Kamis, 20 September 2018

Gerimis Asyura'

Gerimis Asyura
Oleh: Joyo Juwoto



Gerimis Asyura
membawa gerimis hatiku
Mendung langitmu
Sendu batinku

Gerimis Asyura
Gerimis luka duka dan nestapa
Padang Karbala menangis darah
Memeluk kekasihnya dalam dekapan debu bisu

Gerimis Asyura
Wahai Kasan wahai kusen
Wahai Zaenab

Wahai kekasih bumi
Wahai kekasih langit

Darah dan air matamu
Membasuh Angkara murka

Memadam  api dendam
Meremas culas dalam dada

Wahai para pemuda penghulu surga
Wahai kekasih sang Datuk mulia
Shalawat dan salamku terangkai dalam untaian tasbih dan doa-doa


Sabtu, 15 September 2018

Genthilut

*Genthilut*
Oleh: Joyo Juwoto

Entah nama makanan tradisional dari ketela pohon (menyok) ini ada dalam KBBI atau tidak, saya sendiri belum pernah mengeceknya, namun yang pasti genthilut adalah salah satu makanan khas dari ketela pohon yang cukup familiar menjadi camilan masyarakat yang ada di desa saya.

Membahas makanan tradisional di Nusantara, khususnya Jawa memang tidak pernah ada habisnya. Berbagai ragam makanan ataupun jajanan tradisional sangat banyak sekali, bisa dikatakan Nusantara adalah surganya kuliner dunia. Dari satu bahan saja bisa menghasilkan beraneka ragam makanan yang bisa kita nikmati.

Hal ini tentu tidak terlepas dari kreativitas dan daya cipta masyarakat dalam mewujudkan wisdom lokal yang berkaitan dengan kuliner Nusantara. Kebudayaan berkuliner masyarakat kita sangatlah kreatif, inovatif, dan beragama, hal ini merupakan kekayaan budaya yang harus kita syukuri dan kita lestarikan bersama. Sayangnya kekayaan lokal kita semakin hari semakin menipis, terkikis oleh era globalisasi dan modernisasi yang mengangkangi negeri ini.

Seperti yang saya bahas di depan, bahwa genthilut mungkin sudah sangat asing di telinga anak-anak kita, dan kita sebagai orang tua juga tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan genthilut kepada anak cucu kita.

Hari ini kita lebih merasa bangga jika mengajak dinner keluarga di restoran mahal, hari ini kita merasa bergengsi jika pulang ke rumah dengan membawa oleh-oleh kentacky, pizza hut, dan apapun yang berbau barat. Seakan praduk Barat adalah jaminan modernitas dan kegagahan.

Jadi jangan melulu menyalahkan keadaan jika dari hal yang terkecil mulai hilang dan langka dari peradaban kita, jangan heran jika anak cucu kita tidak mengenal pohon silsilah, buyut, canggih, wareng, udeg-udeg  siwur  dan  sebagainya, karena kita ikut serta menjadi aktor melemahnya karakteristik budaya bangsa.

Ah, mungkin rasa-rasanya terlalu berlebihan dan lebay jika saya menghubungkan genthilut dengan peradaban bangsa, toh genthilut hanyalah salah satu produk olahan ketela pohon yang menjadi soko guru ketahanan pangan Nusantara.

Ketela pohon bisa bertahan berbulan-bulan dengan cara dikeringkan dan tetap bisa diolah menjadi makanan khas yang luar biasa enaknya, sebut saja ketiwul. Selain itu biasanya ketela juga dibiarkan kering bahkan hingga membusuk di atas genting rumah penduduk, kelak saat musim hujan tiba, ketela itu akan menjelma juga menjadi makanan khas yang lain lagi nama dan rasanya, walau sama-sama dari ketela. Gatot, namanya.

Dan masih banyak lagi peradaban ketela yang dimiliki oleh bangsa kita, belum peradaban-peradaban lainnya. Begitulah kehebatan, kreativitas dan daya tahan masyarakat kita dalam hal pangan, mereka tidak pernah ambil pusing dengan yang namanya dolar naik ataupun perekonomian global yang sekarat, karena pada dasarnya ekonomi kita adalah ekonomi kerakyatan yang ditopang oleh perketelaan yang beraneka ragam. Tinggal pintar-pintar kita dalam mengolahnya.

*Joyo Juwoto, penulis adalah santri Ponpes ASSALAM,  tinggal di Bangilan Tuban.*

Minggu, 02 September 2018

Filosofi Rumah

*Filosofi Rumah*
Oleh : Joyo Juwoto
Bulan Dzulhijjah atau orang Jawa menyebutnya sebagai bulan besar adalah bulan yang biasanya dipakai oleh masyarakat untuk menyelenggarakan hajatan, khususnya pernikahan. Tidak heran jika pada bulan besar kita sering panen resepsinan, baik itu undangan teman, kerabat, dan juga tetangga-tetangga dekat.
Kemarin saya menghadiri pernikahan salah satu teman yang ada di luar kecamatan. Seperti biasanya jika ada undangan tentu dengan senang hati saya pun datang. Bersama teman-teman yang lain kami pun berangkat rombongan dengan bersepeda motor. Maklum tempatnya tidak terlalu jauh.
Sesampainya di tempat hajatan, kami disambut oleh penerima tamu. Kami pun duduk sambil menikmati jajanan yang diberikan oleh penerima tamu di depan.
Tak berselang lama acara inti, yaitu mauidzoh temanten  disampaikan oleh Gus Maimoen Zubair dari Sarang Rembang. Saya pun menyimak dan mencatat beberapa nasehat yang disampaikan oleh putra dari Kiai sepuh nan kharismatik, Mbah Maimoen Zubair.
Diantara nasehat pernikahan yang disampaikan membahas akar dan makna dari rumah.
Makna rumah dari kosakata bahasa Arab banyak memiliki arti, yaitu:
*1. Baitun* : dari kata: baata-yabiitu maknane kanggo nginep dalu. Usahakan agar kita selalu tidur di rumah. Jangan hanya menjadikan rumah sebagai tempat singgah sementara.
*2. Maskan* : panggonan tenange ati. Dalam ayat dikatakan, Litaskunuu ilaiha.
Rumah bisa menjadi maskan, syaratnya ada dua:
1. Mawaddah, cinta yang dinyatakan dan dibuktikan dengan perbuatan nyata.
2. Rohmah, ingat segala kebaikan dari kedua belah pihak.
*3. Daarun* bermakna perputaran, atau kantornya rumah tangga. Hal ini berarti segala kegiatan suami istri  dilakukan  di dalam rumah.
*4. Manzilun* Rumah berfungsi sebagai tempat persinggahan. Jadi rumah juga berfungsi sebagai tempat melepas segala beban dan lelah dari pekerjaan kita di luar rumah.
Demikian beberapa makna rumah sekaligus fungsi dari rumah.
*Nasehat pernikahan dari Gus Ghofur Maemoen dengan tambahan penjelasan dari penulis*