Kemerdekaan Yang (Bukan) Sekedar Karnavalan
Joyojuwoto*
Di
setiap tahunnya seremonial agung gemas hari kemerdekaan Republik Indonesia memang
terasa, mulai dari keharusan memasang umbul-umbul dan bendera di depan rumah,
iuaran Agustusan yang ditarik oleh para pamong desa, berbagai keriuhan ibu-ibu
di salon-salon kecantikan untuk merias anak-anaknya yang berusia balita yang
akan mengikuti karnaval, pentas seni, hingga seabrek kesibukan anak-anak
sekolah yang mengikuti gerak jalan, lomba balap karung, lomba makan krupuk,
lomba porseni, tidak ketinggalan juga lomba panjat pinang dan lain sebagainya. Semua
kegiatan itulah yang sekarang dimaknai dan dimengerti sebagai kemerdekaan oleh sebagian
masyarakat kita.
Memang
tidak ada salahnya merayakan hari kemerdekaan dengan berbagai hal di atas, jika
masyarakat bisa menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang selalu berulang tiap
tahunnya itu, berarti mereka dianggap
telah ikut mengisi kemerdekaan, klaim dan pengakuan yang sangat membanggakan. Akan
sangat memalukan dan akan dianggap tidak memiliki rasa nasionalisme jika ada
orang-orang mempertanyakan arti dan
makna kemerdekaan dari sudut pandang lain, semisal sejak kapan rasa
nasionalisme bisa diukur dari keikutsertaan karnaval, gerak jalan, upacara
bendera dan hal-hal lain yang hanya bersifat simbol dan seremonial belaka.
Kalau
hanya dianggap-anggap saja mungkin itu belum seberapa, kadang mereka akan
mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan bahkan akan dikucilkan dan
dianggap sebagai orang-orang yang merongrong nasionalisme bangsa. Padahal
mereka hanya ingin bertanya kemerdekaan itu sebenarnya bagaimana dan untuk
siapa ? apakah kemerdekaan hanya untuk hal-hal yang simbolis dan seremonial
belaka, tanpa menyertakan hakekat dari kemerdekaan itu sendiri ?
Toh
justru para pegawai pemerintah, para pejabat negara yang tiap hari senin selalu
rutin berupacara bendera, yang selalu menggembar-gemborkan agar rakyat memiliki
jiwa nasionalisme nyatanya mereka adalah orang-orang yang berada dibarisan
terdepan menjual dan menggadaikan kedaulatan republik Indonesia tercinta ini.
Meminjam istilah Cak Nun rakyat tidak perlu diajari dan disuruh-suruh berjiwa
nasionalis, karena rakyat adalah nasionalisme itu sendiri. Rakyat lapar makan,
makan sendiri, rakyat tidak punya pekerjaan mencari pekerjaan sendiri, rakyat
tidak pernah menjual aset bangsa kepada asing, rakyat tidak pernah ikut membuat
kebijakan dan undang-undang yang merugikan bangsa ini. Justru para
pejabat-pejabat itu yang harus bernasionalisme, mereka hidup digaji rakyat,
mereka diangkat menjadi pejabat oleh rakyat, para pejabat itulah yang
seharusnya dinasionalisasikan.
Sudah
puluhan tahun rakyat terbius dan tenggelam dalam euforia kemerdekaan semu yang
dibuat-buat, rakyat sudah semakin tidak memahami tepatnya rakyat dibodohi dari
makna kemerdekaan yang hakiki, inilah tugas orang-orang yang masih memiliki
kesadaran diri untuk kembali mengobarkan api kemerdekaan sebagaimana yang
digagas oleh faounding fathers bangsa ini. Dulu kita dijajah oleh Belanda, dulu
kita dijajah oleh Jepang, namun sekarang yang menjajah kita adalah Londo-londo
ireng, Nippon-nippon coklat, waspadai orang-orang yang mengaku nasionalis
yang mengaku cinta NKRI namun sikap dan perbuatannya sangat jauh panggang dari
api, sangat melenceng dari cita-cita kemerdekaan.
Ingat-ingat
selalu bahwa arah dan tujuan dari kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para
pahlawan bangsa ini adalah sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945, yaitu
terbentuknya negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Jadi
kemerdekaan, persatuan, dan kedaulatan adalah jembatan yang dipakai untuk
mengantarkan rakyat untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Jika rakyat belum
menikmati dua hal tadi, yaitu kemakmuran dan keadilan berarti kita belum
merdeka, kita masih harus berjuang, bahu membahu untuk mewujudkan tujuan itu.
Goalnya
kemerdekaan adalah keadilan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat di penjuru
nusantara, di seantero negeri Indonesia tercinta, bukan hanya untuk segelintir
orang saja, bukan hanya untuk para pemilik modal saja, bukan hanya untuk
pejabat dan kroni-kroninya, bukan hanya untuk kaum borjuis saja.
Yu
Darmi tukang sayur, Lek Bejo petani kecil, Kang Parmin Kuli Batu, Sarinah si
buruh pabrik, mereka-mereka harus dimerdekaan, harus disejahterakan, karena
hakekatnya kemerdekaan adalah milik rakyat dari bentang langit barat hingga
timur, dari utara hingga selatan, dari ujung Sabang sampai Merauke, dari
Mianggas hingga pulau Rote, merekalah pemilik sah negeri ini yang harus
menikmati kemerdekaan.
Tujuan
kemerdekaan bangsa adalah sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, bahwa negara didirikan untuk “Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Sudah
semestinya kemerdekaan yang menjadi cita-cita luhur bangsa Indonesia ini kita
perjuangkan dan kita wujudkan dalam bentuk yang senyata-nyatanya, dan bukan
hanya kemerdekaan yang hanya sekedar
karnavalan belaka. Sudah saatnya rakyat menikmati kemerdekaan yang sejati.
Merdeka !!!.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri PP. ASSALAM Bangilan dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar