Menggapai
Cahaya Tuhan
Joyojuwoto*
Untuk menuju
alam keabadian dan kesempurnaan manusia harus berjuang mewujudkan kesempurnaan
hidupnya di dunia, karena pada hakekatnya kesempurnaan di alam jati hanya dapat
diraih dengan perjuangan yang keras, dan penuh pengorbanan. Dunia ibarat alam
kegelapan sedang cahaya Tuhan adalah nur yang akan menyibak tirai kegelapan
itu. Perjuangan untuk menggapai cahaya Tuhan diibaratkan seperti laron yang
mendekati sumbu api, walau sayap-sayapnya harus patah terbakar namun sang laron
akan terus mendekap cahaya itu hingga badan wadagnya musnah dan lebur dalam
nur.
Manusia adalah
laron-laron yang terbang dalam gelap dan terus berusaha meraih cahaya dari
sumbu api ketuhanan, kematian wadag, kematian keinginan duniawi adalah harga
yang layak untuk dibayarkan demi kehidupan yang sejati. Karena pada hakekatnya
hidup di dunia juga kematian, sedangkan kematian adalah kehidupan yang sejati
itu sendiri. “Urip kang sejati yaiku
urip sing tan keno pati” hidup yang sejati adalah hidup yang tidak mengenal
kematian, yaitu saat manusia nanti hidup di alam asalnya, alam cahaya, alam sejati,
alam yang langgeng.
Oleh karena itu
manusia yang menginginkan hidup yang sempurna lahir batin, maka manusia harus
mengerti makna kematian yang sempurna, sebagaimana yang sering diwejangkan oleh
sesepuh-sesepuh kita “Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati, yen
siro ora ngerti sampurnaning urip” (Mustahil engkau bisa mengerti kematian
yang sempurna, jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
DI bawah ini
sebuah geguritan yang menerangkan dengan sangat indah mengenai perjuangan
manusia untuk menggapai cahaya ketuhanan :
Dak sebar kembang
Sandhuwuring sajadah
Dadio donga; pikuwat
Kanggo kupu kang suwek suwiwine
Sajerone ati
Sawuse sedina adus riwe, luh
Lan rah
Sadurunge wengi mawartakake
Urip anyar
Bebarengan
jumangkah tumekaning
tamu ; srengene
kang bakal nguripake urip sejati
artinya :
“Kusebar bunga
di atas sajadah, semoga menjadi do’a kekuatan batin, bagi kupu yang sobek
sayapnya. Di dalam hati, setelah sehari penuh bermandikan keringat, air mata
dan darah, sebelum malam menyiarkan hidup baru, bersamaan melangkah sampai
tamu; matahari yang akan menghidupkan hidup sejati.”
Dalam geguritan
itu menjelaskan bahwa kehidupan dunia sangatlah keras, manusia akan
berkeringat, berurai air mata dan darah untuk bisa sampai pada matahari
kesejatian hidup. Manusia tidak boleh putus asa walau segala kesulitan dan goda
hidup hingga merobek-robek sayapnya, ia harus kuat menanggung itu semua,
manusia jangan sampai lupa untuk terus menebar bunga-bunga di atas selembar
sajadahnya, kesabaran dan do’alah yang
akan menjadikannya menjemput cahaya ketuhanan. Nuurun ‘ala nur, cahaya
di atas cahaya.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981,
Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban; Penulis buku “Jejak Sang Rasul” dan juga seorang blogger yang
tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar