![]() |
http://stafa-band.web.id |
Membaca
Tembang “Ingsun” Karya Sujiwo Tejo
Oleh
: Joyo Juwoto
Apapun yang berbau
jawa saya suka, mungkin faktor ini yang
menjadikan saya menyukai lagu-lagu Sujiwo Tejo khususnya yang berbau filosofis
kejawen. Sujiwo Tejo yang terkenal sebagai seorang dalang mbeling memang
memiliki lirik-lirik lagu kejawen, Seperti Kala Mangsa, Sugih Tanpa Banda,
Ingsun, dan masih banyak lagi. Walau tidak banyak lagu yang saya hafal namun
saya selalu menemukan mutiara di setiap lirik lagu yang ditulis oleh presiden
Jancukers ini.
Mungkin pada diri dan
pemikiran Sujiwo Tejo banyak kontroversi, dan bahkan mungkin bertolak belakang
dan belum sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakini masyarakat secara
mapan, bukan berarti diantara belantara pemikiran Sujiwo Tejo tidak ada benang
merah hikmah dan kebenaran yang bisa dipetik darinya. Bahkan tentu Sujiwo Tejo dan
orang-orang yang sepemahaman dengannya meyakini akan kebenaran dari
pemikirannya. Masing-masing orang tentu memiliki hak meyakini kebenaran yang
dianutnya tentunya.
Kembali kemasalah
lirik lagu Sujiwo Tejo, saya pernah menguraikan sedikit mengenai syair Sugih
Tanpa Banda, lagu ini menurut penuturan dari Sujiwo Tejo diambil dari ajaran R.
Sosrokartono yang terpahatkan di batu nisan beliau yang ada di kota Kudus. Dan kali
ini saya juga ingin menguraikan sedikit tentang lagu yang berjudul “Ingsun.”
Dibanding lagu Sugih Tanpa banda, lirik lagu Ingsun lebih panjang dan rumit, karena selain berbahasa
Jawa kuno lirik lagunya penuh metafor yang susah untuk dimengerti.
Berikut saya tuliskan
syair lagu Ingsun :
Nunggang Rasa
ngener ing panggayuh
lunging gadung
mrambat krambil gading
gegondel
witing rasa pangrasa
nyancang jadi
wasanane
(Naik pada rasa hanya
untuk menuju harapan
Akar pohon gadung
merambat di pohon kelapa gading
berpegangan pada
batang kesadaran rasa
dan akhirnya menjadi
tali kehidupan
Mbrebes mili
banyu saking langit
tibeng kedung
lumembak ing pangkon
anut nyemplung
lelakon ngaurip
cumemplung rasa
atiku
(Air dari langit
deras menetes
jatuh ke dalam kedung
beriak di pangkuan
ikut terjun dalam
cerita kehidupan
tenggelam dalam
kesadaran hatiku)
Candrane wong
nglangi
ing tlaga
nirmala
candrane
kumambang
ing sendang
sumala
seperti orang yang
berenang
di danau nirmala
seperti orang yang
mengambang
di telaga Sumala
Solan-salin
slagane manungsa
empan papan
sasolah bawane
esuk sore rina
sawengine
ajur-ajer
njing kahanan
Wajah-wajah manusia
selalu berubah
tergantung pada
waktu, tempat, dan tingkah polah manusia
pagi, sore, siang,
dan malam
berubah-ubah sesuai
kondisi dan keadaan
tan lyan
gegondelan
Tarlen mung
wit krambil gading
(tiada tempat
bersandar
kecuali pohon kelapa
gading)
Mumet bin bingungkan,
membaca lirik lagu Ingsunnya Sujiwo Tejo? saya sendiri juga meraba-raba baik
lewat susunan katanya maupun cengkok dan nada dari lagu ini. Kadang memang kita
tidak mampu memahami sebuah susunan bahasa secara kata perkata, namun “rasa”
dari lagu itu bisa kita baca dan kita terjemahkan lewat instuisi jiwa. Ya tentu
ini akan sulit untuk dimengerti kecuali bagi orang yang merasakan sendiri.
Sebagaimanaa orang Jawa dalam memahami konsep ketuhanan menggunakan istilah
“tan kena kinaya ngapa,” istilah ini kalau dalam bahasa agama mendekati kalimat
“Laisa Kamitslihi Syai’un.” Begitu kira-kira pendekatan “rasa” yang saya maksud
di atas.
Masalah pendekatan
“rasa” tentu hanya yang mendengar dengan jiwa saja yang mampu menangkapnya,
sedang metode memahami lirik lagu ini melalui pendekatan arti kata perkata
ternyata juga masih menyisakan masalah. Karena lagu ini seperti yang saya
katakan di atas penuh dengan metafor yang perlu disingkap satu persatu. Coba
perhatikan arti kata perkata dari lirik tersebut versi bahasa Indonesianya,
tentu kalau kita pahami secara letterlijk maka kita akan kesulitan
mengaitkan arti bait perbait dari syair lagu di atas.
Saya sendiri juga
seribu mumet menangkap makna dari tembang “Ingsun” tersebut di atas. Setelah
saya pahami sedikit demi sedikit, saya singkap lembar demi lembarnya saya
menyimpulkan bahwa lagu ini berkenaan dengan perjalanan manusia dalam mencapai kesejatian
hidup untuk mewujudkan impian dan cita-citanya. Seseorang akan mampu mencapai
impian manakala ia berpegangan pada tali kesadaran hidup. Ini yang dimaksud di
bait pertama.
Bait kedua
menjelaskan tentang lika-liku hidup yang dijalani manusia dari titah langit
menuju takdir kehidupan di muka bumi yang harus dijalani dengan penuh kesadaran
diri. Lakon hidup harus kita perankan sesuai dengan kapasitas yang kita jalani.
Bait ketiga
memberikan gambaran tentang gambaran kehidupan di dunia ini diibarat orang yang
berenang di kedalaman danau suci. Hidup ini suci, jagad ini suci, harus kita
jaga kesuciannya dengan kebaikan-kebaikan laku. Kita harus mampu mengambang
jangan sampai tenggelam dan hilang dalam lumpur kehidupan. Kita ini sedang berenang
di telaga kesucian darma bakti.
Namun namanya
manusia, kadang harus berusaha menyesuaikan peran di dalam kehidupannya, di
waktu, di tempat, dan pada tingkah laku dengan memakai topeng peran yang sedang
dijalaninya. Bahkan kadang harus menanggalkan idealismenya, mencopot topeng
kemanusiaannya, demi sebuah peran. Ajur-ajer njing kahanan, terbawa kondisi
zaman yang serba tidak menentu. Begitu kira-kira arti bait keempat.
Bait keempat ini
menggambarkan kondisi zaman kala bendu, zaman di mana sangat susah sekali
membedakan antara putih dan hitam, zaman abu-abu, zaman di mana kebenaran
dijungkirbalikkan, wong salah tambah pongah, wong bener mung iso tenger-tenger
(orang yang bersalah menjadi sombong karena banyak pendukungnya, sedang orang
yang benar hanya bisa terdiam) zaman inilah yang oleh Pujangga Keraton
Surakarta, Ronggowarsito disebut sebagai zaman edan. Ikut-ikutan edan tidak
sampai hati, bila tidak ikut tidak mendapatkan bagian apapun.
Pada bait terakhir,
bait kelima, kondisi zaman edan tadi terjadi jika manusia sudah tidak lagi
memiliki sandaran, tidak memiliki panduan hidup, sehingga kehidupan menjadi
tidak karuan, tersesat dalam gelap, kehilangan obor penerang dan petunjuk arah.
Salah satu jalan untuk menuju jalan cahaya adalah dengan bersandar pada
nyanyian jiwa, kembali mendengarkan bahasa Ilahi yang terbersit dalam kesucian
hati nurani kita yang paling dalam. “Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah Irji’ii
Ila Rabbika Raadhiyatan Mardhiyyah, Fadkhulii Fii Ibadii Wadkhulii Jannatii.”
Wallahu a’lam
bishawab.
Dgn adanya penjelasan diatas, saya jadi paham biarpun tdk keseluruhan dari lagu mbah tejo.Emang butuh olah rasa dalam menterjemahkannya... ini syair bukan sekedar syair, bukan sekedar kata.... Banyak hal yg tersirat didlmnya utk kehidupan ini.Terimakasih penjelasannya kang mas joyo juwoto... Berkat artikel anda saya makin suka dgn tembang ini.
BalasHapusTentunya hanya Mbah Tejo dan Tuhan yang tahu maksud sebenarnya , dan kita sebagai penikmat lagu beliau boleh menafsirkan menurut rasa masing-masing. Yg pasti sesuatu yg dari hati akan sampai ke hati pula
BalasHapusWong Jowo sekalipun belum tentu mengerti arti lirik lagu ini. Bisa dibilang liriknya itu banyak diambil dari peribahasa Bahasa Jawa (seinget saya pas jaman SD-SMP dulu). Mungkin yang kuliah di S1 Sastra Jawa mudeng kali...
BalasHapusTerima kasih dulur,Rahayu Kalis ing sambi kolo🙏
BalasHapusKebingungan insan memahami perjalanan, toh akhirnya duduk dalam diam.
BalasHapusSelalu berusaha mencari kemanfa'atan
Dengan segala daya
Ya Allah,