Senin, 30 September 2019

Meneladani Kisah dan Spirit Hijrahnya Nabi Muhammad Ke Kota Madinah


Meneladani Kisah dan Spirit Hijrahnya Nabi Muhammad Ke Kota Madinah
Oeh: Joyo Juwoto

Perayaan tahun baru Islam atau atau dikenal sebagai tahun baru hijriyah memang tidak semeriah peringatan tahun baru masehi. Namun bukan berarti tahun baru hijriyah tidak memiliki makna penting bagi kehidupan masyarakat khususnya tentu umat Islam. Jika tahun baru masehi dihitung berdasarkan kelahiran Nabi Isa, sedang tahun baru Islam dihitung dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Secara historis tahun baru hijriyah ini memiliki makna yang tentu tidak jauh dari spirit peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari kota Makkah menuju kota Yatsrib yang nantinya disebut kota Madinah.

Kita tahu, hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah menuju Madinah dipicu oleh kondisi dakwah Islam yang mengalami kemandegan. Setelah wafatnya Abu Thalib paman Nabi, dan Siti Khadijah istri Nabi, dakwah Islam di Makkah stagnan. Orang-orang kafir Makkah bukan saja menolak dakwahnya Nabi, namun mereka sudah berani mengancam dan memberikan tekanan fisik terhadap umat Islam. Gangguan dakwah semakin hari semakin berat, sehingga Nabi sendiri sempat mencari suaka politik ke Thaif. Namun di kota ini pun Nabi Muhammad ditolak mentah-mentah, bahkan beliau diusir dan disakiti.

Melihat kondisi dakwah yang tidak menguntungkan Nabi pun berbenah, beliau berfikir mencari daerah sasarn baru untuk dakwah Islam. Kesempatan itu pun dating. Pada musim haji tahun ke-12 kenabian datanglah rombongan haji dari Yatsrib. Di bukit Aqabah, Nabi menemui mereka dan menawarkan dakwah Islam. Alhamdulillah mereka merespon positif ajakan Nabi untuk memeluk dan memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Peristiwa ini dikenal sebagai baiatul aqabah.

Dari peristiwa baiatul aqabah dengan penduduk Yatsrib inilah dakwah nabi mendapatkan jalan untuk menjemput cahaya keislaman bersinar di bumi Madinah kelak. Dari peristiwa hijrah inilah umat Islam bisa mengembangkan dakwah dan menjalankan syariat Islam dengan lebih leluasa.
Selain factor di atas, sebagai seorang utusan Allah tentu Nabi telah mendapatkan perintah dari melalui petunjuk wahyu  agar beliau dan para sahabat hijrah ke Madinah. Dalam surat An-Nisa’ ayat 100 Allah swt berfirman:

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya:
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Setelah ada perintah wahyu dari Allah swt, maka para sahabat mulai berhijrah menuju kota Yatsrib. Karena ketakutan akan datangnya halangan dan gangguan dari orang-orang kafir Quraiys, para sahabat hijrah secara bertahap dan secara sembunyi-sembunyi. Nabi pun berangkat hijrah dengan sembunyi-sembunyi pula, ditemani oleh Sahabat Abu Bakar As-Siddiq. Sedang menurut sebagian riwayat hanya Sahabat Umar bin Khattab yang mengumumkan bahwa dirinya akan berangkat hijrah ke Yatsrib.

Drama perjalan hijrahnya Nabi ke Madinah tidak berjalan mulus, beberapa kali hampir saja orang-orang kafir Quraiys memergoki kepergian beliau. Namun dengan perjuangan yang berat akhirnya Nabi bersama Abu Bakar berhasil sampai di kota Yatsrib, tepatnya pada hari Jumat 13 Rabiul Awal bertepatan dengan tanggal 24 September 622 M.

Di kota Yatsrib, Nabi dan Abu Bakar disambut dengan sambutan yang meriah dari para penduduk yang memang kebanyakan sudah menyatakan keislamannya. Mereka menabuh rebana untuk menyambut Nabi yang diumpamakan sebagai bulan purnama bagi kota Yatsrib.

Dari kisah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw yang saya ceritakan secara ringkas di atas banyak hal yang bisa kita petik guna kita ambil hikmah bagi kehidupan umat Islam hari ini.
Bagi pembaca yang budiman, silakan digali dan disimpulkan narasi hijrahnya nabi Muhammad saw kemudian dijadikan pedoman dan pelajaran dalam meneladani perjuangan Nabi Muhammad saw. Bagaimanapun juga, sejarah selalu memiliki nilai edukatif dan inspiratif guna memberikan arahan bagi kehidupan masa kini.


Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban Jawa Timur, Penulis aktif di www.joyojuwoto.com. Saat ini telah menulis beberapa buku solo, diantaranya: Jejak Sang Rasul; Secercah Cahaya Hikmah, Dalang Kentrung Terakhir (2017), Cerita Dari Desa, Cerita untuk Naila dan Nafa. Selain itu juga telah menulis puluhan buku antologi. Silaturrahmi dengan penulis via Whatshap dinomor  085258611993 atau email di joyojuwoto@gmail.com.





Minggu, 29 September 2019

Jalaluddin Ar-Rumi Sufi Penyair Terbesar

Jalaluddin Ar-Rumi Sufi Penyair Terbesar
Oleh: Joyo Juwoto

Jika mendengar nama Jalaluddin Rumi, maka yang pertama kali muncul dalam pikiran adalah tentang tari sufi dengan para penari yang berputar bagai gasing, dan juga tentang syair-syair cinta dan syair ketuhanan.

Sufi besar yang terlahir di kota Balkha Afganistan ini memang luar biasa, ia tidak hanya dikenal dalam khasanah dunia Islam saja, namun orang-orang Barat juga sangat mengidolakan beliau.

Maulana Jalaluddin Rumi memang kesohor sebagai penyair terbesar yang dimiliki oleh umat Islam, selain itu Jalaluddin Ar-Rumi adalah sosok pribadi yang pintar dalam ilmu filsafat, dan memiliki wawasan yang luas. Demikian yang saya baca dalam bukunya Abdul Hasan An-Nadwi.

Tidak heran memang, karena Jalaluddin Ar-Rumi terlahir dari seorang ayah yang juga seorang ulama dan guru besar di zamannya. Buah memang lebih banyak jatuh dekat dengan pohonnya, begitu pula Maulana Ar-Rumi mengikuti jejak ayahnya, sebagai seorang guru besar.

Jalaluddin Ar-Rumi banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka seperti Kamaluddin bin al-Adim, dan bertemu dengan guru-guru hebat semisal Syekh Muhyiddin ibn Arabi, Sa'aduddin al-Hamawi, Utsman Ar-Rumi, Auhaduddin al-Karmani, dan Shadruddin al- Qounawi.

Setelah ayahnya wafat, Maulana Jalaluddin Ar-Rumi menggantikan beliau menjadi guru besar. Murid-murid Jalaluddin Ar-Rumi sangat banyak, mencapai sekitar 4.000 santri. Semenjak itu beliau mengajar dan memberikan fatwa kepada masyarakat di sekitarnya.

Nama dan kebesaran Jalaluddin Ar-Rumi mulai muncul saat tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang misterius yang nanti menjadi gurunya. Seorang sufi dari Tabriz wilayah Iran. Orang tersebut bernama Muhammad bin Ali bin Malik Daad, atau lebih terkenal dengan nama Syamsi Tabriz. Dari pertemuan dengan lelaki misterius inilah  proses karya besar Jalaluddin Ar-Rumi yang berjudul al-Matsnawi al-Maknawi  akan menemukan takdirnya.

Entah karena apa, seakan Jalaluddin menemukan sesuatu yang baru dari diri gurunya itu. Siang dan malam Jalaluddin Ar-Rumi selalu membersamai Syamsi Tabriz. Ada pesona yang seakan membuatnya menemukan banyak rahasia ilahiah yang terpendam. Dalam sebuah sajaknya, Jalaluddin menulis tentang gurunya:

"Sesungguhnya Syamsi Tabriz itulah yang telah menunjukiku jalan kebenaran. Dialah yang mempertebal keyakinan dan keimananku."

Karena keintiman Jalaluddin Ar-Rumi dengan guru barunya ini menyebabkan ia meninggalkan murid-muridnya. Hal ini tentu membuat murid-murid Jalaluddin Ar-Rumi menjadi membencinya, termasuk Sultan Walad, anak dari Jalaluddin sendiri, juga galau dengan kehadiran Syamsi Tabriz. Sultan Walad pun tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya, dan ia mengomentari hubungan ayahnya dengan lelaki misterius tersebut:

"Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan Zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."

Jalaluddin benar-benar bagai tersihir jiwanya, ia tidak bisa berpaling dari pesona gurunya itu, sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengurusi murid-muridnya, hal ini berdampak pada kemarahan murid-muridnya yang kemudian berujung pada pengusiran Syamsi Tabriz dari kota Kauniyah di mana mereka tinggal.

Tanpa sepengetahuan Jalaluddin, Syamsi Tabriz meninggalkan Jalaluddin Ar-Rumi, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 643 H. Setelah ditinggal gurunya pergi, Jalaluddin menjadi sedih tak terkira. Ia kemudian banyak menyendiri, menyepi,  meninggalkan keramaian dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Setelah sibuk dalam kesendirian, pada suatu hari ada surat dari Damaskus, ternyata surat tersebut dari Syamsi Tabriz, alangkah gembiranya hati Jalaluddin, sehingga saat itu pula ia mengakhiri uzlahnya, dan mulai mengajar kembali murid-muridnya yang sekian lama tidak ia perhatikan dan ia tinggalkan.

Seperti telaga bening yang menyejukkan, dari kedalaman hatinya yang menyimpan rindu yang menggebu, Jalaluddin Ar-Rumi menulis sepucuk surat untuk gurunya tercinta:

O cahaya yang semburat dalam hati, kemarilah
Tambatan nurani dan segala damba, datanglah
Wahai pendahulu yang aku lebih dahulu darimu
Yang memiliki cinta sejati, kemarilah
Wahai kesenangan dan kebahagiaan manakala datang
Dan wahai kesusahan dan kesedihan apabila hilang
Engkau bagai mentari nan dekat namun jauh
Wahai orang yang dekat namun jauh, kemarilah.

Betapa bahagianya Jalaluddin, kekasih hati yang dirindukan segera datang, tidak ada obat bagi penyakit rindu kecuali sebuah pertemuan. Jalaluddin pun sangat bahagia bertemu kembali dengan gurunya, setelah sekian lama tidak bersua. Jalaluddin terus bersama gurunya, seakan ia tidak mau dipisahkan oleh apapun dan siapapun. Namun takdir berkata lain, ia harus kembali berpisah dengan gurunya, bahkan perpisahan ini membuatnya kehilangan sosok yang dicintainya.

Perpisahan kedua ini benar-benar  memukul jiwa dan perasaannya. Jalaluddin berusaha mencari gurunya ke segala penjuru. Namun sayang, gurunya seperti raib ditelan bumi. Dalam masa pencarian inilah, dengan tanpa sadar Jalaluddin sering membaca sajak dan kasidah-kasidah, kalimat-kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Jalaluddin terus mencari dan mencari, ia tidak pernah bosan untuk menjelajahi dari satu tempat ke tempat lain demi bertemu dengan gurunya. Namun Syamsi Tabriz tak pernah ditemukan. Setiap orang ia tanya tentang keberadaan sang guru, siapapun yang memberikan petunjuk, atau bercerita tentang gurunya, ia dengan suka hati memberikan hadiah kepada orang tersebut.

Walaupun dalam perjalanan mencari gurunya tidak berhasil, lama kelamaan hati dan jiwanya  menjadi tenang. Ia terus berjalan dan mencari, hingga akhirnya ia punya satu kesimpulan bahwa gurunya sebenarnya tidak pernah hilang dan berpisah dengan dirinya. Jalaluddin berkata kepada dirinya sendiri:

"Antara aku dan Syamsuddin sama sekali tidak ada bedanya. Jika dia matahari, aku serbuk cahayanya. Jika ia laut, aku adalah bahteranya. Serbuk cahaya bersumber pada matahari dan kehidupan perahu (bahtera) pada laut."

Setelah pencarian panjang tidak mendapatkan hasil, Jalaluddin kembali ke Kauniyah tempat ia tinggal. Ia pun menyibukkan diri dengan mengajar kembali murid-muridnya. Namun kerinduan terhadap sosok sang guru terus menggelora. Ia mulai menata diri dan hati, bahwa antara dirinya dan gurunya sebenarnya tidak ada beda. Kau adalah Aku, dan aku adalah engkau dalam bentuk lain. Begitu kira-kira.

Dalam salah satu puisinya Jalaluddin menulis:

"Aku tidak akan lagi mencari. Aku akan mencari diriku sendiri, sebab segala yang ada dalam diri Syamsuddin, juga ada dalam diriku."

Walaupun demikian, tak dapat dipungkiri Jalaluddin merasakan kesepian dalam jiwanya. Dalam kesepian karena ditinggal gurunya inilah, Jalaluddin ditemani Sholahuddin Ad-Dukak, selama sepuluh tahun. Pada tahun 658 H Sholahuddin wafat, hal ini juga menyebabkan Kegoncangan hati Jalaluddin.

Setelah itu, Jalaluddin ditemani oleh Syal Hasamuddin sebagai kawan dukanya. Pada saat inilah Jalaluddin banyak menulis puisi. Ia menulis dan mengalir begitu saja tanpa berfikir dari akal pikirannya. Puisi ini kelak dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul al-Matsnawi al-Maknawi yang dianggap sebagai kitab sucinya orang Persia yang fenomenal itu.

*Bangilan, 29/09/19*

Kamis, 26 September 2019

Cahaya Dari Kendeng


Cahaya Dari Kendeng
Oleh: Joyo Juwoto



Cahaya…
Engkaulah cahaya
Yang berpendar dari sebongkah berlian permata 
Raden Qohar, gelar dan namamu begitu sangar menggelegar
Engkau…Rembesing madu trahing kusuma

Namun, bukan karena itu kemuliaanmu
Bukan karena nasab radenmu
Bukan karena gelar kebangsawananmu
Bukan,
Sekali lagi bukan

Engkau mulia karena darma
Dan bakti suci pada Bumi Pertiwi
Tulus ikhlas demi negeri
Di bumi yang engkau diami
Bumi yang engkau cintai

Raden Qohar… Samin Surosentiko
Tlah engkau wariskan api dalam darah kami
Tlah engkau kobarkan sumbu perlawanan
Yang membakar segala sampah kesewenangan
Melawan segala bentuk tirani dan penindasan
Karena darahmu adalah darah perjuangan

Eyang Samin Surosentiko
Aku mencari jejak perlawananmu
Pada cadas yang keras
Pada debu dan batu-batu
Dan pada kalbu serta laku
Sedulur sikep, Samin; Sami-sami amin.


Bangilan, 19/09/2019.

Kamis, 12 September 2019

Sains dan Dunia Islam

Sains dan Dunia Islam
Oleh: Joyo Juwoto

Sains dan Dunia Islam adalah sebuah buku tipis yang disarikan dari pidato yang disampaikan oleh Prof. Dr. Abdus Salam, di hadapan para ilmuwan, tokoh masyarakat, dan pejabat-pejabat di Kuwait. Beliau adalah seorang ilmuwan muslim pertama yang mendapatkan hadiah Nobel bidang fisika tahun 1981.

Buku ini setebal 36 halaman. Cukup tipis jika ditilik dari sebuah buku pada umumnya, walau demikian cukup berat bagi saya untuk membacanya. Kurang lebih dua mingguan buku itu selesai saya baca.

Bagi saya pribadi membaca hal yang berbau Sains, atau tulisan yang bergenre ilmiah cukup berat. Pusing kepala ini dibuatnya. Tidak seperti fiksi, yang kadang kalau sedang keranjingan membaca, saya bisa menyelesaikan membaca sebuah novel yang jumlah halamannya ratusan, bisa sekali atau dua kali duduk khatam.

Lha, ini untuk buku tipis saya harus menguras segala daya dan upaya agar bisa khatam. Paham tidak paham pokoknya saya baca. Alhamdulillah, pagi ini selesai terbaca. Walau saya sendiri sulit mengungkapkan apa yang telah saya baca.

Ada beberapa hal yang saya ingat dan saya pahami dari tulisan Prof. Dr. Abdus Salam, diantaranya adalah, bahwa umat Islam seharusnya mampu menguasai dan mengembangkan teknologi, karena itu bagian dari ilmu agama juga.

Dalam Al Qur'an sendiri banyak sekali petunjuk dan ayat tentang teknologi, dan itu perlu dipecahkan oleh umat Islam. Salah satu contoh petunjuk ilmu teknologi yang diberikan Al Qur'an sebagaimana dalam surat 34 ayat: 10-11 Allah berfirman yang artinya:
*Kami lunakkan besi bagi Daud, buat baju besi.*

Ayat ini menginformasikan tentang teknologi logam dan pertambangan yang harus dikuasai oleh umat Islam. Sebelum pertambangan dan teknologi logam sendiri ada, Al Qur'an sudah lebih dahulu menginformasikan hal ini kepada kita, umat Islam.

Namun sayangnya, umat Islam kurang peka dan tidak mau berfikir mendalam tentang hal ini. Kita masih suka beranggapan bahwa yang namanya ilmu agama itu yang hanya menyangkut kehidupan akhirat saja. Seperti ilmu tafsir, hadits, fikih, dan sejenisnya. Kalau ilmu-ilmu umum kita anggap bukan bagian dari ilmu agama.

Dulu sering kita mendengar, untuk apa belajar matematika, fisika, teknologi, toh itu tidak ditanyakan oleh malaikat di alam kubur, sehingga minat umat Islam terhadap ilmu-ilmu saints sangat rendah. Saya rasa ini adalah fakta yang bisa kita lihat di tengah masyarakat.

Dari pemahaman yang demikian, akhirnya umat Islam ketinggalan dalam dunia sains dan teknologi. Umat Islam sibuk berdebat masalah fighiyah, sibuk mempermasalahkan bilangan shalat tarawih, sibuk antara qunut dan tidak, sehingga energi kita habis hanya untuk perdebatan yang sia-sia.

Dari buku tipis yang ditulis oleh Prof. Dr. Abdus Salam ini seyogyanya menyadarkan kepada kita semua umat Islam bahwa Sains dan Teknologi wajib hukumnya dipelajari dan dikuasai oleh umat Islam, tanpa meninggalkan ilmu-ilmu yang lain tentunya. Intinya harus seimbang antar ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Bukankah sebelum masa pencerahan/aufklarung dunia barat terbit, umat Islam yang terlebih dahulu menguasai berbagai pengetahuan dan teknologi. Sebut saja Alkhawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitam, Jabir bin Hayyan, adalah bukti umat Islam melek sains dan teknologi.

Akhir kata, kita umat Islam  harus bisa mewujudkan doa sapu jagad yang sering kita lantunkan di setiap doa kita "Rabbana aatina fiddun-ya Hasanah, wa file aakhirati hasanah wa qinaa adzaaban naar".

Saya tutup tulisan saya ini dengan perkataan Al Kindi yang dinukil dalam bukunya Prof. Dr. Abdus Salam di lembar pertama:
"Maka bagi kita tidaklah pada tempatnya untuk malu mengakui kebenaran dan mencernakannya, dari sumber mana pun ia datang kepada kita. Bagi mereka yang menghargai kebenaran, tak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri; dan ia Tak akan pernah meremehkan ataupun merendahkan martabat mereka yang mencarinya". Sekian, semoga bermanfaat.


*Joyo Juwoto. Santri Kreweng, tinggal di Bangilan Tuban.*

Selasa, 03 September 2019

Senandung Kidung Kendeng


Senandung Kidung Kendeng
Oleh: Joyo Juwoto


Pada siang yang gersang
Pada kemarau yang risau
Pada debu-debu di jalanan berliku
Pada hutan jati yang sunyi
Aku telusuri ceruk wajahmu yang pias membisu

Wadag ragamu laksana pohon jati yang kokoh
terpasak pada padas-padas keras
Jiwa batinmu putih, sesuci bebukitan kendeng
yang memeluk kesederhanaan,
dalam harmoni cinta, pada semesta raya

Di kemarau yang bisu,
Jiwamu berseruling hening,
bersikep laku, berdharma bakti pada bumi aji
Semilir angin berhembus lampus
menerpa daun dan ranting-ranting kering

Daun-daun pun meranggas panas,
luruh terjatuh
gugur tersungkur mengubur udzur

Sepanjang waktu jiwaku didera kemarau rindu
 pada seulas senyummu
 yang menjelma batu dan debu-debu

Pada sepi yang menyendiri
Pada sunyi yang menyepi
 hatiku berbisik lirih
 Menyebut namamu penuh syahdu

Sedulur Sikep
Samin
Bukit kendeng
Dan pohon-pohon jati

Manunggal tunggal
Nyawiji dalam Saminisme sejati
Bersujud keharibaan ibu bumi pertiwi


Bangilan, 09/09/2019.

Minggu, 01 September 2019

Inilah Tempat Pertama kalinya Kendurian dilaksanakan oleh Sunan Bonang

Inilah Tempat Pertama kalinya Kendurian dilaksanakan oleh Sunan Bonang

Dalam sarasehan budaya haul ke 510 Sunan Bonang, bersama KH. Agus Sunyoto, yang dilaksanakan di Aula Kampus Stitma Tuban (Ahad, 25/08/2019), KH. Agus Sunyoto banyak membedah jejak langkah yang dilakukan Sunan Bonang dalam mendakwahkan Islam di Nusantara.

Menurut KH. Agus Sunyoto, yang juga sebagai ketua pusat Lesbumi Nahdlatul ulama ini Sunan Bonang adalah salah satu waliyullah yang memiliki banyak keahlian dan metode dalam mendakwahkan Islam di Tanah Jawa.

Salah satu fiqh dakwah Sunan Bonang di tengah masyarakat saat itu adalah ritual kendurian. Jika kita hari ini melihat kendurian sebagai kegiatan membaca kalimat thayyibah, yang kemudian dilanjutkan dengan  makan-makan, dengan lauk panggang ayam, maka tidak demikian dengan adat kenduren yang dilakukan oleh masyarakat di jaman Kanjeng Sunan Bonang.

Jika kita menelisik jejak perjuangan Sunan Bonang dalam rangka membuat upacara kenduren, maka akan kita dapati betapa kendurian saat itu tidak sesederhana seperti yang kita lihat dan kita lakukan seperti hari ini.

Cikal bakal kendurian sudah ada sejak zaman dahulu. Di tanah Jawa khususnya di wilayah Kediri ada sekelompok pemeluk agama BairawaTantrayana.

Kendurian yang dilaksanakan oleh kelompok Bairawa ini cukup mengerikan. Ritualnya namanya Panca Makara, atau disebut Ma5.  Sesaji untuk upacara Panca Makara berupa daging manusia, sedang minumannya adalah darah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Agus Sunyoto.

Oleh karena itu Sunan Bonang mengubah upacara Panca Makara dengan istilah kendurian seperti yang kita kenal sekarang. Tentu kita tidak bisa  membayangkan jika upacara Panca Makara masih dilakukan hingga saat ini. Ngeri.

Tempat pertama kali Sunan Bonang mengadakan upacara kendurian berada di sebuah langgar yang ia bangun. Tepatnya di desa Singkal Nganjuk. Sayangnya langgar itu tidak meninggalkan bekas. Petilasannya pun tidak ada. Demikian ungkap Kiai yang sangat tekun meneliti sejarah keislaman di Nusantara dan mengumpulkan ribuan manuskrip kuno itu. *Joyo Juwoto*