Minggu, 16 Februari 2020

Memanen Rindu di Taman Seribu Lampu

Memanen Rindu di Taman Seribu Lampu
Oleh: Joyo Juwoto

Taman seribu lampu yang baru saja saya kunjungi berada di kota Cepu. Sebuah kota tua yang menjadi bagian dari kabupaten Blora. Kota Cepu terkenal sebagai salah satu kota minyak di Indonesia, ada Pertamina yang beroperasi di sana, ada juga tambang tradisional yang cukup melegenda.

Di jantung kota Cepu ada sebuah taman, orang-orang menyebutnya sebagai taman seribu lampu. Walau saya sebenarnya tidak yakin, benar-benar ada seribu lampu di sana. Sebagaimana kita kenal Lawang sewu, pecel lele, yang ternyata juga tidak mewakili nama dan  identitas  yang diberikan.

Tapi tak apalah, tak semua nama harus mewakili sebuah identitas. Nama apapun boleh dan bisa diberikan, dengan suka-suka kita saja. Tidak ada undang-undang yang melarang atau memerintahkan untuk itu.

Kota Cepu cukup melegenda, dari kota ini terlahir banyak tokoh besar dan kontroversial. Pada masa akhir Kerajaan Demak ada tokoh "antagonis" Arya Penangsang, pada masa kolonial Belanda ada tokoh Pers Tirto Adi Suryo, konon Kartosoewirjo DI TII juga terlahir dari kota minyak ini. Apa benar yang dikatakan oleh Pram, bahwa dulu padepokan Mpu Barada juga di Cepu. Ngloram yang sekarang. Jika tesis Pram benar tentang Ngloram benar, berarti usia kota Cepu cukup tua.

Selain terhubung dengan era kerajaan Kahuripan pada masa Raja Airlangga wilayah Cepu juga terhubung dengan era kerajaan Jipang Panolan era Pangeran Benawa yang cukup fenomenal. Banyak folklor yang tersebar di masyarakat yang berhubungan dengan putra dari Sultan Hadiwijaya ini. Di Kec. Jiken sebelah barat kota Cepu ada Maqam  Pangeran Jatikusuma dan Jatiswara, di Balun juga disinyalir ada Maqam Pangeran Anom (Pangeran Panjaringan). Kesemuanya adalah adik-adik dari Pangeran Benawa.

Apa yang saya ulas ini, dalam catatan sejarah nasional sepertinya tidak ada. Saya mendapatkan informasinya tentang keluarga Pangeran Benawa ini dari foklore yang ditulis oleh Mbah JFX. Hoery sastrawan bahasa Jawa dari Bojonegoro. Bukunya Mbah Hoery berjudul Wulu Domba Pancal Panggung, berbahasa Jawa.

Itulah beberapa hal yang saya panen saat saya berkunjung di Taman Seribu Lampu. Memanen seribu rindu terhadap kenangan dan sejarah masa silam. Dan masih banyak kebun kenangan yang kutanami bibit rindu yang nantinya kupanen pada lembaran-lembaran di masa depan.

*Cepu, 11/02/2020*

Kamis, 06 Februari 2020

Kacang Tuban

Kacang Tuban
Oleh: Joyo Juwoto

Istilah kacang Tuban mungkin belum begitu populer di tengah-tengah masyarakat, bahkan saya ragu orang Tuban sendiri familiar dengan istilah ini. Yang ada orang-orang menyebutnya kacang cina. Saya sendiri tidak tahu asal-usul dan sejak kapan jenis kacang itu dikenal dengan nama kacang Cina.

Selain dikenal dengan sebutan kacang cina, ada pula yang menyebutnya sebagai kacang tanah, kacang jabut. Mungkin karena isinya ada di dalam tanah yang kemudian dipanen dengan cara dijabut, maka nama itu melekat pada jenis kacang yang memiliki istilah latin cukup rumit ini, Arachis hypogaea L.

Kacang tanah, atau kacang cina ini biasanya dikonsumsi dengan cara digoreng, dibumbui garam sama bawang yang kemudian dikemas plastik atau kertas. Inilah camilan enak.yang dikenal dengan nama kacang asin. Kacang tanah ini juga menjadi bahan baku industri pecel. Hampir di semua tempat tentu mengenal makanan ini, yang populer orang-orang menyebutnya sebagai pecel Madiun.

Selain itu kacang tanah atau kacang cina tadi juga diproduksi menjadi camilan model kacang beringin, kacang Sukro, kacang dua kelinci dan kacang Garuda yang pabriknya ada di Pati. Model yang pertama itu menjadi camilan yang cukup legendaris.

Dari sekian hasil dari olahan kacang tanah tadi tidak ada satupun yang menyebut nama kacang Tuban. Atau setidaknya ada produk yang menjadi branded milik kota Tuban.  Padahal menurut saya branding kacang Tuban ini harus ada, kalau tidak ada perlu segera diadakan.

Mengapa harus ada dan diadakan? Branding untuk kekhasan suatu daerah itu menurut saya cukup penting, Tuban ini sementara dikenal dengan kekhasan makanannya berupa toak, legen, seafood, dan yang melegenda adalah camilan ampo, secara khusus mungkin nanti saya akan menulis tentang ampo yang legendaris ini.

Kacang tanah, atau kacang cina ini belum menjadi branding di kota Tuban, padahal produksi kacang Tuban ini kualitasnya cukup bagus dan punya nama di pasaran. Sementara yang saya tahu di pasaran wilayah Bangilan dan Jatirogo, produk kacang tanah ini dikuasai oleh produk kacang Tuban dan kacang impor dari India, entah di kecamatan-kecamatan lain di wilayah Tuban.

Walau kacang tanah dari India cukup punya nama, namun pembeli sendiri lebih memilih kacang Tuban. Padahal harganya antara kacang India dan Tuban terpaut cukup banyak. Lebih mahal harga kacang Tuban. Satu kilo kacang Tuban bisa sampai 25ribu, sedang kacang India sekitar 19ribu perkilonya.  Rupanya faktor citarasa menjadi salah satu faktor pilihan pembeli. Kacang Tuban lebih gurih dan nyanten, sedang kacang India terkesan hambar, sepo.

Sayangnya produksi kacang Tuban kadang-kadang tidak mencukupi kebutuhan pasar, akhirnya mau tidak mau jika kacang Tuban sedang kosong, pembeli beralih membeli kacang India. Mau bagaimana lagi, produksi kacang harus terus berjalan, akhirnya kacang apapun diambil. Hal ini yang menurut saya bisa menjadi perhatian pihak terkait untuk bisa memenuhi kebutuhan pasar, sehingga produk dalam negeri bisa mencukupi kebutuhan pasar kita.

Sebenarnya tidak hanya kacang, kedelai, bawang putih, dan berbagai kebutuhan pasar kita banyak dikuasai produk-produk impor. Saya tidak tahu apa memang petani kita tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar, atau jangan-jangan memang ada mafia dalam kegiatan impor ini. Entahlah, saya tidak punya kapasitas untuk menengok hal-hal yang demikian.

Saya hanya berharap, kelak masyarakat kita bisa berdikari dalam hal apapun, termasuk dalam hal perkacangan, perbawangan dan perkedelain ini. Kita tunggu peran pemerintah. Semoga.

Minggu, 02 Februari 2020

Peradaban Rengkek Dalam Percaturan Perekonomian Nasional

Peradaban Rengkek Dalam Percaturan Perekonomian Nasional
Oleh: Joyo Juwoto

Entah sejak kapan perdagangan menggunakan rengkek mulai dilakukan oleh para pedagang keliling. Sekitar tahun 90an, ketika saya seusia anak SD kelas 1, rengkek yang terbuat dari anyaman bambu juga sudah dipakai wadah untuk para pencari kayu bakar. Bahkan mungkin jauh sebelum saya lahir peradaban rengkek sudah ada.

Masyarakat yang mengambil kayu bakar dengan rengkek biasanya disebut mbrongkol. Jadi ngrengkek ini semisal menjadi bagian dari profesi pekerjaan, seperti sopir, penjahit, tukang kayu, petani, dan profesi pekerjaan lainnya.

Mbrongkol ini sekarang sudah jarang sekali dilakukan, kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Selain jumlah kayu di hutan yang mulai menipis, juga karena produksi bata dan genteng di Dopyak sebagai centra pembuatan bata dan genteng juga telah ditinggalkan oleh pelakunya.

Dulu di tempat saya, yang biasa mbrongkol adalah orang-orang yang melayani para pembuat batu bata dan genting. Sebagaimana di awal saya tulis bahwa di Dopyak desa Bangilan Kecamatan Bangilan, banyak sekali pengrajin bata merah dan genteng. Sehingga saat itu permintaan pasokan kayu bakar cukup melimpah.

Jika rengkek brongkol telah usai masanya, maka peradaban rengkek tampil ke depan menjawab tantangan zaman. Rengkek yang mayoritas digerakkan oleh kaum emak-emak yang mencukupi suplai sayuran dan kebutuhan dapur rumah tangga  justru berkembang cukup pesat. Silakan perhatikan gerak pasar di pagi hari, rengkek menjadi salah satu gerakan terdepan dalam menggerakkan roda perekonomian.

Saya berani mengatakan bahwa peradaban rengkek ini adalah salah satu inovasi dalam sistem mata rantai perekonomian wong cilik. Rengkek adalah salah satu contoh kekuatan  ekonomi kerakyatan yang layak diperhitungkan. Ekonomi Pancasila yang kita idam-idamkan.

Di tengah-tengah gempuran dan hegemoni pasar modern yang bertebaran di kota-kota kecamatan, rengkek menjadi antitesa dari kapitalisme ekonomi yang mulai menggurita.

Para perengkek ini berasal dari wong cilik, dan bergerak juga untuk wong cilik. Ibu-ibu rumah tangga yang tidak sempat belanja di pasar bisa menunggu rengkek di depan rumah dengan tanda teriakan atau bunyi klakson dari motor yang mereka bunyikan berkali-kali.

Selain itu rengkek biasanya juga menjadi jujugan ibu-ibu di komplek perumahan, rengkek menjadi semacam benang merah silaturahmi antar warga. Segala isu bisa dikomentari di lingkaran rengkek ini. Klasik sekali.

Perputaran uang dari peradaban rengkek ini menggeliat di arus bawah, dari rakyat oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sangat demokratis. Ekonomi rakyat bisa hidup dan tumbuh subur karena muaranya adalah kemandirian kerekonomian masyarakat.

Jika peradaban rengkek secara micro mampu menjawab tantangan dan permasalahan ekonomi kerakyatan di kelas bawah, saya yakin rule model perekenomian rengkek bisa diadopsi menjadi solusi bagi perekonomian nasional kita.

Bangilan, 02/02/20

Sabtu, 01 Februari 2020

NU Mikul Dhuwur Mendhem Jero Nilai Kebangsaan

NU Mikul Dhuwur Mendhem Jero Nilai Kebangsaan
Oleh: Joyo Juwoto

Mikul dhuwur mendhem Jero adalah wisdom lokal masyarakat Jawa yang cukup populer. Nilai-nilai kearifan lokal yang berakar pada ajaran adiluhung nenek moyang masyarakat Jawa ini sangat relevan untuk diuri-uri menjadi sebuah nilai nasional bahkan global yang seyogyanya disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Mikul dhuwur mendhem jero secara harfiah memiliki arti mengusung tinggi-tinggi, mengubur dalam-dalam. Ungkapan ini adalah sebuah ungkapan penghormatan dan rasa bakti kepada orang tua, serta menutupi segala sesuatu yang tidak baik untuk dikenang dan tidak mengungkit-ungkitnya segala hal buruk yang telah terjadi.

Konteks dari ungkapan Mikul dhuwur mendhem jero memang berkaitan dengan hubungan kebaktian seorang anak kepada orang tuanya, tapi pada konteks ini saya meminjamnya dalam persinggungan organisasi Nahdlatul ulama (NU) dengan konteks kebangsaan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Banyak peristiwa besar di negeri ini yang memerlukan kebesaran hati untuk saling menerima dengan lapang dada. Dengan keanekaragaman bangsa Indonesia yang kompleks, sikap kebesaran jiwa sangatlah diperlukan.

Saya ambil contoh tentang piagam Jakarta, peristiwa ini telah terjadi dan bangsa Indonesia dengan lapang dada sudah bisa saling menerima, tak perlu kita ungki-ungkit kembali peristiwa ini, sikap mendhem jero yang sedemikian diperlukan. Walau demikian, melupakan sejarah memang jangan, tetapi bersikap bijak dan berpandangan visioner ke depan demi bangsa dan negara adalah sikap Mikul dhuwur.

NU sebagai salah satu elemen kebangsaan di Indonesia yang secara usia lebih matang dari bangsa Indonesia, memiliki banyak pengalaman dalam meredam bahkan menjadi bamper kebangsaan Indonesia yang sedang diuji kedewasaannya.

Selain peristiwa piagam Jakarta, ada lagi peristiwa azas tunggal Pancasila yang menyita konsentrasi umat Islam Indonesia. Peristiwa ini memicu konflik negara dengan umat Islam, jika hal ini dibiarkan tentu stabilitas negara terganggu yang akhirnya bisa memicu konflik sektarian bahkan konflik yang lebih besar lagi.

Adalah KH. Achmad Shiddiq tokoh kharismatik NU yang berhasil mengawinkan hubungan Islam dan Pancasila, yang pada awalnya dianggap bersebrangan. Dalam Muktamar NU yang ke-27 di Asembagus Situbondo. Setelah terpilih sebagai Rais Aam PBNU  beliau menyampaikan pidato:

"Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)
(Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/91344/kh-achmad-siddiq-dan-pancasila)

Inilah menurut saya satu sikap Mikul dhuwur dan mendhem jeronya NU terhadap segala permasalahan bangsa, NU tidak pernah merasa sakit hati walau pengorbanannya mungkin tidak ada yang menghargai. NU tetap konsen berjuang demi keutuhan negara kesatuan republik Indonesia, walau NU pada setiap rezim berusaha dipinggirkan, dikuyo-kuyo dan dilupakan perannya.

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang terlahir dari rahim pondok pesantren yang notabenenya berakar pada masyarakat tradisional sangat lekat dengan tradisi Mikul dhuwur mendhem Jero ini. Tradisi ini mungkin saja ada yang  mencurigai sebagai sikap oportunis,  ada juga yang mengatakan sebagai bagian dari melanggengkan budaya feodalisme di tengah-tengah masyarakat.

Bagi yang belum paham dengan nilai lokal genius Mikul dhuwur mendhem jero di atas, memang akan sangat kesulitan memahami, alih-alih menerapkan kearifan tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun tidak dengan NU, dalam setiap tikungan sejarah, NU selalu berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan ikut serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selamat Harlah NU yang Ke-94, Semoga selalu terdepan dalam menebar kedamaian.

Bangilan, 31 Januari 2020