggo dengan suara lembut sambil pergi meninggalkan Mad Dawuk yang masih terbengong-bengong.

"Edan! Masak saya harus berdandan kayak kakek-kakek" gerutu Mad Dawuk sambil membanting udeng ke tanah.

Bagaimanapun juga Mbah Ronggo adalah orang yang banyak memiliki jasa kepadanya. Mad Dawuk kembali memungut udeng yang telah dicampakkannya. Dulu saat awal bergabung dengan sandur Turonggo Seto,  Ia pernah diajari Mbah Ronggo untuk memakai udeng. Bahkan mad Dawuk masih ingat kata-kata kakek tua itu.

"Angger anakku, memakai udeng itu bukan sekedar berhias, tapi ber-udeng memiliki makna kamu harus mudeng dengan kehidupan ini, agar hidupmu tidak kesasar." Begitu petuah yang masih diingat oleh Mad Dawuk, walau ia sampai hari ini belum mau memakainya.

Tapi semenjak kejadian sore itu, Mad Dawuk mulai belajar ber-udeng. Bukan apa-apa, itu demi besok malam purnama ia akan ikut tampil di alun-alun kota Tuban.

***
Malam purnama yang ditunggu tiba. Rombongan sandur Turonggo Seto pimpinan Mbah Ronggo akan tampil di tengah alun-alun kota. Masyarakat tampaknya sangat antusias dengan pertunjukan ini. Mereka biasanya menunggu dua atraksi, jaran kesurupan dan kalongkingan.

Setelah persiapan dengan segala uba rampenya siap, sandur pun dimulai. Mbah Ronggo tampak berwibawa mengatur dan memimpin jalannya pertunjukan teater rakyat yang masih berbau magis ini.

"Kembang wijen mbok widodari masang sajen."

"Lelo lale lale lalo laloo
Lullah, lullah Lola lelo leo
Ee...ya o ya e....ee ya o ya ee
Lullah...
Rasalullah"

Suara salah satu sesepuh sandur mulai bernyanyi membuka jalannya pertunjukan, diiringi suara kendang dan gemuruh panjak hore yang berkumpul di titik tengah kenthengan di bawah kembang Gagar Mayang.

Lampu-lampu obor telah dinyalakan, asap dupa mengepul memenuhi udara, janur kuning  di pasang di tali yang melingkari kenthengan tampak melambai-lambai ditiup angin malam. Suasananya sangat meriah.

Satu persatu adegan Sandur mulai berjalan, Pethak, Balong, Tangsil, dan Cawik telah menjalani perannya. Agar penonton tidak bosan di sela-sela adegan itulah Sang penari Jaran kepang tampil. Mad Dawuk yang malam itu memakai ikat kepala tampak gagah berwiba seperti Batara Kamajaya.

Dari luar arena ada sepasang mata jelita yang memandangi sosok pemuda desa itu, awalnya Mad Dawuk tak menyadarinya, karena ia terbiasa menjadi objek lensa kamera maupun lensa mata para penonton.

Tak dinyana, panah asmara sang Dewi Kamaratih telah menembus jantung hati  Mad Dawuk yang telah dirasuki Sang Kamajaya. Walau berjauhan jarak dan dipisahkan oleh tali kenthengan sandur, sepasang mata dari mereka berdua saling bertemu dan berbicara, hening dan intim sekali. Tak ada yang paham kecuali rasa.

***
"Jambu jambu klutuk, kudangane jaran dawuk"

"Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore
Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore"
...

Mad Dawuk mulai kesurupan, ia menunggangi jaran kepang, menari dengan tangkas mengelilingi arena. Oleh sang pawang kuda, Mad Dawuk diberi makan dedak, padi, dan juga beling kaca. Semua dilibas habis. Mad Dawuk memang sedang kesurupan ruh jaran dawuk dari grumbul desa.

Mad Dawuk lupa dengan sepasang mata yang telah menembus jantungnya, raganya telah dikuasai ruh jaran dawuk, ia menari dengan trengginas penuh pesona.  Di luar arena, seorang gadis cantik menenteng DLSR-nya,  sibuk mengabadikan aksi jaran dawuk  dalam memori foto, dan juga memori hatinya.

Purnama tepat di atas kepala, pertunjukan sandur semakin meriah saat pemain kalongking memanjat tali dengan terpejam dan menghabiskan kupat lepet yang di pasang di atas bambu. Sorak-sorai penonton menambah maraknya pertunjukan.

Setelah semua adegan dimainkan, sang Germo pun menutup jalannya sandur dengan tembang kembang walur.

"Kembang walur mbok widodari bali menduwur"

"Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore
Hore-hore hore-hore
Rak sorak sorak hore"

Suasana menjadi sepi, penonton sama meninggalkan arena, pulang ke rumah masing-masing.  Peralatan sandur diberesi dan dinaikkan mobil yang di bawa dari rumah Mbah Ronggo. Tidak ada yang ketinggalan, kecuali sepasang hati yang menunggu dipertemukan oleh sang waktu.

*Bangilan, 31/12/19*