Selasa, 08 Mei 2018

Membaca Tembang “Ingsun” Karya Sujiwo Tejo

http://stafa-band.web.id
Membaca Tembang “Ingsun” Karya Sujiwo Tejo
Oleh : Joyo Juwoto

Apapun yang berbau jawa saya suka, mungkin faktor  ini yang menjadikan saya menyukai lagu-lagu Sujiwo Tejo khususnya yang berbau filosofis kejawen. Sujiwo Tejo yang terkenal sebagai seorang dalang mbeling memang memiliki lirik-lirik lagu kejawen, Seperti Kala Mangsa, Sugih Tanpa Banda, Ingsun, dan masih banyak lagi. Walau tidak banyak lagu yang saya hafal namun saya selalu menemukan mutiara di setiap lirik lagu yang ditulis oleh presiden Jancukers ini.

Mungkin pada diri dan pemikiran Sujiwo Tejo banyak kontroversi, dan bahkan mungkin bertolak belakang dan belum sesuai dengan nilai-nilai yang telah diyakini masyarakat secara mapan, bukan berarti diantara belantara pemikiran Sujiwo Tejo tidak ada benang merah hikmah dan kebenaran yang bisa dipetik darinya. Bahkan tentu Sujiwo Tejo dan orang-orang yang sepemahaman dengannya meyakini akan kebenaran dari pemikirannya. Masing-masing orang tentu memiliki hak meyakini kebenaran yang dianutnya tentunya.

Kembali kemasalah lirik lagu Sujiwo Tejo, saya pernah menguraikan sedikit mengenai syair Sugih Tanpa Banda, lagu ini menurut penuturan dari Sujiwo Tejo diambil dari ajaran R. Sosrokartono yang terpahatkan di batu nisan beliau yang ada di kota Kudus. Dan kali ini saya juga ingin menguraikan sedikit tentang lagu yang berjudul “Ingsun.” Dibanding lagu Sugih Tanpa banda, lirik lagu Ingsun lebih  panjang dan rumit, karena selain berbahasa Jawa kuno lirik lagunya penuh metafor yang susah untuk dimengerti.

Berikut saya tuliskan syair lagu Ingsun :

Nunggang Rasa ngener ing panggayuh
lunging gadung mrambat krambil gading
gegondel witing rasa pangrasa
nyancang jadi wasanane

(Naik pada rasa hanya untuk menuju harapan
Akar pohon gadung merambat di pohon kelapa gading
berpegangan pada batang kesadaran rasa
dan akhirnya menjadi tali kehidupan

Mbrebes mili banyu saking langit
tibeng kedung lumembak ing pangkon
anut nyemplung lelakon ngaurip
cumemplung rasa atiku

(Air dari langit deras menetes
jatuh ke dalam kedung beriak di pangkuan
ikut terjun dalam cerita kehidupan
tenggelam dalam kesadaran hatiku)

Candrane wong nglangi
ing tlaga nirmala
candrane kumambang
ing sendang sumala

seperti orang yang berenang
di danau nirmala
seperti orang yang mengambang
di telaga Sumala

Solan-salin slagane manungsa
empan papan sasolah bawane
esuk sore rina sawengine
ajur-ajer njing kahanan

Wajah-wajah manusia selalu berubah
tergantung pada waktu, tempat, dan tingkah polah manusia
pagi, sore, siang, dan malam
berubah-ubah sesuai kondisi dan keadaan

tan lyan gegondelan
Tarlen mung wit krambil gading

(tiada tempat bersandar
kecuali pohon kelapa gading)

Mumet bin bingungkan, membaca lirik lagu Ingsunnya Sujiwo Tejo? saya sendiri juga meraba-raba baik lewat susunan katanya maupun cengkok dan nada dari lagu ini. Kadang memang kita tidak mampu memahami sebuah susunan bahasa secara kata perkata, namun “rasa” dari lagu itu bisa kita baca dan kita terjemahkan lewat instuisi jiwa. Ya tentu ini akan sulit untuk dimengerti kecuali bagi orang yang merasakan sendiri. Sebagaimanaa orang Jawa dalam memahami konsep ketuhanan menggunakan istilah “tan kena kinaya ngapa,” istilah ini kalau dalam bahasa agama mendekati kalimat “Laisa Kamitslihi Syai’un.” Begitu kira-kira pendekatan “rasa” yang saya maksud di atas.

Masalah pendekatan “rasa” tentu hanya yang mendengar dengan jiwa saja yang mampu menangkapnya, sedang metode memahami lirik lagu ini melalui pendekatan arti kata perkata ternyata juga masih menyisakan masalah. Karena lagu ini seperti yang saya katakan di atas penuh dengan metafor yang perlu disingkap satu persatu. Coba perhatikan arti kata perkata dari lirik tersebut versi bahasa Indonesianya, tentu kalau kita pahami secara letterlijk maka kita akan kesulitan mengaitkan arti bait perbait dari syair lagu di atas.

Saya sendiri juga seribu mumet menangkap makna dari tembang “Ingsun” tersebut di atas. Setelah saya pahami sedikit demi sedikit, saya singkap lembar demi lembarnya saya menyimpulkan bahwa lagu ini berkenaan dengan perjalanan manusia dalam mencapai kesejatian hidup untuk mewujudkan impian dan cita-citanya. Seseorang akan mampu mencapai impian manakala ia berpegangan pada tali kesadaran hidup. Ini yang dimaksud di bait pertama.

Bait kedua menjelaskan tentang lika-liku hidup yang dijalani manusia dari titah langit menuju takdir kehidupan di muka bumi yang harus dijalani dengan penuh kesadaran diri. Lakon hidup harus kita perankan sesuai dengan kapasitas yang kita jalani.

Bait ketiga memberikan gambaran tentang gambaran kehidupan di dunia ini diibarat orang yang berenang di kedalaman danau suci. Hidup ini suci, jagad ini suci, harus kita jaga kesuciannya dengan kebaikan-kebaikan laku. Kita harus mampu mengambang jangan sampai tenggelam dan hilang dalam lumpur kehidupan. Kita ini sedang berenang di telaga kesucian darma bakti.

Namun namanya manusia, kadang harus berusaha menyesuaikan peran di dalam kehidupannya, di waktu, di tempat, dan pada tingkah laku dengan memakai topeng peran yang sedang dijalaninya. Bahkan kadang harus menanggalkan idealismenya, mencopot topeng kemanusiaannya, demi sebuah peran. Ajur-ajer njing kahanan, terbawa kondisi zaman yang serba tidak menentu. Begitu kira-kira arti bait keempat.

Bait keempat ini menggambarkan kondisi zaman kala bendu, zaman di mana sangat susah sekali membedakan antara putih dan hitam, zaman abu-abu, zaman di mana kebenaran dijungkirbalikkan, wong salah tambah pongah, wong bener mung iso tenger-tenger (orang yang bersalah menjadi sombong karena banyak pendukungnya, sedang orang yang benar hanya bisa terdiam) zaman inilah yang oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ronggowarsito disebut sebagai zaman edan. Ikut-ikutan edan tidak sampai hati, bila tidak ikut tidak mendapatkan bagian apapun.

Pada bait terakhir, bait kelima, kondisi zaman edan tadi terjadi jika manusia sudah tidak lagi memiliki sandaran, tidak memiliki panduan hidup, sehingga kehidupan menjadi tidak karuan, tersesat dalam gelap, kehilangan obor penerang dan petunjuk arah. Salah satu jalan untuk menuju jalan cahaya adalah dengan bersandar pada nyanyian jiwa, kembali mendengarkan bahasa Ilahi yang terbersit dalam kesucian hati nurani kita yang paling dalam. “Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah Irji’ii Ila Rabbika Raadhiyatan Mardhiyyah, Fadkhulii Fii Ibadii Wadkhulii Jannatii.” Wallahu alam bishawab.




3 komentar:

  1. Dgn adanya penjelasan diatas, saya jadi paham biarpun tdk keseluruhan dari lagu mbah tejo.Emang butuh olah rasa dalam menterjemahkannya... ini syair bukan sekedar syair, bukan sekedar kata.... Banyak hal yg tersirat didlmnya utk kehidupan ini.Terimakasih penjelasannya kang mas joyo juwoto... Berkat artikel anda saya makin suka dgn tembang ini.

    BalasHapus
  2. Tentunya hanya Mbah Tejo dan Tuhan yang tahu maksud sebenarnya , dan kita sebagai penikmat lagu beliau boleh menafsirkan menurut rasa masing-masing. Yg pasti sesuatu yg dari hati akan sampai ke hati pula

    BalasHapus
  3. Wong Jowo sekalipun belum tentu mengerti arti lirik lagu ini. Bisa dibilang liriknya itu banyak diambil dari peribahasa Bahasa Jawa (seinget saya pas jaman SD-SMP dulu). Mungkin yang kuliah di S1 Sastra Jawa mudeng kali...

    BalasHapus