Joyojuwoto*
Setidaknya
ada penampilan 45 parade puisi yang dibacakan, acara yang dimulai setelah Isya’
itu berakhir tengah malam, ini tentu sebuah pencapaian yang luar biasa. Hal ini
tentu tidak terlepas dari house acara yang memang luar biasa Opie Resta dengan
talenta panggung dan suaranya ia berhasil mengantarkan para penikmat puisi
mencapai puncak keintiman dengan puisi. Sebagai seorang yang telah matang di
bawah sorotan kamera Opie Rista adalah ratunya panggung malam itu. Dengan
artikulasi suaranya yang jelas, pilihan diksinya yang pas, dan tinggi rendahnya nada yang sempurna
menjadikan malam itu sebagai malam yang penuh rasa poetika.
Malam
itu puisi tidak lagi menjadi hak milik istimewa para pujangga yang bertahta di
atas menara langit, atau hanya milik Sang Pendekar Syair Berdarah saja yang
kemana-mana menebar syair kematian yang menakutkan, atau hanya milik para
pemuda-pemudi yang patah hati yang kemudian dijadikan amunisi untuk
menghamburkan bait-bait puisi, namun Malam Puisi Akbar telah memberikan angin
baru serta membuka terhadap pemahaman akan arti sebuah puisi. Puisi tidak
sekedar jalinan kata yang indah, namun yang terpenting puisi mampu menyuarakan
serba-serbi kehidupan. Karena pada dasarnya puisi adalah hidup kita dengan
segala dinamikanya.
Yang
menjadikan acara lebih luar biasa lagi selain pembacaan puisi yang bertema
kemerdekaan, yang diikuti oleh multi golongan mulai dari siswa sekolah, pejabat
pemerintahan, anggota DPR, masyarakat umum, para pamong desa, malam itu
diantara peserta ada yang membacakan puisi dari hasil karyanya sendiri.
Diantara
sekian yang membacakan puisi hasil karya sendiri adalah Miss House Opie Resta
yang membawakan puisi dengan judul Negeri Hitam Putih. Puisi yang lantang
menyuarakan kritik sosial terhadap segala kebijakan pemerintah yang menguras
habis sumber daya alam guna kepentingan asing atas nama investasi dan
kerjasama.
Dengan
sangat apik dituliskan pada “Puisi Hitam Putih Negeriku” tentang negeri yang
makmur, gemah ripah loh jinawe, ayem tentrem kerta raharja, namun semua itu
tidak mampu memakmurkan rakyatnya. Negeri yang kaya itu tidak bisa menikmati
kekayaannya, bahkan sangat naif rakyat menjadi budak di negerinya sendiri,
rakyat bagai ayam yang mati dalam lumbung padi. Negeri yang hijau royo-royo
yang para pujangga menyebutnya sebagai untaian zambrud katulistiwa, indah
menawan bak pecahan surga itu menjadi negeri hitam putih, negeri yang hanya
dikuasai oleh segelintir orang, negeri yang hanya berdaulat untuk para
konglomerat saja. Rakyat benar-benar sekarat dalam arti yang sebenar-benarnya. Lihatlah
fragmen di bawah ini yang menggambarkan kepilua-kepiluan itu :
“Aku
melihat seorang tua, duduk di emperan toko beralaskan kardus bekas
Sedang
mengadu pada Tuhan…
“Tuhan…,
akankah ada lagi sesuap nasi untuk kami esok ?
Akankah
nafas kami akan tetap berhembus sedangkan perut kami begini kempis”
Seorang
tua
itu menangis tersedu di bawah guyuran terang purnama”
Penampilan
Opie Resta memang istimewa, ia mampu mendeklamasikan puisinya dengan baik,
penuh penghayatan dan penjiwaan yang nyaris sempurna. Dengan latar belakang panggung yang seadanya,
dan penataan lighting yang temaram hitam, puisi Hitam Putih Negeriku menjelma
menjadi peluru tajam yang memberondong ketidakadilan dan kesenjangan di
tengah-tengah rakyat jelata yang tak lagi jelita.
Tdak
kalah garangnya puisi dengan judul “Sayembara” yang ditulis dan dibaca sendiri
oleh Mas Syahid salah satu tokoh pemuda Bangilan yang ikut hadir dan meramaikan
acara pada malam itu. Puisi yang didekasikan untuk anaknya tercinta itu berisi
protes terhadap ketokohan seseorang. Seorang tokoh yang hanya berdiri angkuh
tanpa tersentuh oleh rasa kemanusiaan, seorang tokoh yang hanya minta dihormati
tanpa mau memberikan rasa hormat kepada masyarakat, seorang tokoh yang berdiri
di atas singgahsana tanpa peduli nasib bawahannya. Sebelum membaca puisi Mas
Syahid memberikan pesan kepada anaknya “Nak Arindra, sampai kapanpun nanti
jangan sampai engkau mengkhianati bangsamu sendiri”. Begitu tuturnya.
Demikianlah
dua buah puisi yang dapat saya tangkap dalam “Malam Puisi Akbar” yang
diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Bangilan (FKMB), semoga nilai-nilai
positif dari puisi mengabadi, terus hidup dan tak pernah mati. Salam.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar