Kamis, 20 Juni 2019

Keajaiban Sowan kepada Kiai Luqman Harits di Tremas Pacitan

Keajaiban Sowan kepada Kiai Luqman Harits di Tremas Pacitan
Oleh: Joyo Juwoto

Mumpung suasana masih lebaran dan pesantren di mana saya belajar masih libur, saya bersama kang-kang santri lainnya berkunjung ke beberapa Kiai, sebagaimana beberapa tulisan yang telah saya posting sebelumnya.

Jika kemarin saya menulis tentang Mbah Moen, Gus Qoyyum, dan insyaallah nanti berlanjut mengenai Gus Ulil dan Mbah Mus,  juga tentu Gus Baha' di mana saya sowan ke beliau-beliau, maka edisi tulisan ini saya ingin sedikit bercerita tentang perjalanan kami ke Pacitan.

Semoga tulisan-tulisan saya dari hasil pengalaman sowan ke beberapa kiai ada manfaatnya, khususnya tentu buat saya pribadi. Setidaknya sowan kami kepada para kiai adalah salah satu upaya mendekatkan diri kepada orang sholeh dan juga sebagai wujud mahabbah santri kepada Kiai.

Ketika berbicara tentang Pacitan mungkin yang terbayang di benak kita adalah tanah kelahiran Pak Susilo Bambang  Yudhoyono (SBY), tapi jangan lupa di Tremas ada sebuah pesantren tertua ke-5 di Nusantara, yaitu Pondok pesantren Tremas Pacitan yang telah berusia sekitar 200 tahun.

Nama pesantren Tremas cukup dikenal dan menjadi jujugan para santri dalam menuntut ilmu di Indonesia, ini semua tidak terlepas dari peran kiai KH. Muhammad Mahfudz At-Termasie salah seorang ulama Nusantara yang produktif dalam menulis kitab.

Para santri dari generasi ke generasi tentu memiliki kisah dan pengalaman yang cukup menarik dan berkesan dalam perjalanan hidupnya, karena bagi santri pesantren bukan berarti sekedar tempat menuntut ilmu se
mata, namun lebih daripada itu pesantren adalah bagian dari kekudusun atau punden bagi kehidupan seorang santri.

Dalam khasanah pesantren, kisah-kisahnya kadang tidak masuk di akal, namun nyata adanya. Saya sendiri pernah mendengar salah satu cerita tentang pesantren Tremas dari Mbah Yai saya, di lain waktu nanti akan saya ceritakan. Untuk tulisan ini saya akan bercerita tentang hal yang saya anggap sebagai sebuah keajaiban.

Ceritanya begini, setelah saya dan temen-temen santri sowan di ndalemnya kiai Luqman Harits, kami pun berpamitan. Tentunya setelah kami seruput teh yang disuguhkan kepada kami. Selain mendapatkan suguhan jajan dan minuman kami sebelum pamitan didoakan kebaikan dan keselamatan oleh Kiai Luqman.

Sebenarnya, selain Kiai Luqman, kami juga akan sowan kepada Kiai Fuad yang juga pengasuh pesantren Tremas. Tapi karena beliau sedang tidak enak badan, kami pun mencukupkan diri sowan kiai Luqman. Setelah itu kami pun serombongan meluncur pulang.


Ketika perjalanan pulang sampai di kota Ponorogo, ada operasi kendaraan bermotor. Mobil dan sepeda motor dihentikan oleh pak Polisi, begitu juga mobil yang kami tumpangi dihentikan oleh salah seorang polisi yang sedang bertugas.

Saya sempat khawatir, karena saat itu saya membawa sebongkah batu sebesar kelapa. Batu itu saya pakai untuk ngganjel mobil saat kami naik ke puncak bukit Tompe. Karena medannya cukup terjal, kami berjaga-jaga dengan batu jika sewaktu-waktu mobilnya tidak kuat menanjak, maka batu itu bisa menjadi penolong. Dan benar memang, mobil yang kami tumpangi berhenti sejenak memulihkan tenaga, dan batu itu pun berjasa, sebagai ganjel ban belakang.

Lebih terkejut lagi mungkin Mas Tris, teman kami yang bagian nyopiri mobil. Karena sabuk pengamannya tidak dipasang. Wah gawat, alamat kena tilang ini, karena memang biasanya seperti itu.

Saat itu saya duduk di kursi bagian tengah, kondisi kaca mobil terbuka, dan batu itu berada di dekat kaki saya. Pak polisi yang menghentikan mobil kami menengok ke dalam mobil di mana saya duduk. Deg, saya sempat kaget, jangan-jangan  batu yang tadi sempat berjasa kepada kami menjadi biang masalah.

Setelah menengok ke dalam mobil, entah karena apa tiba-tiba pak Polisi yang baik hati itu bilang, "Wis ndang lanjut!" Plong rasanya, tidak ada masalah dengan sabuk pengaman yang tak terpasang, dan juga batu yang berjasa kepada kami itu. Padahal saat itu pak polisi sama sekali tidak menanyakan kelengkapan surat-surat kendaraan dan juga SIM dari pengendara. Alhamdulillah.

Saat kendaraan berjalan kembali, saya merasa mendapatkan keberkahan dan keajaiban. Karena saya memiliki keyakinan bahwa apapun yang sedang kita jalani tidak terlepas dari orang-orang baik yang telah mendoakan kebaikan, keberkahan, dan keselamatan kita dalam menjalani kehidupan ini.

Oleh karena itu jangan pernah meremehkan orang lain, karena kita tidak pernah tahu darimana doa-doa kebaikan dan keselamatan yang kita terima itu dipanjatkan. Yang kita tahu bahwa doa saudara-saudara umat Islam di mana pun berada ditujukan untuk keselamatan dan kebaikan kita semuanya.

Salam Santri Sowan lan Sungkeman.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah...Mbah, ajaib.... Hehe

    BalasHapus
  2. Iku perkoro nyawang wong2nge podo melas dadi sakno kang. Kapan sowan tok gus Hadi tuban

    BalasHapus