Sabtu, 29 Juni 2019

Pada Secangkir Teh di Hutan Pinus

Pada Secangkir Teh di Hutan Pinus
Oleh: Joyo Juwoto

Di sela-sela bebatuan dan percikan air sungai
Diantara bayang-bayang pinus dan kabut yang mulai turun
Dingin terasa

Bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan
Harum mewangi menerbangkan angan dan mimpi

Pada secangkir teh dengan aroma wangi bunga melati
Menghangat gairah cinta dan rinduku padamu

Aku peram seribu rindu
Aku pendam sejagad cinta
Pada lembah dan ngarai
Pada percik air sungai
Pada gunung-gunung
Dan pada semesta raya

Aku dekap jagad semesta
Pada setitik debu yang berhamburan di aspal dan jalan
Aku arungi luasnya samudera
pada setitik air embun yang menggantung di pucuk daun

Pacet, 28-06-2019

Senin, 24 Juni 2019

Selaksa Do'a dan Air Mata

Selaksa Do'a dan Air Mata
Oleh: Joyo Juwoto

Sajak-sajakmu sungguh memilu
Untaian kalimat di setiap baitmu terasa mengharu sendu
Diksi-diksimu mewakili jeritan hati yang tersakiti

Ada kepahitan yang kau sembunyikan dalam senyuman
Ada kepedihan yang kau simpan dalam genggaman

Kusediakan selaksa doa tuk sembuhkan sembilu-sembilu kepedihan

Kesediakan selaksa air mata
Tuk membasuh luka duka lara

Ah, selaksa do'a dan air mata
Kupanjatkan ke langit jiwa
Kugelar dalam altar suci permohonan

Kutaburkan bunga-bunga doa dan harapan
Memohon anugerah dan kekuatan
Dalam dekapan cinta dan  kasih sayang Tuhan

Bangilan, 23 Juni 2019

Sabtu, 22 Juni 2019

Mekar Sakura di Langit Senja

Mekar Sakura di Langit Senja

Di pelataran senja yang merona
saat langit berwarna jingga
Sakura tersenyum indah menggoda jiwa

Apapun tentangmu sakuraku,  adalah citra keindahan
Mekarmu memacu harapan
Bagi cinta dan kesetiaan

Mekar Sakura di langit senja
Bercerita di setiap helai kelopakmu
Pada binar yang memerah indah nan merekah

Mempesona bagi jiwa-jiwa
Yang terbakar  asmaradahana

Pada sepasang kekasih
Yang berjanji di penghujung musim semi
Saling bertemu dalam taman rindu yang menggebu

Mekar Sakura di langit senja
Menyatu dalam dekap ruang rindu

Mekar Sakura di langit senja
Meluruh runtuh
Dalam kesatuan jiwa.


*Bangilan, Di bawah pohon imaji Sakura*.

Jumat, 21 Juni 2019

Mata Air Keberkahan Bumi Tremas Pacitan

Mata Air Keberkahan Bumi Tremas Pacitan
Oleh: Joyo Juwoto

Pesantren Tremas Pacitan berada di ujung selatan pulau Jawa, jaraknya dari tempat saya tinggal sekitar 200 KM. Untuk mencapai lokasi pesantren bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Medan dan viewnya  cukup bagus bagi yang suka petualang.

Secara umum letak geografis  daerah Pacitan bagian utara sebagian besar berkontur pegunungan yang kering dan panas di musim kemarau,  sedang Pacitan bagian selatan berupa pantai-pantai yang cukup menawan.

Jalur dari Ponorogo menuju Pacitan cukup indah namun sangat menantang. Di satu sisi jalan raya Pacitan berupa tebing-tebing yang cukup tinggi, sedang di sisi lainnya adalah bentangan sungai. Sayangnya waktu saya lewat kondisi sungai mengering. Saya membayangkan betapa indahnya jika sungainya mengalir jernih. Eksotik sekali.

Alhamdulillah, walau bukan sebagai santri pondok Tremas, kemarin saat liburan lebaran saya bersama teman-teman santri berkesempatan menginjakkan kaki kami di bumi Tremas yang penuh barakah. Kami sowan kepada Kiai Luqman, salah satu pengasuh pesantren Tremas generasi ke enam.

"Pondok pesantren Tremas termasuk salah pondok tertua di Nusantara". "Pondok Tremas ini berdiri sekitar tahun 1820 M, sekitar jaman Pangeran Diponegoro." Begitu dawuhnya Mbah Yai Luqman saat kami sowan  ke ndalem beliau.

Saya sendiri awal kali mendengar dan mengenal nama Pondok Tremas dari dawuhnya Mbah Yai saya,  Almaghfurlah KH. Abd. Moehaimin Tamam, pendiri pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban. Saat itu beliau bercerita kalau adik iparnya nyantri di sana.

Menurut kisah yang beredar di kalangan santri, jika mondok di Tremas kuat Istiqomah mondok dan tidak pulang selama tiga tahun insyaallah menjadi orang yang alim, kalaupun jika tidak alim insyaallah diganjar barakah gampang golek rejeki. Itu yang pernah diceritakan oleh Mbah Yai saya dulu.

Kisah seperti ini tentu bukan isapan jempol semata, tercatat banyak santri Tremas yang berhasil dan akhirnya menjadi kiai yang alim dan masyhur. Bahkan Kiai Mahfudz At-Termasie termasuk punjernya Kiai di Nusantara. Pendiri NU Mbah Hasyim Asy'ari  pernah nyantri di Tremas, KH. Munawir Krapyak Jogjakarta juga santri Tremas, salah satu pendiri Gontor, KH. Sahal juga pernah menjadi santri di Tremas. Dan masih banyak Kiai-kiai yang pernah menyesap mata air keberkahan dari pesantren Tremas ini.

Semoga keberkahan bumi Tremas menyebar semakin luas, dan memberikan keberkahan dan kebaikan bagi bumi Nusantara tercinta ini. Aamiin. Salam Santri sowan lan Sungkeman.

Kamis, 20 Juni 2019

Keajaiban Sowan kepada Kiai Luqman Harits di Tremas Pacitan

Keajaiban Sowan kepada Kiai Luqman Harits di Tremas Pacitan
Oleh: Joyo Juwoto

Mumpung suasana masih lebaran dan pesantren di mana saya belajar masih libur, saya bersama kang-kang santri lainnya berkunjung ke beberapa Kiai, sebagaimana beberapa tulisan yang telah saya posting sebelumnya.

Jika kemarin saya menulis tentang Mbah Moen, Gus Qoyyum, dan insyaallah nanti berlanjut mengenai Gus Ulil dan Mbah Mus,  juga tentu Gus Baha' di mana saya sowan ke beliau-beliau, maka edisi tulisan ini saya ingin sedikit bercerita tentang perjalanan kami ke Pacitan.

Semoga tulisan-tulisan saya dari hasil pengalaman sowan ke beberapa kiai ada manfaatnya, khususnya tentu buat saya pribadi. Setidaknya sowan kami kepada para kiai adalah salah satu upaya mendekatkan diri kepada orang sholeh dan juga sebagai wujud mahabbah santri kepada Kiai.

Ketika berbicara tentang Pacitan mungkin yang terbayang di benak kita adalah tanah kelahiran Pak Susilo Bambang  Yudhoyono (SBY), tapi jangan lupa di Tremas ada sebuah pesantren tertua ke-5 di Nusantara, yaitu Pondok pesantren Tremas Pacitan yang telah berusia sekitar 200 tahun.

Nama pesantren Tremas cukup dikenal dan menjadi jujugan para santri dalam menuntut ilmu di Indonesia, ini semua tidak terlepas dari peran kiai KH. Muhammad Mahfudz At-Termasie salah seorang ulama Nusantara yang produktif dalam menulis kitab.

Para santri dari generasi ke generasi tentu memiliki kisah dan pengalaman yang cukup menarik dan berkesan dalam perjalanan hidupnya, karena bagi santri pesantren bukan berarti sekedar tempat menuntut ilmu se
mata, namun lebih daripada itu pesantren adalah bagian dari kekudusun atau punden bagi kehidupan seorang santri.

Dalam khasanah pesantren, kisah-kisahnya kadang tidak masuk di akal, namun nyata adanya. Saya sendiri pernah mendengar salah satu cerita tentang pesantren Tremas dari Mbah Yai saya, di lain waktu nanti akan saya ceritakan. Untuk tulisan ini saya akan bercerita tentang hal yang saya anggap sebagai sebuah keajaiban.

Ceritanya begini, setelah saya dan temen-temen santri sowan di ndalemnya kiai Luqman Harits, kami pun berpamitan. Tentunya setelah kami seruput teh yang disuguhkan kepada kami. Selain mendapatkan suguhan jajan dan minuman kami sebelum pamitan didoakan kebaikan dan keselamatan oleh Kiai Luqman.

Sebenarnya, selain Kiai Luqman, kami juga akan sowan kepada Kiai Fuad yang juga pengasuh pesantren Tremas. Tapi karena beliau sedang tidak enak badan, kami pun mencukupkan diri sowan kiai Luqman. Setelah itu kami pun serombongan meluncur pulang.


Ketika perjalanan pulang sampai di kota Ponorogo, ada operasi kendaraan bermotor. Mobil dan sepeda motor dihentikan oleh pak Polisi, begitu juga mobil yang kami tumpangi dihentikan oleh salah seorang polisi yang sedang bertugas.

Saya sempat khawatir, karena saat itu saya membawa sebongkah batu sebesar kelapa. Batu itu saya pakai untuk ngganjel mobil saat kami naik ke puncak bukit Tompe. Karena medannya cukup terjal, kami berjaga-jaga dengan batu jika sewaktu-waktu mobilnya tidak kuat menanjak, maka batu itu bisa menjadi penolong. Dan benar memang, mobil yang kami tumpangi berhenti sejenak memulihkan tenaga, dan batu itu pun berjasa, sebagai ganjel ban belakang.

Lebih terkejut lagi mungkin Mas Tris, teman kami yang bagian nyopiri mobil. Karena sabuk pengamannya tidak dipasang. Wah gawat, alamat kena tilang ini, karena memang biasanya seperti itu.

Saat itu saya duduk di kursi bagian tengah, kondisi kaca mobil terbuka, dan batu itu berada di dekat kaki saya. Pak polisi yang menghentikan mobil kami menengok ke dalam mobil di mana saya duduk. Deg, saya sempat kaget, jangan-jangan  batu yang tadi sempat berjasa kepada kami menjadi biang masalah.

Setelah menengok ke dalam mobil, entah karena apa tiba-tiba pak Polisi yang baik hati itu bilang, "Wis ndang lanjut!" Plong rasanya, tidak ada masalah dengan sabuk pengaman yang tak terpasang, dan juga batu yang berjasa kepada kami itu. Padahal saat itu pak polisi sama sekali tidak menanyakan kelengkapan surat-surat kendaraan dan juga SIM dari pengendara. Alhamdulillah.

Saat kendaraan berjalan kembali, saya merasa mendapatkan keberkahan dan keajaiban. Karena saya memiliki keyakinan bahwa apapun yang sedang kita jalani tidak terlepas dari orang-orang baik yang telah mendoakan kebaikan, keberkahan, dan keselamatan kita dalam menjalani kehidupan ini.

Oleh karena itu jangan pernah meremehkan orang lain, karena kita tidak pernah tahu darimana doa-doa kebaikan dan keselamatan yang kita terima itu dipanjatkan. Yang kita tahu bahwa doa saudara-saudara umat Islam di mana pun berada ditujukan untuk keselamatan dan kebaikan kita semuanya.

Salam Santri Sowan lan Sungkeman.

Senin, 17 Juni 2019

Inilah Dawuhnya Mbah Moen kepada Gus Yunan

Inilah Dawuhnya Mbah Moen kepada Gus Yunan
Oleh: Joyo Juwoto


KH. Yunan Jauhar, atau akrab dipanggil Gus Yunan, pengasuh pondok pesantren ASSALAM Bangilan Tuban suatu ketika sowan riyayan ke ndalemnya Mbah Maimun Zubair Sarang atau Mbah Moen.

Gus Yunan adalah Gus saya, yaitu putra kedua  dari KH. Abd. Moehaimin Tamam, pendiri pondok pesantren ASSALAM Bangilan, semoga Allah memuliakan beliau. Gus Yunan ini yang menggantikan Abahnya sebagai pengasuh pondok pesantren ASSALAM Bangilan, setelah Mbah Yai Moehaimin Tamam meninggal dunia.

Memang lazim adanya di kalangan kiai maupun santri untuk saling berkunjung dan bersilaturahmi kepada yang lebih sepuh. Jadi ketika musim riyayan biasanya para kiai maupun santri sama sowan kepada kiai-kiai sepuh. Mbah Moen ini termasuk salah satu kiai sepuh yang ada di Jawa, bahkan mungkin se-Indonesia.

Mbah Moen sendiri pernah dirawuhkan ke pondok pesantren ASSALAM Bangilan, memberikan mauidzoh hasanah saat Haflah Akhirussanah beberapa tahun silam.

Saat sowan di Sarang Gus Yunan didawuhi oleh Mbah Moen, "Muhith, Muhaimin, Hanifah, Hasyim wes podho kapundut, kuwo seng istiqomah yo cung?". (Muhith, Muhaimin, Hanifah, Hasyim sudah sama meninggal dunia, kamu yang istiqomah ya nak?)

Demikian yang disampaikan oleh Mbah Moen kepada Gus Yunan.

Mbah Moen punya harapan besar kepada Gus Yunan agar beristiqomah dalam ngemong santri, meneruskan perjuangan Abahnya sebagai pengasuh pondok pesantren ASSALAM, sebagai Medan perjuangan di tengah-tengah masyarakat. Karena pesantren adalah salah satu benteng moral dan peradaban umat.

Selain itu, Mbah Moen juga bercerita:

"Biyen mbah Tamam lan mbah Muzadi nek sowan mbah Zubair, gak oleh kundur karo bapakku yen durung melu jama'ah dzuhur lan asar. (Dulu Mbah Tamam dan Mbah Muzadi kalua berkunjung ke mbah Zubair (Abahnya Mbah Moen) tidak boleh pulang sebelum ikut jama’ah shalat  dhuhur dan shalat asar)

"Terus trukke mbah Tamam dikebakki gabah lan beras dibagi-bagi kiai-kiai sek nek Sarang kene." (Mobil Truknya Mbah Tamam selalu dipenuhi dengan beras untuk dibagi-bagikan kiai-kiai yang ada di Sarang)

 Lanjut Mbah Moen bercerita tentang hubungan dzurriah Gus Yunan dengan Mbah Zubair serta Kiai-kiai di Sarang yang cukup baik dan akrab.

Demikian cerita yang dibagikan oleh Gus Yunan tentang sowan beliau ke Sarang.

Menelisik Jejak Buku Cerita Naila dan Nafa

Menelisik Jejak Buku Cerita Naila dan Nafa
Oleh: Joyo Juwoto

Cerita Naila dan Nafa adalah buku keempat saya yang terbit tahun 2018, namun karena suatu hal buku ini baru bisa dicetak tahun 2019 oleh penerbit Niramedia.

Buku saya ini bergenre fiksi, yang berisi 15 judul kumpulan cerita anak. Buku ini saya tulis dan saya persembahkan untuk anak-anakku dan juga anak-anak di seluruh penjuru dunia dengan dunia ceria dan kegembiraan yang melekat pada mereka semuanya.

Buku yang berlatar belakang cerita keseharian anak saya ini saya tulis dalam rentang waktu seenaknya saja, lepas tanpa deadline tanpa ketergesaan, dan tidak ada tekanan dari pihak manapun. Karena memang saya menulis sekedar memenuhi kebahagiaan saja.

Tulisan sederhana tentang dunia bermain anak-anak saya ini kemudian saya kumpulkan, saya baca ulang untuk saya teliti dan akhirnya saya punya keinginan untuk membukukannya.

Setelah terkumpul sebanyak 15 judul cerita akhirnya kumpulan tulisan itu saya beri judul Cerita Naila dan Nafa, saya ambil dari kedua nama anak saya. Kemudian naskah itu saya kirimkan ke teman yang memiliki penerbitan buku untuk memprosesnya.



Alhamdulillah, ketepatan saya punya teman juga yang pinter membuat lukisan anak. Namanya mbak Rosita, beliau ini selain pelukis juga pinter nulis, sebuah kemampuan yang cukup luar biasa. Dari tangan pakar mbak Rosita inilah cover buku, hingga ilustrasi gambar di setiap cerita di buku menjadi "sempurna" untuk disajikan kepada pembaca.

Walau demikian, tentu saya akui banyak kekurangan dalam buku yang saya lahirkan, dan saya berharap kritik serta saran dari pembaca untuk lebih baiknya lagi buku-buku saya ke depan. Semoga buku sederhana tersebut bisa memberikan manfaat dan memperkaya khasanah bacaan anak-anak kita.

Untuk menghibur dan memberikan apresiasi serta hadiah terhadap diri saya sendiri, saya kutip sebuah quote yang cukup bagus, "Karya yang bagus adalah karya yang selesai" jadi saya cukup bangga tulisan saya selesai dan diterbitkan menjadi sebuah buku.

Salam Pena.

Jumat, 14 Juni 2019

Meneladani semangat Literasi Gus Qoyyum Lasem

Meneladani semangat Literasi Gus Qoyyum Lasem
Oleh: Joyo Juwoto

Saat saya bersama rombongan road sowan sungkeman lebaran di Gus Qoyyum Lasem, kami ditanya oleh beliau:
"Niki rombongan saking pundi?" Tanya Gus Qoyyum

Saya yang kebetulan berada di posisi yang dilihat oleh beliau, saya pun menyahuti: " Saking Bangilan-Tuban, Bah. Pondok ASSALAM Bangilan" jawab saya.

Mendengar jawaban saya, Gus Qoyyum menimpali: "Owh, saking pondoknya keluarga Mbah Hasyim Muzadi" lanjut beliau di hadapan tamu yang lainnya.

Selanjutnya Gus Qoyyum bercerita kalau dulu Mbah   Muchith Muzadi pernah mondok di Kajen Pati. Beliau juga bercerita kalau Abahnya Gus Qoyyum saat nyantri satu pondok dengan Mbah Muchith Muzadi.

Bangilan memang bukan kota kecamatan yang terkenal, namun dari kota Bangilan terdapat  sosok-sosok yang luar biasa, semisal mbah Hasyim Muzadi, mbah Muchit Muzadi, mbah Misbah. Selain itu, di wilayah Senori ada Mbah Abu Fadhol, di Laju Singgahan ada Mbah Sarbini. Dahulu  orang-orang menyebut wilayah ini bukan berdasarkan kecamatan, namun menyebutnya sebagai Bangilan-Senori digabungkan menjadi sebuah identitas.

Jika di Bangilan ada Mbah Bah yang cukup produktif menulis dan menerjemahkan kitab, di Senori ada Mbah Dhol yang juga memiliki puluhan karya berbahasa Arab, maka kita patut bangga di tengah minimnya semangat menulis para Santri bahkan Kiai di era ini, ternyata masih ada juga ulama yang hari ini  memiliki semangat dan keahlian dalam menulis. Salah satunya adalah Gus Qoyyum Lasem.

Gus Qoyyum sendiri saat kami sowan sungkeman di ndalemnya, beliau mengomentari bahwa Mbah Misbah sangat produktif dalam menulis. "Ulama dahulu memang sangat produktif dalam menulis, tapi sekarang sudah mulai berkurang" dawuh Gus Qoyyum di hadapan para tamu.

Kita tentu sangat bangga, di saat dunia literasi masyarakat cukup rendah, ternyata Gus Qoyyum memberikan teladan bagi kita untuk terus menulis dan menulis. Yang luar biasa beliau ini menulis dalam bahasa Arab. Luar biasa.

Diantara kitab-kitab yang telah ditulis oleh Gus Qoyyum diantaranya adalah: Nuurun 'ala Nur, As-Sholeh wat thooleh, al-Aalim wal Aalam, Risaalatul Hindi, Ayyuhan Nas, 'Ajaaibut Tauhid, Risaalatul Junuudi, Al-Insaniyyah min Turaasi Afghanistan Wa Fadhoiluha, Risaalatu Arba'iina Indonesiatin Fil Hayawaani.

Karya-karya dari Gus Qoyyum cukup banyak sekali, sayang sekali kemarin saat sowan sungkeman saya belum bisa berburu kitab-kitab beliau. Semoga di lain waktu bisa ke Lasem sowan beliau sambil berburu kitab-kitab yang di tulis oleh ulama jenius dari Lasem yang tidak lulus SD dan tidak pernah mondok ini. Subhanallah.

Kamis, 13 Juni 2019

Sungkem Mbah Maimun Zubair

Sungkem Mbah Maimun Zubair
Oleh: Joyo Juwoto

Ini adalah tulisan edisi lebaran setelah kemarin saya menuliskan perjalanan road sowan sungkeman ke berbagai Mbah Yai. Jika kemarin saya menulis secara panjang dan global, maka di edisi ini saya ingin meninggalkan jejak dan berusaha mencari hikmah dari road sowan sungkeman kepada para Yai yang saya kunjungi bersama teman-teman santri lainnya.

Saya percaya bahwa tidak ada di dunia ini yang sia-sia, apapun itu ada banyak hikmah dan pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari setiap jejak perjalanan anak manusia. Sekecil apapun suatu peristiwa pada dasarnya banyak hal yang tersurat maupun yang tersirat yang dapat kita tafsirkan dan kita jadikan renungan.  Tinggal seberapa pintar dan bijak kita menyikapi semuanya.

Pertama saya akan mengulas sungkeman di Sarang, yaitu saat sowan dan sungkem di Mbah Moen. Untuk sowan di Sarang tentu tidak mudah bisa langsung ketemu dan meminta dawuh ataupun nasehat dari Mbah Moen. Selain kesibukan beliau tentu faktor usia juga sangat mempengaruhi intensitas menemui tamu. Apalagi saat ini adalah hari raya, yang mana tamu beliau tentu sangat banyak.

Tetapi Alhamdulillah, walau hanya sekedar hadir untuk salaman kepada Mbah Moen tanpa mendapatkan wejangan atau dawuhnya saya pribadi merasa mendapat semacam energi positif, atau dalam bahasa khas pesantren mendapatkan barakah.

Dalam pujian yang dilantunkan di langgar-langgar desa, diantara obat hati yang lima salah satunya adalah dekat dengan orang Sholeh. "Wong kang Sholeh kumpulono". Sowan kepada para Yai adalah upaya untuk berkumpul dengan orang-orang Sholeh.

Perintah kumpul dengan orang Sholeh ini bukan hanya kita harusengaji berbagai disiplin ilmu pengetahuan darinya, bisa  kumpul saja, tanpa melakukan apapun saya kira sudah sangat bermanfaat. Inilah yang saya sebut sebagai barakah.

Jalma lipat seprapat prasasat tamat, begitu idiom kearifan petuah Jawa, jika kita dianugerahi Tuhan sebuah kemampuan lebih dalam menyerap suatu hikmah, maka walau hanya secercah cahaya maka kita mampu memanfaatkan cahaya itu sebagai obor bagi laku kehidupan kita di dunia.

Begitupula walau hanya sekedar bersentuhan tangannya Kiai, mencium tangannya Kiai akan ada aliran keberkahan yang akan melingkupi kehidupan kita insyaallah.

*Sarang, 07 Syawal 1440 H.*

Selasa, 11 Juni 2019

Road Sowan Sungkeman di hari Lebaran


Road Sowan Sungkeman di hari Lebaran
Oleh: Joyo Juwoto

Sungkeman adalah tradisi yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat kita, khususnya di perayaan  hari raya idul Fitri. Tradisi sungkeman adalah tradisi mengunjungi dari yang muda kepada yang lebih tua, atau yang dituakan. Tradisi saling meminta maaf dan saling merelakan atas segala salah dan khilaf, yang disengaja atau mungkin yang tak tersengaja.

Tepat di hari ketujuh dari hari raya idul Fitri saya bersama teman-teman santri, mengadakan road sowan sungkeman ke beberapa kiai, yaitu ke Mbah Maimun Zubair Sarang, berlanjut ke ndalem Gus Qoyyum Lasem, lalu meluncur ke Leteh Rembang, di kediaman Mbah Yai Mustofa Bisri.

Dalam edisi road sowan sungkeman ini, saya tidak  tertarik untuk menanggapi atau mempermasalahkan hukum boleh tidaknya tradisi sowan dan Sungkeman di hari raya idul Fitri. Biar pakarnya pakar, core of the core saja, yang menjlentrehkannya secara gamblang, bernas dan bersanad tentunya.

Bagi saya pribadi semua tradisi baik di tengah masyarakat yang tidak menyalahi syariat, tidak ada alasan untuk kita tolak dan kita hapuskan. Justru tradisi itu perlu kita ikuti, kita jaga, dan kita lestarikan, asal sesuai dan tidak menyelisihi ajaran agama. "Antum a'lamu bi umuuri dun-yaakum", masalah tradisi adalah masalah sosial kemasyarakatan, bukan masalah ibadah mahdhoh.

Kembali ke perjalanan road sowan kami, sebanyak 8 sepeda motor meluncur dari Bangilan menuju Sarang, Alhamdulillah sesampainya di Sarang diterima  dan langsung sowan dan sungkem ke Mbah Moen tanpa menunggu terlebih dahulu. Anti antri, langsung masuk ndalem.


Karena saat itu tamu cukup banyak kami, hanya bersalaman dan kemudian duduk di beranda depan. Setelah sungkem, kami langsung pamitan, karena Mbah Moen harus segera istirahat, maklum beliau yang begitu sepuh masih sempat-sempatnya kersa menerima tamu yang selalu ngantri berhari-hari.

Dari Mbah Moen rombongan meluncur ke Lasem. Sepanjang perjalanan pemandangannya cukup indah. Birunya laut menghampar di sepanjang perjalanan, kapal-kapal milik nelayan berjajar di pinggir pantai,  khususnya di jalur pantai Kec. Sluke hingga di pantai dekat pasujudan Sunan Bonang Lasem. Di sepanjang jalan banyak toko yang menjual ikan yang dikeringkan (ikan gereh), didisplay bergantung di depan toko.

Setelah perjalanan sekitar 15 menitan kami sampai di pusat kota Lasem, yaitu di pertigaan lampu merah dekat masjid agung Lasem. Ndalemnya Gus Qoyyum sudah dekat, kami pun segera meluncur ke kelurahan Soditan. Alhamdulillah, saat itu Gus Qoyyum sedang menerima tamu, kami pun langsung bergabung serta dengan tamu-tamu lainnya.

Gus Qoyyum dengan Bangilan desa kami,  ternyata sudah cukup akrab. Menurut cerita beliau Mbah Yai Muchith Muzadi salah seorang tokoh NU dan pengawal khittah NU  pernah nyantri di Pati, yaitu di pondoknya Mbah Sahal Mahfudz Al maghfurlah. Gus Qoyyum memang masih kerabat dengan pesantren di mana saat mbah Muchith mondok di Pati.

Setelah acara sungkeman selesai, kami serombongan motor pun bergerak ke barat ke arah kota Kartini Rembang. Tujuan selanjutnya adalah sungkem di Gus Mus. Jarak Lasem-Rembang tidak jauh, Pondok pesantren di mana Gus Mus tinggal berada di sebelah barat alun-alun kota Rembang.

Tidak sulit untuk mencapai lokasi ndalemnya Gus Mus, setalah sampai di pondok kami langsung njujug ke ruang tamu. Karena Gus Mus sedang tidak enak badan, kami ditemui oleh putra menantu beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla.

Kami serombongan memperkenalkan diri dari Bangilan. Gus Ulil tentu sangat tidak asing dengan nama kampung kami, karena di sana ada famili dari Gus Mus, yaitu beliau almaghfurlah KH. Misbah Zainal Mustofa, pengasuh pondok pesantren Al-Balagh Karang Tengah Bangilan. Mbah Bah, ini seorang penulis kitab yang produktif dari Bangilan-Tuban. Karya-karya beliau banyak dikaji dan dijadikan rujukan di pesantren-pesantren di Jawa.

Setelah dirasa cukup kami pun pamitan. Sebelum pulang saya beranikan diri minta foto sama Gus Ulil, untuk gantinya merepotkan Shohibul bait untuk foto, saya berikan hadiah kagem Mbah Mus buku saya yang berjudul "Dalang Kentrung Terakhir", semoga beliau berkenan membacanya. Selain itu tentu saya juga berharap Gus Ulil ikut serta membaca buku saya.

Seperti sebelumnya, sebelum pamitan kami dibarakahi doa oleh tuan rumah, baik di Mbah Moen maupun di Gus Qoyyum, baru kemudian kami pamit pulang untuk menyelesaikan misi sowan selanjutnya, yaitu ke Gus Baha' di Narukan Kragan Jawa Tengah.

Kami serombongan kembali ngegas menuju Narukan. Sesampainya di sana, kami harus menunggu Gus Baha'. Karena beliau sedang istirahat dan baru bisa menemui tamu sesudah shalat Ashar. Tak mengapa kami pun menunggu sambil menikmati hidangan yang disiapkan untuk tamu.

Setelah jama'ah sholat Ashar kami pun diterima Gus Baha' di ndalem beliau yang sangat sederhana, sebagaimana penampilan dari Gus Baha' sendiri. Saya pernah ikut ngaji tafsir di Gus Baha', beliau penampilannya memang sangat sederhana dengan ciri kopyah hitam dipakai dengan agak miring, atau agak ndangak. Satu-satunya hal yang sangat istimewa dari Gus Baha' adalah keilmuannya yang sangat mumpuni dalam agama, baik bidang tafsir, hadits, fikih, dan logika dalam beragama.

Setelah mendengarkan pengajian-pengajian dari Gus Baha' menjalankan ajaran agama terasa cukup simpel dan mudah. Karena memang logika beragama yang dibangun beliau bernas dan sesuai dengan standar keilmuan para ulama salafus Sholih. Saya sendiri cukup suka mendengarkan pengajian beliau lewat YouTube.

Dari Sungkeman di Gus Baha' kami pun pulang dan mampir untuk bersilaturahmi di rumah teman yang kebetulan juga berada di Kec. Kragan. Kami mampir di rumah sdr. Abdur Rouf di desa Tanjung Sari. Di sini kami makan kupat dengan sayur lodeh yang dihidangkan oleh tuan rumah. Kebetulan besok hari raya kupatan. Alhamdulillah.

Karena nuansa desa Tanjung Sari berbukit,  kami pun tak melewatkan berfoto dengan latar belakang hijaunya tanaman padi dengan lanskap pegunungan yang mengitari desa yang cukup indah itu.

Saya pernah baca banyak cerita tentang kearifan lokal desa Tanjung Sari, semoga ke depan saya bisa menghadirkan edisi tulisan tersendiri tentang desa Tanjung Sari yang penduduknya cukup ramah dan guyup.

Selamat hari raya idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

*07 Syawal 1440 H*

Rabu, 05 Juni 2019

ISBAT bersama Dompet Peduli Dulur Tuban Santuni Yatama dan Dhuafa Di Kecamatan Bangilan

*ISBAT bersama Dompet Peduli Dulur Tuban Santuni Yatama dan Dhuafa Di Kecamatan Bangilan*
Oleh: Joyo Juwoto

Di penghujung Ramadan yang penuh berkah dan rahmat dari Allah Swt, ISBAT bersama Dompet Peduli Dulur Tuban (DPD Tuban) mengadakan kegiatan santunan yatama dan dhuafa sekecamatan Bangilan yang di gelar pendopo Kec. Bangilan (04/05/2019).

Kegiatan santunan yang dihadiri anak yatim-piatu dan dhuafa  ini terlaksana berkat sinergitas yang positif seluruh elemen masyarakat di kecamatan Bangilan. "Semoga acara santunan Yatama dan Dhuafa berjalan dengan lancar, tanpa ada kendala, itu harapan kita semua" kata ketua ISBAT Pak Muin Bekam.

Acara yang dipandu oleh ibu Siti Rokhani berjalan cukup baik sesuai dengan harapan bersama. Setelah mahallul qiyam acara demi acara pun berjalan.

"Ada sejumlah 50 yatama dan 25 dhuafa perwakilan dari seluruh desa di kecamatan Bangilan, yang sore ini mendapat santunan dari ISBAT bersama DPD Tuban " demikian yang dipaparkan oleh pihak ISBAT yang diwakili oleh ust. Mulyadi, salah seorang pengajar di Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban.

Dalam mauidzoh yang disampaikan oleh Pak Kiai Dardiri, beliau mengajak agar masyarakat memperbanyak syukur. Beliau juga menanamkan pesan kepada anak-anak yang hadir, melalui cerita tentang ketaatan seorang anak kepada orang tuanya yang berbuah keberkahan di dalam hidup si anak.

Kang Chipnal selaku ketua DPD Tuban, dalam sambutannya mengatakan: "Dompet Peduli Dulur Tuban hadir sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat Tuban, oleh karena itu kita mohon kerjasama seluruh masyarakat demi kebaikan bersama."

Lebih lanjut inisiator pendekar siaga dari Montong ini mengatakan bahwa kepedulian perlu digerakkan untuk memberikan motivasi dan keteladanan untuk generasi mendatang. "Cita-cita baik harus kita perjuangkan bersama" kata Mas Chip menutup sambutannya.

Selain Mas Chip, hadir pula founder Dompet Peduli Dulur Tuban, Pak Adi Widodo.  Beliau mengajak masyarakat Tuban, dan Bangilan khususnya untuk selalu menebar kebaikan di manapun berada, karena setiap amal kebaikan bernilai sedekah. Demikian ucap tokoh muda kelahiran Bangilan itu.

Bapak Camat Bangilan, yang diwakili Pak Eko sangat mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan oleh ISBAT, yang bekerja sama dengan Dompet Peduli Dulur Tuban, beliau memberikan dua jempol untuk ISBAT atas kiprahnya selama ini, di berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan di Bangilan.

Setelah acara santunan kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan buka bersama dengan undangan di pendopo kecamatan Bangilan.

*Bangilan, 04 Mei 2019.*