Selasa, 11 Juni 2019

Road Sowan Sungkeman di hari Lebaran


Road Sowan Sungkeman di hari Lebaran
Oleh: Joyo Juwoto

Sungkeman adalah tradisi yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat kita, khususnya di perayaan  hari raya idul Fitri. Tradisi sungkeman adalah tradisi mengunjungi dari yang muda kepada yang lebih tua, atau yang dituakan. Tradisi saling meminta maaf dan saling merelakan atas segala salah dan khilaf, yang disengaja atau mungkin yang tak tersengaja.

Tepat di hari ketujuh dari hari raya idul Fitri saya bersama teman-teman santri, mengadakan road sowan sungkeman ke beberapa kiai, yaitu ke Mbah Maimun Zubair Sarang, berlanjut ke ndalem Gus Qoyyum Lasem, lalu meluncur ke Leteh Rembang, di kediaman Mbah Yai Mustofa Bisri.

Dalam edisi road sowan sungkeman ini, saya tidak  tertarik untuk menanggapi atau mempermasalahkan hukum boleh tidaknya tradisi sowan dan Sungkeman di hari raya idul Fitri. Biar pakarnya pakar, core of the core saja, yang menjlentrehkannya secara gamblang, bernas dan bersanad tentunya.

Bagi saya pribadi semua tradisi baik di tengah masyarakat yang tidak menyalahi syariat, tidak ada alasan untuk kita tolak dan kita hapuskan. Justru tradisi itu perlu kita ikuti, kita jaga, dan kita lestarikan, asal sesuai dan tidak menyelisihi ajaran agama. "Antum a'lamu bi umuuri dun-yaakum", masalah tradisi adalah masalah sosial kemasyarakatan, bukan masalah ibadah mahdhoh.

Kembali ke perjalanan road sowan kami, sebanyak 8 sepeda motor meluncur dari Bangilan menuju Sarang, Alhamdulillah sesampainya di Sarang diterima  dan langsung sowan dan sungkem ke Mbah Moen tanpa menunggu terlebih dahulu. Anti antri, langsung masuk ndalem.


Karena saat itu tamu cukup banyak kami, hanya bersalaman dan kemudian duduk di beranda depan. Setelah sungkem, kami langsung pamitan, karena Mbah Moen harus segera istirahat, maklum beliau yang begitu sepuh masih sempat-sempatnya kersa menerima tamu yang selalu ngantri berhari-hari.

Dari Mbah Moen rombongan meluncur ke Lasem. Sepanjang perjalanan pemandangannya cukup indah. Birunya laut menghampar di sepanjang perjalanan, kapal-kapal milik nelayan berjajar di pinggir pantai,  khususnya di jalur pantai Kec. Sluke hingga di pantai dekat pasujudan Sunan Bonang Lasem. Di sepanjang jalan banyak toko yang menjual ikan yang dikeringkan (ikan gereh), didisplay bergantung di depan toko.

Setelah perjalanan sekitar 15 menitan kami sampai di pusat kota Lasem, yaitu di pertigaan lampu merah dekat masjid agung Lasem. Ndalemnya Gus Qoyyum sudah dekat, kami pun segera meluncur ke kelurahan Soditan. Alhamdulillah, saat itu Gus Qoyyum sedang menerima tamu, kami pun langsung bergabung serta dengan tamu-tamu lainnya.

Gus Qoyyum dengan Bangilan desa kami,  ternyata sudah cukup akrab. Menurut cerita beliau Mbah Yai Muchith Muzadi salah seorang tokoh NU dan pengawal khittah NU  pernah nyantri di Pati, yaitu di pondoknya Mbah Sahal Mahfudz Al maghfurlah. Gus Qoyyum memang masih kerabat dengan pesantren di mana saat mbah Muchith mondok di Pati.

Setelah acara sungkeman selesai, kami serombongan motor pun bergerak ke barat ke arah kota Kartini Rembang. Tujuan selanjutnya adalah sungkem di Gus Mus. Jarak Lasem-Rembang tidak jauh, Pondok pesantren di mana Gus Mus tinggal berada di sebelah barat alun-alun kota Rembang.

Tidak sulit untuk mencapai lokasi ndalemnya Gus Mus, setalah sampai di pondok kami langsung njujug ke ruang tamu. Karena Gus Mus sedang tidak enak badan, kami ditemui oleh putra menantu beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla.

Kami serombongan memperkenalkan diri dari Bangilan. Gus Ulil tentu sangat tidak asing dengan nama kampung kami, karena di sana ada famili dari Gus Mus, yaitu beliau almaghfurlah KH. Misbah Zainal Mustofa, pengasuh pondok pesantren Al-Balagh Karang Tengah Bangilan. Mbah Bah, ini seorang penulis kitab yang produktif dari Bangilan-Tuban. Karya-karya beliau banyak dikaji dan dijadikan rujukan di pesantren-pesantren di Jawa.

Setelah dirasa cukup kami pun pamitan. Sebelum pulang saya beranikan diri minta foto sama Gus Ulil, untuk gantinya merepotkan Shohibul bait untuk foto, saya berikan hadiah kagem Mbah Mus buku saya yang berjudul "Dalang Kentrung Terakhir", semoga beliau berkenan membacanya. Selain itu tentu saya juga berharap Gus Ulil ikut serta membaca buku saya.

Seperti sebelumnya, sebelum pamitan kami dibarakahi doa oleh tuan rumah, baik di Mbah Moen maupun di Gus Qoyyum, baru kemudian kami pamit pulang untuk menyelesaikan misi sowan selanjutnya, yaitu ke Gus Baha' di Narukan Kragan Jawa Tengah.

Kami serombongan kembali ngegas menuju Narukan. Sesampainya di sana, kami harus menunggu Gus Baha'. Karena beliau sedang istirahat dan baru bisa menemui tamu sesudah shalat Ashar. Tak mengapa kami pun menunggu sambil menikmati hidangan yang disiapkan untuk tamu.

Setelah jama'ah sholat Ashar kami pun diterima Gus Baha' di ndalem beliau yang sangat sederhana, sebagaimana penampilan dari Gus Baha' sendiri. Saya pernah ikut ngaji tafsir di Gus Baha', beliau penampilannya memang sangat sederhana dengan ciri kopyah hitam dipakai dengan agak miring, atau agak ndangak. Satu-satunya hal yang sangat istimewa dari Gus Baha' adalah keilmuannya yang sangat mumpuni dalam agama, baik bidang tafsir, hadits, fikih, dan logika dalam beragama.

Setelah mendengarkan pengajian-pengajian dari Gus Baha' menjalankan ajaran agama terasa cukup simpel dan mudah. Karena memang logika beragama yang dibangun beliau bernas dan sesuai dengan standar keilmuan para ulama salafus Sholih. Saya sendiri cukup suka mendengarkan pengajian beliau lewat YouTube.

Dari Sungkeman di Gus Baha' kami pun pulang dan mampir untuk bersilaturahmi di rumah teman yang kebetulan juga berada di Kec. Kragan. Kami mampir di rumah sdr. Abdur Rouf di desa Tanjung Sari. Di sini kami makan kupat dengan sayur lodeh yang dihidangkan oleh tuan rumah. Kebetulan besok hari raya kupatan. Alhamdulillah.

Karena nuansa desa Tanjung Sari berbukit,  kami pun tak melewatkan berfoto dengan latar belakang hijaunya tanaman padi dengan lanskap pegunungan yang mengitari desa yang cukup indah itu.

Saya pernah baca banyak cerita tentang kearifan lokal desa Tanjung Sari, semoga ke depan saya bisa menghadirkan edisi tulisan tersendiri tentang desa Tanjung Sari yang penduduknya cukup ramah dan guyup.

Selamat hari raya idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

*07 Syawal 1440 H*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar