Selasa, 26 Juli 2022

Hikayat Senyuman

Hikayat Senyuman
Oleh: Joyo Juwoto

Pendar matamu adalah cahaya
Yang menembus di relung jiwa
Selarik senyummu  adalah misteri
Di garis temaram yang sepi

Kau adalah bait puisi
Yang tak pernah usai kueja
Kau adalah sajak
Yang mengalir dalam labirin rasa

Aku jelajahi lembah jiwamu
Menakar kedalaman rahasia dalam hikayat Senyummu

Aku susuri sungai-sungai di lubuk hatimu
Menafsir bening mata air air matamu

Jiwa ragamu adalah misteri semesta raya
Yang maujud dalam Hawa
Sedang aku adalah Adam
Yang kesepian menunggu titah Tuhan
Dalam sabda Kun-Nya

Tuban, 03 Juli 2019

Seraut Wajah Tuhan

Seraut Wajah Tuhan
Oleh: Joyo Juwoto

Aku melihat Tuhan
pada keindahan  seraut wajahmu

Aku melihat kemurahan Tuhan
pada senyummu yang menawan

Memandangmu duhai sang kekasih
laksana bermandikan cahaya seribu purnama

Seulas senyummu wahai sang pujaan
bagai mata air yang menyejukkan

Gelombang cintamu
Menjelma menjadi badai rindu
Yang menenggelamkan jiwa ragaku

Duhai sang Kekasih
Duhai sang pujaan
Aku terbenam
dalam samudera kerohman-rohim-Mu

*Bangilan Pada Senja Hari, 09/07/19

Arok Dedes dalam Roman Pramoedya Ananta Toer

Arok Dedes dalam Roman Pramoedya Ananta Toer
Oleh: Joyo Juwoto

Banyak buku yang ditulis Pram yang saya baca, tapi untuk Arok Dedes baru kesampaian terbaca. Selain saya yang sudah kena penyakit malas membaca, karena roman Arok Dedes ini lumayan tebal, jadi ketebalannya menyempurnakan kemalasan saya dalam membaca roman tersebut.

Sebenarnya lucu juga ketika saya mendapatkan julukan seorang yang agak-agak mendekati Pramis dari salah satu guru saya menulis, tapi belum semua bukunya Pram saya baca. Walau demikian saya patut berbangga hati karena begini-begini saya pernah menulis esai tentang Pram bersama dua orang Pramis 24 karat tulen. Judul bukunya Tiga Menguak Pram.

Saya mulai tertarik membaca Arok Dedesnya Pram setelah saya membaca Pararaton yang ditulis ulang oleh Gamal. Kemudian saya mengulas ulang tentang Ken Arok yang saya padukan dengan ingatan dan kenangan saya saat mendengarkan kisah sandiwara radio Sabda Pandita Ratu. Nostalgia  yang saya tuliskan itu serasa membawa saya memasuki lorong-lorong kebahagiaan di dalam perasaan. Sensasinya sungguh terasa.

Setelah membaca Pararaton itulah kemudian saya mulai mencari Arok Dedes  yang tebalnya mencapai 500an halaman. Saya mulai ngemil membaca, dan ternyata bagus sekali Pram dalam menulis kisah sejarah itu. Pram benar-benar piawai mengolah kata, dan perbendaharaan pengetahuan Pram tentang Arok Dedes sangat mencengangkan menurut saya. Banyak istilah-istilah kuno yang dipakai oleh Pram, sehingga di sana-sini ada catatan kaki untuk menjelaskan kosakata yang asing bagi pembaca. Pram sungguh luar biasa.

Jika di serat Pararaton kisah Ken Arok banyak dongeng dan kisah mistisismenya, lain dengan Arok Dedesnya Pram,. Ia sungguh menolak itu semua. Di tangan Pram Arok Dedes menjadi cerita politik yang menggetarkan. Inilah kudeta berdarah yang dilakukan secara cerdik yang pelakunya justru dianggap sebagai pahlawan dan mendapatkan penghormatan yang tinggi. Demikian ujar pengantar dalam romannya Pram.

Ada banyak pengetahuan yang bisa saya petik dari membaca Arok Dedesnya Pram, semisal Tunggul Ametung dulu saya anggap sebuah nama, ternyata itu adalah gelar jabatan yang artinya adalah penggada kayu. Dia adalah alat yang dipakai oleh Sri Kertajaya Raja Kediri untuk menjamin arus upeti rakyat ke Kediri. Jadi Tunggul Ametung bisa dikatakan centeng atau tukang pukulnya kerajaan. 

Kemudian kisah Ken Dedes dan juga Ken Arok dideskripsikan cukup bagus dan detail sekali oleh Pram. Semisal ketika Ken Dedes diambil paksa oleh Tunggul Ametung untuk menjadi permaisurinya, Pram seperti hadir pada peristiwa itu kemudian menceritakannya kembali dengan sangat gamblang. Ada nama Gede Mirah juru rias Ken Dedes, Rimang seorang emban yang melayani Dedes yang mana nama ini tidak saya temukan  di Pararatonnya Gamal. Pram entah darimana sumbernya, ia mampu menceritakan secara detail prosesi perkawinan Tunggul Ametung-Dedes, sampai pada adegan ranjang yang menjadi bagian dari ritual perkawinan tersebut. 

Pram memang seorang maestro dalam  bercerita, pembaca bisa membuktikan saat membaca roman Arok Dedes  ini maupun novel-novel lainnya yang ditulis Pram. Di Arok Dedes ini saya menemukan nama kecilnya Arok, yaitu Temu yang bersahabat karip dengan Tanca. Nama Temu ini merujuk pada diri Arok yang ditemukan di kuburan dan tidak diketahui asal-usulnya. Lalu saya mendapati salah satu nama dari anak perempuan Bango Samparan yaitu Umang. Saya rasa Umang ini yang kelak menjadi istri kedua Ken Arok setelah menjadi Raja Singasari. Umang menjadi istri Arok ini semisal balas budi Arok kepada Umang dan keluarganya yang sudah mengasuh Arok saat muda.

Saat saya menulis Arok yang pertama, saya masih menyangka bahwa Arok adalah seorang preman dan penjahat yang brutal. Setelah membaca Arok Dedesnya Pram, pandangan itu berubah. Arok oleh Pram digambarkan sebagai Robin Hoodnya Tumapel saat itu. Atau seperti kisah Brandal Lokajaya yang mencuri demi perut si miskin. Arok hanya merampok begundal-begundal Tumapel yang merampas harta kekayaan rakyat kecil untuk dipersembahkan kepada Raja Kediri. 

Arok sendiri adalah seorang pemuda terpelajar murid dari Tantripala yang kemudian juga berguru kepada Dah nyang Lohgawe. Sebutan Arok sendiri disematkan oleh Dah Nyang Lohgawe kepada pemuda yang bernama Temon tadi. Arok artinya adalah Pembangun. Nama ini disematkan karena harapan besar sang Brahmana kepada pemuda cerdas tersebut untuk membangun kembali kejayaannya para pemeluk Syiwa. 

Jadi Kisah Arok Dedes tidak serta merta kisah politik belaka, namun di balik itu ada unsur pertentangan agama juga, yaitu antara Penyembah Wisnu dari kubu Tunggul Ametung dan pemeluk  Syiwa dari golongan brahmana jaringan Dah Nyang Lohgawe, termasuk bapa Ken Dedes Mpu Parwa. Polemik agama ini sangat menarik untuk dikaji.

Banyak hal yang bisa didiskusikan dalam Roman Arok Dedes ini, sayangnya saya belum khatam membacanya, baru masuk halaman 177 saya mungkin akan melanjutkan tulisan ini jika telah menyelesaikan semuanya. Yang pasti novel Roman Arok Dedesnya Pram sangat layak untuk kita baca dan kita petik hikmah di dalamnya. 


Bangilan, 25 Juli 2022

Sabtu, 23 Juli 2022

Cover Lusuh Bukuku

Cover Lusuh Bukuku
Oleh: Joyo Juwoto

Kubuka lembar demi lembar kertas usang bau ngengat
Debu-debu menempel di covermu 
Bukuku

Tempatmu terpojok
Di pojokan gedung tua
Wajahmu lusuh
Resah kehilangan gairah 
Owh bukuku

Bukuku
Disetiap rangkaian hurufmu
Adalah partikel cahaya
Bagi manusia yang mau melek baca

Bukuku
Bentang paragrafmu menjadi suluh, bagi gelapnya peradapan dunia
Menuntun insan, membuka jendela cakrawala dunia

Bukuku
Untaian kalimatmu adalah mutiara 
Yang terpendam dalam lembaran-lembaran kertas lusuhmu

Bukuku
Kau harta berharga yang dipandang sebelah mata 

Bangilan, 22/11/21

Jumat, 22 Juli 2022

Puisi dalam Kenangan

Puisi dalam Kenangan
Oleh: Joyo Juwoto

Saya menyukai puisi sejak remaja usia anak MTs, entah karena era itu adalah eranya sandiwara radio Tutur Tinular yang dalam beberapa episodenya menyiarkan seorang pendekar yang pandai bersyair, yaitu Pendekar Syair Berdarah. Saya cukup terpukau dengan syair-syairnya yang selalu dilantunkan sebelum ia membinasakan musuh-musuhnya. Lirik syairnya cukup indah walau diksinya mengerikan dan beraroma kematian. 

“Aku datang dari balik kabut hitam
Aku mengarungi samudera darah
Akulah pangeran kegelapan
Kan kuremas matahari di telapak tanganku
Kan kupecahkan wajah rembulan, pecah terbelah
... 

Selain diksinya yang indah, saya juga suka Arya Dwipangga ini ketika melantunkan syairnya, suaranya khas. Jadi selain mengidolakan Arya Kamandanu sebagai tokoh protagonis, saya juga mengidolakan tokoh antagonisnya karena syair-syairnya yang cukup mempesona menurut saya. 

Selain menyukai syair-syair dalam sandiwara radio tutur Tinular tersebut, saya juga pernah membaca puisi yang cukup membekas di dalam dunia kenangan. Waktu itu saya membaca sebuah puisi yang sangat dekat dengan dunia di mana saya tinggal. Puisi itu judulnya perahu kertas sama Sihir Hujan karya sang Sapardi Djoko Damono.

Perahu kertas itu seakan mewakili kegemaran saya dan kegemaran anak kecil bermain perahu yang terbuat dari lipatan kertas. Saya sering membuat perahu kertas yang kemudian saya larung di sungai di belakang rumah saya. Saya berimajinasi suatu saat akan pergi jauh menaiku sebuah perahu melanglang buana mengejar mimpi dan angan-angan.

Dalam bait puisi Sapardi itu juga mengingatkan kisah perahu Nabi Nuh, guru ngaji saya di langgar desa berkisah tentang banjir bandang yang melenyapkan kehidupan, yang selamat adalah para penumpang perahu Nuh, yang kemudian perahu itu terdampar di sebuah bukit. 

"Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah
Banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit"

Puisi telah memantik imajinasi saya sebagai anak desa yang hidup di tepi sungai, dan juga mengingatkan aktivitas mengaji di langgar kampung saat itu. Ternyata kisah-kisah dan puisi mempunyai dampak yang melekat dalam hati dan kenangan yang tak pudar oleh waktu. 

Untuk puisi Sapardi yang berjudul Sihir Hujan cukup membangkitkan kenangan saya di musim penghujan di kampung saya. Perhatian sajaknya yang cukup sederhana tepi mempesona:

"Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan – suaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
dan jendela. Meskipun sudah kaumatikan lampu."

Diksinya tidak berat, apa adanya dan sederhana, tetapi sajak itu menjadi semacam hujan kenangan yang tak pernah usai dalam diri saya. Ketika membaca sajak itu yang tergambar di kepala saya adalah pada saat hujan saya sekeluarga berkumpul di rumah, ada bapak, ada emak dan adik seorang. Saat musim hujan udaranya cukup dingin, apalagi genting rumah banyak yang bocor, bapak dengan sikap membenahi kebocoran genting rumah. Sedang saya tiduran di ranjang bambu, berselimut tikar pandan menunggu hujan reda. Emakku biasanya menggoreng jagung untuk cemilan di nanangan (tembikar dari tanah liat bekas wadah ikan asin). Itulah bayangan yang muncul saat hujan atau saat membaca sihir hujannya Sapardi Djoko Damono. 

Bait-bait puisi dari pendekar syair berdarah, perahu kertas, dan juga sihir hujan berkelindan dalam imajinasi seorang anak seperti saya saat itu, ada getar kebahagiaan ketika saya membaca puisi, hingga saya mencoba-coba menulis puisi, namun saya lupa apakah saya berhasil menulis puisi atau tidak.

Walau saya belum tahu benar apa itu puisi, namun saya sudah bisa menikmati dan merasai keindahan dari sebuah puisi, setidaknya puisi itu membangkitkan beribu kenangan. Di sekolah memang diajari karya sastra puisi tapi hanya sekedar retorikanya saja, bahwa puisi begini dan begitu, normatif dan deskriptif saja, tidak lebih. 

Itu beberapa kenangan saya tentang puisi yang pernah mampir di hati, sebenarnya masih banyak kisah lainnya, lain waktu jika berkesempatan akan saya tuliskan. Lalu adakah puisi yang membuatmu terkenang  kawan? 

Bangilan, 22 Juli 2022

Kamis, 21 Juli 2022

Ken Arok

 Arok
Oleh: Joyo Juwoto

Kisah tentang Ken Arok sudah saya dengar semenjak kanan-kanak, saat sandiwara radio marak di masa itu. Ken Arok ini dikisahkan dalam. Sandiwara radio yang berjudul Sabda Pandita Ratu yang cukup tenar di era tahun 80-90an. Mendengarkan sandiwara radio adalah salah satu aktivitas yang cukup menyenangkan sebelum maraknya tayangan televisi yang akhirnya menggeser kegiatan mendengarkan radio, seperti era sekarang internet menggeser keberadaan pertelevisian di tengah masyarakat.

Saya masih ingat salah tokoh dalam sandiwara ini, yaitu Ken Arok, seorang yang digambarkan sangat liar dan suka membuat keonaran dan keributan, sehingga Ken Arok mendapatkan sebutan Singa Liar Padang Karautan. Untuk julukan ini ternyata tidak saya temui saat saya membaca buku Pararaton yang ditulis ulang oleh Gamal Kamandoko. 

Menurut apa yang saya ingat, julukan singa liar padang Karautan itu terkait aktivitas Ken Arok yang menjadi begal di sebuah tempat yang bernama Karautan. Di sini pula nantinya Ken Arok bertemu dengan guru ruhaninya yaitu Begawan Lohgawe yang akan mengubah arah hidupnya. Ini dulu yang saya bayangkan saat mendengarkan sandiwara radio, saya jadi ingat tentang pertemuan Brandal Lokajaya dengan Sunan Bonang di hutan Jatiwangi, dua peristiwa yang memiliki kemiripan cerita. Tapi apa yang saya bayangkan ini tidak sepenuhnya benar, pertemuan ken Arok dengan Guru Lohgawe ternyata di tempat lain, begitu yang saya baca di serat Pararaton. 

Saya membaca buku Kamal Kamandoko seperti menggugah kembali memori saya tentang sosok pemuda brandalan yang bernama Ken Arok tadi. Di serat Pararaton namanya sebenarnya adalah Ken Angrok, mungkin karena soal pengucapan A yang kadang dibaca Nga sehingga terjadi perubahan dari Angrok menjadi Arok. Seperti juga orang-orang kidulan seperti Ngawi, Sragen, Magetan, ada yang membaca kata alamin menjadi ngalamin, tapi walaupun ada perbedaan dalam pengucapan, semua bersepakat bahwa antara Arok dan Angrok adalah satu nama yang sama. 

Satu hal lagi yang saya ingat dari sandiwara radio tersebut, bahwa salah satu ciri dari Ken Arok itu tangannya lebih panjang dari kakinya, kemudian di telapak tangannya ada rajah yang dikenal sebagai rajah Kala Cakra. Sampai-sampai saat itu saya terobsesi mencari buku tentang rajah demi mencari rajah yang terkenal keampuhan untuk membakar bangsa jin tersebut. Benar saat itu saya berhasil mendapatkannya, entah buku itu ada di mana sekarang. 

Ken Arok tokoh yang dikisahkan dalam sandiwara radio yang saya dengar maupun dalam serat Pararaton adalah anak dari seorang perempuan dari dusun Pangkur yang bernama Ken Endok yang bersuamikan seorang laki-laki yang bernama Gajahpara. Dalam kisahnya, Ken Endok ketika akan pergi ke sawah mengantar makanan untuk suaminya, ia ditemui oleh Dewa Brahma. Dewa Brahma memilih Ken Endok untuk melahirkan anaknya, sehingga Ken Endok ini dilarang untuk berhubungan badan dengan suaminya. Jika itu dilanggar maka suaminya akan meninggal dunia.

Saya menduga kisah ini adalah sandi cerita yang dibuat oleh penulisnya, bahwa Ken Arok ini bukan anak sembarangan, walau terlahir dari seorang perempuan desa, bisa jadi ayah dari Ken Arok adalah seorang penguasa atau pembesar kerajaan saat itu. Menurut saya ini adalah cara untuk menyembunyikan sesuatu demi menjaga nama baik sang penguasa dengan cara membuat sandi cerita. 

Kisah selanjutnya Ken Endok sebenarnya sudah memberitahukan akan hal itu kepada suaminya, namun bagaimanapun juga Gajahpara sebagai seorang suami tentu mengajak istrinya untuk berhubungan badan, singkat cerita setelah kejadian itu Gajahpara pun meninggal dunia. Setelah genap usia kandungan Ken Endok ia pun melahirkan bayi laki-laki, bayi itu pun dibuangnya di kuburan. Kemudian bayi itu dipungut oleh seorang yang berprofesi sebagai pencuri yang bernama Lembong.

Karena diasuh seorang pencuri, Ken Arok pun tumbuh menjadi pemuda yang berandalan, tidak hanya itu Ken Arok juga suka berjudi hingga harta orang tua angkatnya habis. Setelah itu Ken Arok pergi meninggalkan keluarga Lembong, ia mengembara dan kemudian diambil anak angkat oleh seorang penjudi yang bernama Bango Samparan.

Lengkap sudah segala kejahatan dan kebrutalan dari seorang Arok, dari diasuh oleh seorang pencuri kemudian dididik oleh seorang penjudi, sehingga ia menjelma menjadi brandal yang sangat meresahkan masyarakat. Pernah suatu ketika ia ketahuan mencuri kemudian ia hampir dibunuh oleh massa. Ken Arok lari dan diselamatkan oleh kekuatan dewa Brahma. Karena Sejahat-jahatnya Arok ia adalah keturunan seorang dewa yang kelak akan menjadi wakil Brahma di muka bumi, begitu cerita dalam serat Pararaton. 

Kejahatan Arok ini akhirnya berakhir ketika ia bertemu dengan seorang pendeta yang baru datang dari tanah Jambudwipa, namanya Dang Hyang Lohgawe. Dalam puja semedinya ia mendapat petunjuk dari untuk mengasuh seorang pemuda yang bernama Ken Arok tadi. Akhirnya Sang Brahmana menuju tanah Jawa dengan cara terbang menaiki tiga rumput kekatang. 

Sesuai petunjuk dari dewa, Brahmana Lohgawe harus mencari pemuda tadi di arena perjudian. Sesampainya di sana, Lohgawe memperhatikan seorang pemuda yang memang telah muncul dalam puja semedinya, sehingga ia langsung menebak dengan benar nama pemuda tadi. Sang Brahmana pun berucap "Tentulah engkau yang bernama Ken Arok, engkau aku ambil sebagai anak. Kutemani engkau pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja engkau pergi".

Pertemuan Ken Arok dengan Dang Hyang Lohgawe inilah yang akhirnya mengubah kondisi Ken Arok dari seorang berandalan menjadi prajurit kepercayaan Akuwu Tunggul Ametung di Kadipaten Tumapel yang mendekatkannya menuju garis takdir yang menjadikannya sebagai seorang raja besar di Tanah Jawa. Sekian.