Kali Kening Yang Sunyi
Joyojuwoto*
Berbicara Kali Kening
adalah berbicara kompleksitas sebuah masyarakat mulai dari sosial budaya, adat,
dan akifitas manusia yang berada di ruang lingkup lokal sosial utamanya di
daerah yang dilewati aliran Kali Kening. Kali Kening tidak hanya sekedar
komposisi sebuah sungai yang melibatkan susunan geografis dengan segala piranti
pendukungnya seperti air, pasir, batu-batu, ikan dan lain sebagainya. lebih
dari itu Kali Kening menyangkut masalah rasa, kenangan masa lalu, masa kecil, harmoni
cinta dan keindahan kehidupan di pedesaan.
Saya kira kita semua
sebagai anak-anak yang dilahirkan bersamaan dengan semilir angin dari
rerimbunan bambu dan merdunya gremicik air Kali Kening di bawah bentang langit Senja Biru, atau saat semburat merah matahari pagi,
tentu saja memiliki ikatan primordial dengan aliran Kali Kening. –Kali yang
mengabdikan sepenuh jiwanya untuk masyarakat ini akan tercatat dalam memori
batin paling intim dan suci pada
anak-anak Kali Kening. Kemanapun mereka mengembara, kali kening akan menjadi
tempat yang paling dirindukan dan melekat dalam kenangan.
Walau saya tidak
terlahir dari peradapan Kali Kening, namun banyak kenangan yang tersimpan dan
menjadi bagian dari kehidupan saya khususnya di masa kecil. Setidaknya saya
juga terlahir dari pinggiran kali yang memiliki cerita dan kebiasaan yang
serupa. Seperti lazimnya penduduk yang hidup di tepi kali tentu segala
aktifitas kita tidak terlepas dari peran dari kali itu sendiri. Kali telah
menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Kehidupan saya yang
bersinggungan dengan kali kening adalah saat saya menjadi santri di pondok
pesantren ASSALAM Bangilan Tuban, tepatnya anak dari kali kening, yaitu sudetan
kali yang dibuat oleh dinas pengairan yang membelah kota Bangilan ke selatan
hingga Senori. Saya masih ingat ketika saya mondok di Sidokumpul ketepatan
pondok saya berada di tepi timurnya sudetan kali itu. Untuk keperluan mandi dan
berwudhu kebanyakan santri menggunakan air kali yang saat itu jernih sekali.
Tiap shubuh kami para
santri mandi di Dam Brubul, saat itu kondisi masih gelap jadi kami bisa mandi
dengan leluasa. Jika musim kemarau tiba, air sudetan kali kening kadang surut
dan tidak mengalir, namun dam brubul masih menyisakan air yang melimpah di
kedungnya. Hari ini kedung-kedung sebagai media penyimpan air telah banyak yang
hilang hingga jika air kali surut maka sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk
mandi, lebih-lebih ritual mandi di kali juga sudah banyak ditinggalkan.
Pengalaman saya yang
masih saya ingat di sungai sudetan kali kening adalah pada saat kemarau, air sungai surut dan hanya
menyisakan genangan di dam brubul. Kalau tidak salah saat itu saya masih duduk
di kelas dua MTs. Sore hari saat saya mau mengambil wudhu di kali yang sedang
surut saya mendapati ikan Sili yang sangat banyak sekali, jumlahnya mungkin
ratusan lebih memenuhi genangan dam Brubul dan di pinggiran kali yang sedang
surut. Saya heran saja ikan sebanyak itu kok tidak ada penduduk yang mengambilnya
ya, jangan-jangan ikan Sili termasuk ikan yang tidak bisa dikonsumsi oleh
manusia sehingga dibiarkan begitu saja. saya pun hanya melihat ikan-ikan itu tanpa ada
keinginan untuk mengambilnya.
Selain memanfaatkan
kali kening sebagai tempat mandi dan wudhu kami para santri yang saat itu untuk
makan harus masak sendiri biasanya mencari kijing untuk dibuat lauk. Kami
menyisiri sungai mencari di lumpur-lumpur, setelah kijing-kijing itu terkumpul
kemudian kami bakar untuk dibuat lauk makan dengan nasi liwet. Saya masih ingat
seorang kawan saya dari desa Bendo, Mustofa entah saat membakar kurang masak
atau memang ia yang tidak tawar dengan kijing setelah makan ia muntah-muntah.
Kalau saya sih sudah biasa makan seperti itu. Di rumah di kali saya sendiri biasanya
saya juga suka mencari udang di balik batu-batu kali, hebatnya udang itu tidak
perlu dimasak saat mengkonsumsinya, langsung saya makan mentah-mentah begitu
saja. konon siapa yang memakan udang mentah maka ia akan pandai berenang begitu
kata kakek-kakek saya dulu.
Kali adalah tempat berkumpul
dan tempat bermain faforit anak-anak desa, di kali anak-anak bisa menciptakan
beragam permainan yang menyenangkan, mulai dari bermain pasir yang berada di
pinggirnya, membuat candi-candi, adu bola pasir, bermain sepak bola, yang
nantinya permainan akan ditutup dengan mandi di kali atau istilahnya bluron.
Namun sayang keceriaan kali sekarang telah sepi, kemajuan zaman telah benar-benar
merenggut harmoni semesta anak-anak desa.
Selain menjadi tempat
faforit kali juga menjadi sumber gizi bagi warga sekitarnya, biasanya warga
sekitar ada yang mencari ikan dengan cara menjala, memasang bubu, nyetrum dan
yang ekstrim adalah meracuni ikan, dua cara terakhir ini yang saya tidak suka.
Karena cara itu merusak dan mengancam ekosistem hayati ikan-ikan di sungai. Dan
semua terbukti kali sekarang telah kehilangan penduduknya, ikan-ikan telah
lenyap, hewan-hewan lain seperti Bulus, Regul, Kawuk, Sliro, burung Srimbobok
juga tinggal cerita.
Dahulu ada sebuah
musim di akhir kemarau yang sering ditunggu warga pinggiran kali kening, selain
mereka menunggu hujan pertama yang menandai pergantian musim kemarau ke musim
penghujan masyarakat biasanya juga menungu banjir pertama. Banjir pertama ini
biasanya air dari hutan-hutan di hulu sungai membawa kotoran ulat, karena
begitu banyaknya kotoran yang juga bercampur dengan lumpur menjadikan ikan-ikan
yang di hilir menjadi mabuk, masyarakat menyebutnya iwak munggut. Dengan
riang gembira masyarakat pergi ke sungai dengan alat seadanya mereka berpesta
ke sungai mencari ikan wader Bader, Udang, Dendeng, Lele, Keting, Sili dan
berbagai jenis ikan lainnya. Duh..jadi ingin merasakan kembali keceriaan ini.
Kadang kala saya merindukan
gaung peradapan lembah kali itu kembali,
gerombolan anak-anak riang gembira, Kebo-kebo dan Sapi mandi di kali yang
diiringi suara seruling gembala saat senja sungguh merdu dan mempesona, namun
semua itu tinggal kenangan belaka. Saya bermimpi suatu saat kali kening yang
sekarat hampir mati itu hidup kembali, saya bermimpi suatu saat kali kening
yang sunyi itu kembali bernyanyi.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota
Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” yang tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar