Senin, 30 Juli 2018

Cerita Anak Kucing Yang Malang


Cerita Anak Kucing Yang Malang
Oleh : Joyo Juwoto


Anak kucing malang itu mengeja resah
Diantara deru debu dan panas menyengat
Warna hitam bulunya tampak lusuh
Dan ekor panjangnya menyentuh langit perasaan

Anak kucing yang entah itu
Mengeong-ngeong parau
Menggedor pintu hatimu
Membuka ruang untuk sekedar berteduh

Mencicipi sisa duri dan sekedar remahan
Dari makanan yang tak termakan
menghindar dari haus dan lapar
yang meneror perut dan kerongkongan

Anak kucing yang malang itu
adalah anak-anak waktu
yang menunggu uluran hati
dan tangan-tanganmu


 Bangilan, 30 Juli 2018






Minggu, 29 Juli 2018

WhatsApp dan Peluru Dakwah Kontemporer


WhatsApp dan Peluru Dakwah Kontemporer
Oleh : Joyo Juwoto

“Satu Peluru Hanya Bisa Menembus Satu Kepala, Tapi Satu Tulisan Bisa Menembus Ribuan Bahkan Jutaan Kepala” (Sayyid Qutub)

Perkataan Sayyid Qutub di atas sangat relevan dengan era sosmed (sosial media) jaman sekarang. Betapa hari ini belantara media sosial dipenuhi dengan arus informasi dan komunikasi yang tak terbatas. Setiap detik, menit, dan jam, disegala waktu tanpa jeda. Desingan peluru dan bombardir informasi dan komunikasi menerjang smarphone yang ada di tangan kita, menghabiskan paketan quota internet dan ruang penyimpanan dan memori smartphone, baik itu berupa pesan yang berbentuk tulisan, gambar, maupun yang berbentuk video.
Berbagai macam konten kiriman di smartphone yang kita pegang tentu sedikit banyak akan kita lihat dan kita baca, jika pesan-pesan itu berisi hal yang bermanfaat tentu akan memberikan dampak kebaikan bagi kita, namun jika pesan-pesan berantai yang masuk di smartphone kita hanya sekedar guyonan atau berisi hal-hal yang kurang bermanfaat tentu juga akan mempengaruhi kita juga. Oleh karena itu pintar-pintarlah memilih group jejaring sosial yang akan kita ikuti, baik itu group WhatsApp, Line, BBM, Wechat, Kakao dan lain sebagainya.
Jejaring media sosial ini pada dasarnya adalah media untuk menjalin komunikasi dengan sekelompok orang atau dengan anggota group, baik itu group profesi tertentu, group famili, group satu hobi, dan group-group lain yang dibuat untuk tujuan tertentu. Namun tidak jarang pesan-pesan di group kadang-kadang keluar dari tema dan tidak terkendali, baik itu berupa berita hoax, ujaran kebencian, kebohongan, gambar-gambar dan video yang tidak pantas dan berbagai macam konten yang jauh dari nilai kebaikan dan tidak mendidik, ini yang perlu kita waspadai.
Sejatinya jika kita mau menyadari dan memanfaatkan jejaring media sosial semisal WhatsApp untuk menangguk amal kebaikan yang berbuah pahala tentu akan sangat berguna sekali. Karena diakui atau tidak hari ini benda yang paling banyak dipegang dan dilihat di setiap waktu adalah smartphone. Bangun tidur pertama kali yang dipegang HP atau smartphone, kumpul-kumpul dengan teman HP tidak akan lepas dari tangan, di rumah, di tempat kerja, di pasar, bahkan di tempat ibadah HP selalu eksis dan tidak pernah ketinggalan.
Jika melihat fenomena perilaku masyarakat yang sedemikian, dan melihat revolusi informasi dan komunikasi di jejaring sosial yang sangat marak, maka ini adalah kesempatan bagi kita untuk menjadikan WhatsApp dan media sosial lainnya sebagai salah satu media alternatif dan jalan dakwah di era sekarang.
Dakwah memiliki banyak jalan, sebagaimana pepatah “Seribu Jalan Menuju Roma” Begitu pula dakwah memiliki seribu jalan yang lika-likunya bisa ditempuh oleh para da’i. Da’i yang saya maksud di sini bukan sekedar para ustadz dan pembicara di mimbar-mimbar agama, di panggung-panggung pengajian, di majelis-majelis ilmu, namun da’i di sini adalah kita semua, seluruh umat Islam yang mempunyai kewajiban untuk berdakwah sebagaimana yang dikatakan oleh Hassan Al-Banna “Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai’in” (Kita adalah da’i sebelum segala sesuatu).
Dakwah dengan tulisan sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid Qutub di atas sangat cocok dengan model dakwah WhatsApp dan media sosial lainnya. Satu tulisan yang kita lepaskan bisa menjadi peluru dakwah kontemporer yang menembus ribuan bahkan jutaan kepala para pembaca di majelis WhatsApp, oleh karena itu mari menulis dan menyebarkan tulisan yang baik agar tulisan tersebut membawa manfaat dan menjadi media dakwah di media sosial.
Selain menulis sendiri kita juga bisa ikut menyebarkan konten-konten yang bermanfaat yang ditulis dan dibuat oleh orang lain. Hanya saja kita harus saring sebelum sharing berita-berita dan tulisan di media sosial, kita harus mampu menahan jari-jari kita untuk tidak memencet tombol forward tanpa membaca isi dari berita dan mengecek kebenaran suatu berita, atau jika kita memang belum tahu lebih baik kita diam saja tanpa perlu ikut menyebarkan sesuatu yang tidak jelas. Diam dan menahan diri itu lebih baik daripada kita asal pencet, asal share.
Oleh karena itu mari membiasakan diri menulis dan mengeshare sesuatu yang baik dan bermanfaat di group-group media sosial yang kita ikuti, atau setidaknya jangan ikut-ikutan dan latah mengeshare berita-berita yang tidak jelas jluntrungnya.

*Joyo Juwoto, Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Buku yang sudah ditulisnya adalah: Jejak Sang Rasul (2016); Secercah Cahaya Hikmah (2016), Dalang Kentrung Terakhir (2017,) Cerita Dari Desa (proses) (2018) dan telah menulis beberapa buku antologi. Penulis bisa dihubungi via whatsApp di nomor 085258611993 atau kunjungi blognya di www.joyojuwoto.com.

Kamis, 19 Juli 2018

Yang Terkenang Dari Langgar Kampung

Berbahagialah jika Anda masih berada di kampung, atau di sebuah kota atau tempat mana saja yang masih memegang teguh dan mempertahankan adat tradisi Islam Nusantara. Adat-adat ini biasanya menjadi pengobat kerinduan bagi orang-orang yang hidup di perantauan, atau jauh dari kampung halamannya.

Salah satu dari tradisi Islam Nusantara  adalah puji-pujian yang dikumandangkan untuk menunggu imam langgar datang dan memimpin shalat berjamaah. Tradisi ini tentu tidak ditemui di negara-negara Timur Tengah, karena memang puji-pujian ini adalah bagian dari tradisi Islam Nusantara.

Tidak semua tempat ibadah baik itu masjid ataupun langgar yang ada di Indonesia yang melakukan tradisi puji-pujian ini,  karena biasanya masjid atau langgar yang dikelola oleh Islam moderat tidak ada puji-pujian. Islam yang berbasis ormas Muhammadiyah juga tidak ada pujiannya, begitu pula Islam yang berbasis Salafi, dan Islam perkotaan kebanyakan tidak pujian sebelum shalat didirikan.

Masalah puji-pujian kadang menjadi perdebatan diantaranya ormas-ormas agama Islam, namun di sini saya tidak sedang membahas perbedaan pendapat diantara banyak kubu dan ormas. Saya hanya ingin menuliskan kerinduan masa kecil saya dan mungkin juga kerinduan  Anda dengan dunia langgar yang mengasyikkan.

Biar para pakar dan ahli yang membahas apakah puji-pujian sebelum shalat itu bid'ah atau tidak? Apakah hal itu pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw,  para sahabat, dan para ulama shalafus sholeh? Apakah puji-pujian itu ada dalilnya atau tidak? Jika dilakukan berpahala atau berdosa? Dan masih banyak pertanyaan yang mungkin mengganjal. Karena saya bukan pakarnya, maka saya hanya ingin berbagi kerinduan dengan orang-orang yang sehati dengan kerinduan hati saya ini.

Bagi saya, puji-pujian yang dilantunkan di langgar - langgar ataupun masjid sebelum shalat adalah sesuatu yang terkenang indah di palung kenangan jiwa, suara dari orang-orang yang melantunkan pujian dengan sepenuh hati terasa menyentuh perasaan.

Puji-pujian itu menjadi daya cinta dan rindu terhadap altar suci ketuhanan dan pemupuk terhadap kerinduan kepada Nabi Muhammad saw. Itu yang saya pahami dari tradisi pujian yang menjadi produk dari Islam Nusantara. Saya tidak melihat gelagat adanya punya kepentingan membuat sesuatu yang baru dalam beribadah, apalagi upaya - upaya menandingi ajaran baku yang telah digariskan oleh kitabullah wa sunnatarrasul.

Berikut saya tuliskan pujian yang tadi baru saya dengar di langgar yang ada di kampung saya menjelang shalat Isya'. Sebenarnya saya ingin menulis dan mengumpulkan banyak puji-pujian tersebut. Kalau perlu didokumentasikan dalam bentuk audio agar tidak hilang dan terlupakan oleh sejarah. Agar generasi mendatang tahu salah satu produk kearifan dari sebuah peradaban Islam Nusantara, sebuah peradaban langgar.

Allahumma shalli ala Muhammad,
Allahumma shalli alaihi wa sallim 2x

Nabi Muhammad iku nabi kang mulya
Moco sholawat iku diakeh-akehono
Mumpung lawang tobat lawange iseh mengo
Yen wis ditutup bakal susah awak ira.

Jika kebetulan para pembaca memiliki dokumentasi puji-pujian ini, saya sangat senang dan bergembira. terlebih sekiranya pembaca juga mengirimkan filenya kepada saya, baik itu berupa dokumentasi tulisan maupun audio. File bisa diemailkan di joyojuwoto@gmail.com atau lewat Whatshap di 085258611993. Terima kasih.

Jumat, 13 Juli 2018

Inilah Tiga Langkah Memperpanjang SIM

Hampir setiap dari kita yang taat dan sadar hukum, dan bagian dari masyarakat yang memiliki kendaraan  bermotor tentu memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM), baik SIM A, B, lebih-lebih SIM C.

Karena masa berlaku SIM yang cukup lama, yaitu lima tahunan kadang-kadang kita lupa untuk memperpanjang masa aktif dari sim kita. Ini tentu akan menjadi permasalahan bagi anda sendiri. Oleh karena itu, jika mendekati masa habis berlakunya SIM, saya sarankan  agar mengecek atau melingkari dan memberi tanda pada kalender, agar jangan sampai sim kita kadaluwarsa .

Jika SIM kita mati atau kadaluwarsa walaupun itu hanya sehari, menurut aturan baru dari pihak kepolisian, maka anda harus mengulangi tes untuk mendapatkan SIM. Dan itu tentu lebih merepotkan daripada sekedar memperpanjang masa berlakunya SIM kita.

Syarat untuk memperpanjang masa berlakunya sim cukup mudah. Berikut beberapa hal yang harus kita siapkan untuk mendapatkan perpanjangan masa berlakunya sim kita:
1. Cek kesehatan agar mendapatkan surat sehat dari pihak puskesmas ataupun pihak rumah sakit. 
2. Foto copy KTP dan map warna kuning 
3. Mengisi selembar formulir identitas

Setelah tiga langkah tersebut kita lalui, kemudian kita ambil nomor antrian yang telah disediakan oleh petugas, biasanya kita dibantu oleh petugas yang berjaga.

Langkah selanjutnya kita tinggal menunggu dipanggil oleh pihak kasir untuk melakukan pembayaran. Dari pihak kasir inilah kita akan mendapatkan selembar kertas tanda bukti pembayaran. 

Setelah mendapat tanda bukti pembayaran perpanjangan sim yang kita ajukan, kita tinggal menunggu sesi sidik jari dan pemotretan. Proses ini waktunya cukup singkat, tinggal sidik sepuluh jari di perangkat sidik jari, kemudian  herek-herek tanda tangan, dan cekrek selesai sudah proses pengajuan perpanjangan sim. Terakhir sim tinggal kita ambil di loket pengambilan sim. Singkat mudah dan simple. 

Terima kasih kepada pihak kepolisian yang telah memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Semoga ke depannya pelayanan publik yang sedemikian lebih mudah murah dan berkualitas. 

Joyo Juwoto

Selasa, 10 Juli 2018

Tentang Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono


Tentang Sajak “Aku Ingin” Karya Sapardi Djoko Damono
Oleh : Joyo Juwoto

Membaca puisi adalah salah satu cara saya meneguk kejernihan mata air nurani, menghirup kesegaran udara batiniyyah di alam kekosongan. Membaca puisi adalah  tentang bagaimana kita sibuk menengok ke dalam diri yang paling murni dari pada menengok ke kanan dan ke kiri. Membaca puisi adalah membaca ayat-ayat Tuhan yang tersirat dalam kelindan dan jalinan kata yang kadang sulit dimengerti, sebagaimana agama yang memiliki ruang iman dan keyakinan, begitu pula bagi saya membaca sebuah puisi kadang walau musykil, namun selalu ada ruang untuk percaya pada sebuah kekuatan dan daya kata.

Di sini tentu saya tidak ingin berdebat dan didebat tentang menyamakan atau mensejajarkan puisi dengan agama. Bukan, bukan itu yang saya maksudkan. Agama tetaplah agama yang saya junjung tinggi kesakralan dan kesuciannya, sedangkan puisi bisa menjadi bagian daripada penjabaran dan pengejawentahan dari nilai-nilai agama itu sendiri. Mungkin ini hampir mirip dengan tema yang lagi viral, Islam Nusantara.

Namun,saya tidak punya kapasitas maupun otoritas berbicara tentang Islam Nusantara, maka dari itu saya hanya ingin menulis dan membahas tentang puisi cinta Sapardi Djoko Damono yang pernah mampir di lembaran kenangan saya masa silam.

Membaca puisi cinta yang ditulis penyair legendaris Sapardi Djoko Damono cukup misterius atau entah apa saya sendiri susah mengungkapkan bahasa rasa ke dalam bahasa tulisan, puluhan tahun yang lalu, saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya membaca puisi Sapardi tentang cinta yang berjudul “Aku ingin.” Mungkin pembaca juga pernah membaca dan merasakan sebuah “rasa” ketika membaca puisi itu. Silakan dikenang kembali gerak rasa dan amukan kenangan tentang puisi cinta dari Sapardi.

Sapardi memang piawai dalam meramu kata hingga memiliki ruh dan daya. Ya, puisi-puisi sapardi sangat melegenda, seperti Hujan bulan Juni misalnya. Puisi Hujan Bulan Juni ini bahkan telah ditransformasikan menjadi sebuah novel, lalu difilmkan juga. Sungguh luar biasa.

Selain pintar bermain kata, dan mencipta puisi yang romantis dan menyentuh perasaan, menurut penilaian saya, Sapardi juga pandai melambungkan angan-angan dan perasaan berbunga-bunga para pembaca puisi-puisinya. Silakan simak puisi Sapardi yang sempat dikira puisinya Kahlil Gibran ini.
“Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat
diucapkan
kayu kepada api yang
menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu
dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak
sempat disampaikan awan
kepada hujan yang
menjadikannya tiada”

Duh, serasa meleleh hati ini jika membaca puisi Sapardi ini, ada angan-angan yang mengangkasa dan perasaan yang melambung saat membaca bait-bait puisi Sapardi. Terasa cinta yang sakral dan suci dimiliki oleh seseorang yang mencintai orang lain. Cinta tanpa pamrih, cinta suci, cinta tanpa tanda.  Saya pun merasakan hal yang demikian, saudara-saudara.

Namun benarkah yang ditulis oleh Sapardi tentang cinta yang sedemikian hebohnya? Ah, ternyata tidak, alih-alih tentang cinta dan luapan kebahagiaan, justru puisi ini ditulis sebagai luapan patah hati seseorang yang ditinggalkan kekasih hatinya, duh...ini yang mungkin musibah diubah menjadi berkah. Saya mendengar langsung hal ini dikatakan oleh Sapardi di sebuah situs youtobe, sayang saya lupa apa judulnya.

Patah hati bukan untuk ditangisi, kegagalan  cinta bukan untuk diratapai, namun segala kegagalan-kegagalan itu diubah menjadi sebuah kata-kata yang luar biasa. Patah hati bagi para penyair adalah amunisi untuk terus berkarya, patah hati adalah bahan bakarnya para barisan penjomblo untuk menuangkan perasaan dan ide-idenya ke dalam sebuah tulisan. Kadang-kadang saya sempat berfikir, apakah para barisan patah hati yang susah move on itu memang sengaja memelihara kedukaannya demi sebuah asa? Ah, semoga tidak ada lagi para peternak patah hati yang tidak bahagia.


Inilah Faktor Kebuntuan Dalam Menulis


Inilah Faktor Kebuntuan Dalam Menulis
Oleh : Joyo Juwoto

Aktivitas menulis adalah sebuah keahlian yang harus selalu diasah setiap waktu, tidak jarang setelah kita vakum beberapa saat dari aktivitas menggerakkan jari di tombol keyboard, atau sekedar membuat coretan di selembar kertas terasa sangat berat. Ada tembok tebal yang menjadi penghalang untuk menuangkan ide dari pikiran melalui sebuah tulisan. Pokoknya bingung, mau memulai menulis dari mana, dan apa yang akan kita tulis.

Saya sendiri belum berwawancara dengan para penulis handal dan profesional, apakah kondisi yang sedemikian ini pernah mereka rasakan atau tidak. Jadi apa yang saya tuliskan di paragraf pertama mungkin hanya terjadi pada penulis pemula yang masih mencari-cari bentuk sebuah tulisan. Saya yang memang masih  amatiran dalam dunia tulis-menulis sangat merasakan kemampatan ide dalam membuat sebuah tulisan. Walau itu sebuah tulisan yang sangat sederhana sekalipun.

Jika  seseorang sudah membiasakan diri dalam menulis, dan berkomitmen untuk selalu menulis setiap hari, menurut apa yang saya amati di group-group literasi, seakan ada saja yang mereka tulis, dari hal yang sederhana hingga ke hal-hal yang rumit bin njlimet, ilmiah, dan bahkan bernas. Hal ini yang mungkin masih menjadi masalah dan kendala bagi para rombongan penulis pemula dan amatiran seperti saya.

Di bulan-bulan lalu hampir setiap dua hari sekali ada saja tema yang bisa saya tulis, dalam sebulan paling tidak ada sekitar 15-19 buah tulisan yang saya hasilkan. Namun bulan kemarin (Juni) saya baru bisa memproduksi 5 judul tulisan, sungguh kemunduran yang sangat ekstrim. Untuk bangkit dari keterpurukan tidak menulis ternyata juga tidak mudah, perlu semangat dan asupan gisi literasi untuk mencairkan kebekuan otak. Di bulan Juli hingga saat ini baru tulisan ini yang berusaha saya buat. Dan saya bertekad tulisan ini harus sampai di titik paragraf terakhir.

Menilik dari kebekuan saya dalam menulis ada beberapa sebab yang bisa saya petakan, diantaranya adalah:

Pertama, kurangnya tekad untuk selalu menulis setiap hari. Ya, benar tekad ini sangat menentukan seseorang untuk menulis, dan saya kira bukan hanya dalam hal menulis saja, semua hal membutuhkan kata tekad. Jika tidak ada kata tekad, maka selamanya kita tidak akan melakukan apapun kecuali hanya kesia-siaan belaka.

Kedua, Kurangnya istiqamah dalam menulis. Jika seseorang sudah mengikrarkan diri menjadi penulis, atau setidaknya punya keinginan menulis, maka sifat istiqamah ini sangat penting sekali. Usahakan setiap hari harus menulis, sesibuk apapun jangan sampai berdiam diri tanpa menulis sedikitpun, sebuah tema tulisan tidak harus jadi dalam satu waktu dan tanpa berpindah tempat duduk, kita bisa menuliskannya secara bertahap, yang penting istiqamah setiap hari.

Ketiga, Kurang asupan gizi dalam membaca. Aktivitas membaca memang tidak ada kaitannya dengan aktivitas menulis secara langsung,tetapi diakui atau tidak tanpa membaca seseorang akan kebingungan mau menulis. Membaca di sini tidak hanya sekedar membaca buku, namun membaca dalam arti lebih luas lagi yaitu melihat lingkungan dan sekeliling kita. Jika seseorang mau menulis tentu ia harus pintar-pintar membaca.

Keempat, malas beli buku. Mungkin ini bisa dikatakan sesuatu yang mengada-ada, atau hanya sekedar mitos atau pun iklannya bakul buku dan penulis, tapi menurut pengalaman saya pribadi, saya punya tekad menulis karena saya banyak membeli buku. Dengan membeli buku akhirnya terbit dalam hati saya keinginan untuk menulis, walau hasil tulisan saya belum sebanyak buku yang saya beli, tetapi dari kecintaan beli buku ini akhirnya memantik kecintaan saya dalam menulis. Mendapatkan sebuah buku memang tidak hanya dengan cara membeli, bisa jadi dari hadiah teman, pinjam dari teman, pinjam dari perpustakaan dan beragam cara lainnya, namun yakinlah dengan banyak membeli buku maka keinginan menulis itu akan muncul, setidaknya begitulah yang selama ini saya yakini.

Demikian beberapa hal yang saya rasakan ketika menghadapi bencana kebuntuan menulis itu melanda. Walau secara teori saya mampu mendeteksi faktor dan sebab kebuntuan saya dalam menulis, tetapi lagi-lagi saya tetap kesulitan dan gagal jika mengalami masa kebuntuan. Karena pada dasarnya jika ingin menulis jangan banyak berteori dan bermotivasi, cukup lakukan tiga hal saja, menulis, menulis, dan terus menulis. Jangan pernah berhenti menggerakkan jari, walau nanti yang muncul kata yang tak terbaca sekalipun. Wjdkvbkdslkmlkagds,rbhdvisjkan,,,,jkbdjhd.vdsj.ksafb. Salam Literasi.