Pram,
Sampah dan Api Keberanian
Oleh
: Joyo Juwoto
Entah
kapan saya sendiri lupa, namun saat itu Pram sapaan akrab sastrawan besar dari
Blora Pramoedya Ananta Toer masih ada, saya membaca sebuah berita di halaman
koran Jawa Pos tentang salah satu dari
kegemaran Pram yaitu bakar-bakar sampah. Saat itu Pram berada di rumahnya yang
berada di Jl. Sumbawa No. 40 Kauman Blora, yang sekarang ditempati oleh adik
kandungnya Soesilo Toer. Menurut penuturan Pram sendiri yang ditulis di Jawa
Pos, ia sangat suka berdekat-dekatan dengan api, sehingga rutinitas membakar
sampah menjadi ritual yang sangat menyenangkan baginya.
Api
bagi Pram adalah semangat keberanian, sehingga ia perlu terus mengobarkan api
itu dengan simbol bakar-bakar sampah. Tentu bakar-bakar sampah bisa kita
tafsiri sebagai upaya membersihkan lingkungan dari kotoran. Sampah adalah
sesuatu yang tidak berguna dan mengganggu keindahan lingkungan, maka perlu
dibakar habis. Pram ingin menegaskan bahwa dirinya hadir ke dunia ini sebagai
tukang bakar sampah di lingkungannya, sehingga apapun itu jika berpotensi
menjadi sampah akan dibakarnya habis.
Dalam
dunia kepenulisan, Pram memang tampil sebagai seorang yang membawa api
keberanian untuk membakar sampah-sampah yang tidak berguna dan mengganggu. Faktanya
banyak karya Pram yang terlahir dan akhirnya benar-benar menjadi Naar (api) dan
Nuur (cahaya) bagi masyarakat.
Menjadi
Naar (api) karena buku-buku beliau dianggap berhaluan kiri, berafiliasi dengan
partai terlarang saat Orde Baru yang kemudian akibatnya buku Pram banyak
dibakar oleh penguasa melalui tentara.
Jadilah buku-buku Pram menjadi api yang berkobar-kobar.
Selain
menjadi Naar (api) buku-buku Pram juga menjadi Nuur (cahaya) yang menyinari
peradaban anak bangsa. Berapa banyak anak-anak muda negeri ini yang
terinspirasi dengan karya-karya Pram yang sangat luar biasa. Sebutlah nama
besar Rohmat Sholihin esais dan novelis terkenal dari Bangilan, Linda Tria
Sumarno, seorang penyair sekaligus penulis skenario drama yang juga kebetulan
dari Bangilan adalah sederet nama besar yang juga seorang Pramisme (pengagum
Pram).
Membaca
karya Pram mungkin hari ini adalah hal yang biasa, berjualan bukunya Pram pun
mengundang untung yang tidak sedikit, belum lagi pembajakan-pembajakan karya
Pram juga ikut menggerakkan roda perekonomian para kaum proletar di negeri ini.
karena mereka tahu karya Pram akan laku keras tidak lapuk oleh waktu, tidak
lekang oleh hujan. Karya Pram akan terus diburu oleh para pecintanya.
Itu
sekarang, jaman dahulu di era Orba jangankan mau menerbitkan atau menjual karya
Pram di tempat umum, membaca saja harus di tempat yang sepi, sunyi dan dengan
sembunyi-sembunyi. Hanya para ksatria pemberani saja yang berani menyelamatkan
Tuan Putri, eh! Maksudnya hanya kaum pemberani saja yang berani membaca
buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer. Jika ketahuan kita membawa, memiliki, atau bahkan
sekedar membaca karya Pram maka sudah menjadi alasan yang sah bagi penguasa untuk
menjebloskan kita ke dalam penjara dengan tuduhan yang macam-macam.
Itulah
keunikan dan sensasi dari membaca bukunya Pram, sangat memacu adrenalin
saudara-saudara. Jika ada indikasi jantungan Anda tidak perlu mencobanya. Namun
itu dulu, dulu sekali, sekarang siapapun bebas membaca buku apapun, dan buku
siapapun tanpa perlu khawatir dengan ancaman siapapun.
Dalam
essay yang ditulis oleh Rohmat Sholihin, kehidupan Pram banyak dihabiskan di dalam
penjara. Dalam pengantar penerbit buku Panggil Aku Kartini Saja, bahwa Pram
berada pada sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia
bermartabat : 3 tahun dalam penjara kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14
tahun yang melelahkan di Orde Baru. Bisa kita bayangkan betapa sengsara dan
menderitanya kehidupan yang dijalani seorang Pram. Namun benarkah demikian ?
Penjara-penjara
itu ternyata hanya mampu memberangus fisiknya saja, namun tidak pernah
memadamkan api keberanian dari seorang Pram. Ia dengan gagah berani terus melakukan
provokasi bakar-membakar sampah, itu memang sudah menjadi hobi dan kegemaran dari Pram
mau apa lagi. Hanya maut yang mampu menghentikannya. Walau begitu mati akan
berarti karena berani. Ah ! Pram hidupnya selalu dilingkupi dua hal ini,
Sampah, dan api (keberanian). Ia tidak pernah berhenti untuk mengobarkan
perlawanan terhadap sampah, apapun itu.
Saya
jadi ingat kata-kata Pram di sampul belakang buku berwarna pink, sampul
depannya seorang gadis cantik yang sedang tersenyum memperlihatkan
gigi-giginya. Judulnya Larasati, Pram menulis : “Kalau mati dengan berani;
kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap
bangsa asing bisa jajah kita.” Masih mau jadi penakut !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar