Pengabdian
Bukan Perbudakan
Oleh
: Joyo Juwoto
Dalam sebuah hikmah yang
saya petik dari kitab Ta’limul Muta’allim, Imam Ali bin Abi Thalib Karramahullahu
Wajhahu berkata :
انا عبد من علّمنى حرفا واحدا
Artinya : Saya adalah
budaknya orang yang mengajari saya walaupun satu huruf.
Kita
tahu sahabat Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat alim, bakan Rasulullah
saw mengibaratkan diri beliau sebagai gudangnya ilmu, sedang Ali bin Abi Thalib
adalah pintunya ilmu. Dengan kealiman dan kepandaiannya itu tidak menjadikan
Imam Ali sebagai orang yang sombong dan merasa paling hebat.
Imam
Ali sangat rendah hati dan tawadhu’ lebih-lebih kepada orang yang mengajari
beliau, walau itu satu huruf beliau sanggup menjadi abdi, sanggup menjadi budak
dari sang guru. Menjadi abdi di sini maksudnya adalah kesiapan dan ketulusan
seorang santri untuk berbakti, mengabdi, melayani, menghormati, menta’dzimi
seorang guru.
Sikap
rendah hati dan tawadhu’nya seorang murid kepada gurunya adalah bentuk
penghormatan kepada ahli ilmu, pengabdian seorang murid kepada gurunya adalah
bentuk keta’dziman bukan perbudakan. Walau mungkin ada ciri dan kesamaan dalam
hal pengabdian dan perbudakan namun spirit yang dibangun sangat berbeda.
Pengabdian
adalah ketulusan niat untuk melayani dengan sepenuh hati, sedangkan perbudakan
adalah nafsu untuk menguasai dan merendahkan terhadap sesama. Rasa pengabdian
ini muncul dari rasa tanggung jawab dan kewajiban dari seorang murid kepada
gurunya, sedangkan perbudakan muncul dari rasa kesombongan dan ingin merendahkan
martabat orang lain.
Namun
sayang di tengah masyarakat kita kadang ada hal yang salah kaprah, sikap rendah
hati dan tawadhu’ hanya diberlakukan bagi orang yang dianggap lebih rendah
kedudukannya, baik dari segi keilmuan, derajat, ekonomi, maupun dari segi
jabatan. Seakan hanya orang lemah saja yang harus memiliki sifat rendah hati
dan tawadhu’ ini. sedangkan orang-orang yang dianggap alim, kaya, berpangkat
tidak perlu memiliki sifat ini. padahal di dalam Islam tidak ada yang namanya
status-status keduniaan, semua adalah sama di hadapan Tuhan.
Semisal
seorang santri atau murid harus rendah hati dan tawadhu’ kepada guru-gurunya,
maka si murid harus belajar kitab Ta’limul Muta’allim sebagai pedoman dalam
menuntut ilmu. Termasuk di dalamnya siap menjadi abdi bagi seorang guru,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ali di atas. Menjadi kewajiban bagi murid
untuk tawadhu’ dan berendah diri kepada gurunya. Walau demikian sang guru
jangan menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim sebagai pegangan ia sebagai guru,
sehingga ia merasa harus di hormati dan di tawadhu’i oleh santri atau
muridnya.
Penghormatan
seorang santri atau seorang murid kepada gurunya bukan bersifat vertikal, atau
garis komando, garis perintah dari atas ke bawah, namun bentuk penghormatan itu
harus didasarkan pada sikap kewajiban untuk memuliakan ilmu dan ahli ilmu. Jadi
harus bisa dibedakan antara sikap feodalis dengan sikap pengabdian dan penghormatan.
Sebagai
seorang guru kitab yang harus ia jadikan pegangan harusnya adalah kitab Adabul
“alim wal Muta’allim. Sehingga guru mengerti akan tugas dan kewajibannya pula,
bukan malah menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim yang memungkinkannya timbulnya jiwa superioritas atas murid-muridnya.
Jadi
khidmah seorang murid kepada gurunya, seorang pelayan kepada majikannya adalah
berdasar pada hak dan kewajiban masing-masing, bukan karena berdasar sikap
penindasan dari yang kuat kepada pihak yang dianggap lemah. Bukan berdasar pada
sikap perbudakan diantara sesama manusia, karena Islam telah menghapus
perbudakan dan penghambaan diantara manusia, karena penghambaan sejati hanya
kepada Tuhan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar