Jas Merah (Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah)
Joyojuwoto*
Setiap manusia pasti memiliki
sejarahnya sendiri, begitu pula dengan rangkaian dari kehidupan manusia yang
membentuk struktur masyarakat, organisasi, ormas, partai politik, yayasan,
bahkan negara sekalipun. Sejarah memang berbicara tentang masa lampau, namun
tidak berarti masa lampau itu tidak memiliki makna dan arti untuk masa kita
yang sekarang maupun untuk kelangsungan masa depan. Karena keberlangsungan dan
keberlanjutan waktu adalah hal yang terpenting dari sebuah sejarah. Kita hari
ini tentu bukanlah apa-apa tanpa jasa masa lalu, jadi bagaimanapun juga kita
berhutang pada sejarah masa lalu. Karena adanya hari ini adalah hasil dari runtutan
serta keberlangsungan proses dengan segala dinamikanya dari masa yang kita
sebut sebagai masa lalu tadi.
Karena melihat begitu pentingnya
sejarah hingga banyak para bijak yang menyusun quote untuk membela entitas sebuah
sejarah. Bung Karno mengatakan sebagaimana yang sering dikutip oleh Mbah Yai
bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa-jasa para
pahlawannya”. Cicero seorang failusuf dari Romawi Kuno mengatakan “Barang siapa
yang tidak mengenal sejarahnya dia akan tetap menjadi anak kecil”, sedang
Sartono Kartodirdjo dengan sangat keras menyatakan ““Barang siapa yang lupa sama
sekali akan masa lampaunya dapat diibaratkan seperti mereka yang sakit jiwa”.
Sakit jiwa di sini disebabkan seseorang itu melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan tata aturan di mana ia berada.
Jika kata-kata Bung Karno itu diucapkan
sebagai manifestasi penghormatan terhadap jasa para pahlawan kusuma bangsa yang
telah berjuang mengorbankan jiwa dan raga untuk bangsa dan negara Indonesia,
maka Mbah Yai menggembleng santri-santrinya dalam rangka untuk tidak lupa
kepada para hawari-hawari ASSALAM yang membela dan memperjuangkan pondok dengan
semboyan “Bondo bahu pikir lek perlu saknyawane sisan” (harta, tenaga, pikiran, kalau perlu nyawa pun
diserahkan).
Pondok pesantren ASSALAM dibela
dan diperjuangkan mati-matian oleh santri-santri kurun awal, Mbah Yai sering
memberikan contoh, ada Bu Zair, Bu Sunayah, Pak Imam Akhyar, Kang Jawahir, Kang
Syukron, Kang Muhlisin, Mbah Juwadi, Kang Daerobi, Pak Marwan, Pak Tarsikin,
Mas Ali Imron, Pak Syafi’i, ada Kang Ucuk Suparman (alm), ada Mbak Cik, mbak
Santi, dan masih banyak lagi para hawari
yang tidak dapat saya sebutkan di sini. Mereka-mereka itulah yang jika meminjam
istilah sejarah awal perjuangan Nabi dikenal dengan sebutan Assabiqunal
Awwalun.
Kita tentu masih ingat gemblengan
Mbah Yai yang berbunyi “AL Fadhlu lil mubtadi’” (keutamaan itu untuk
para kurun awal), oleh karena itu di dalam tulisan ini saya ingin memberikan
apresiasi dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada para hawari-hawari
ASSALAM periode awal. Mereka adalah pahlawan-pahlawan ASSALAM yang tak kenal
pamrih, mereka ikhlas lahir batin menjadi pembela ASSALAM saat pondok kita tercinta
dibenci, dimusuhi, dan dijauhi oleh masyarakat.
Bisa kita bayangkan bagaimana militannya
Mbah Yai sehingga berhasil menggembleng para santri untuk menjadi
mujahid-mujahid yang siap berjuang membela ASSALAM tanpa reserve. Hal ini tentu
tidak terlepas dari sifat dan perilaku Mbah Yai yang memang murni berjuang
untuk Islam melalui balai pendidikan ASSALAM.
Menurut beliau pada saat menggembleng santri dengan kitab Idhatun
Nasyi’in di bab Al Ikhlas, biasanya
beliau mengatakan “Ketaatan santri-santri ASSALAM merupakan pancaran dari jiwa keikhlasan
Mbah Yai dalam berjuang membela pondok”. Dawuh Mbah Yai Moehaimin Tamam tentang
keikhlasan tentu sebanding dengan apa yang beliau lakukan, atau dalam istilah
jawanya sumbut karo unine (sesuai dengan apa yang dikatakan). Inilah
rahasia mengapa Mbah Yai ditaati oleh santri-santrinya, karena secara langsung
santri bisa melihat dan merasakan aura keikhlasan dari beliau.
Mbah Yai berhasil menanamkan
ideologi ASSALAM atau kata beliau sibghotu ASSALAM, sehingga ada istilah santri
harus berjiwa ASSALAM. Branding berjiwa ASSALAM ini menurut saya sangat penting
sekali dan jiddan, karena pada dasarnya ikatan hubungan manusia yang
fitrah dan kuat serta langgeng adalah ideologi itu sendiri. Ikatan yang kuat bukan
karena ikatan darah keturunan, bukan karena harta benda, bukan karena persamaan
tanah kelahiran, ataupun karena berbangsa yang sama. Hal ini persis dengan apa
yang disabdakan Nabi “Innamal Mu’minuuna ikhwah” “Sesungguhnya umat mu’min
adalah bersaudara”.
Secara hukum para santri memang
bukanlah darah keturunan dari Mbah Yai, namun kita punya tanggung jawab dan
kewajiban sejarah untuk membela ASSALAM, karena kita adalah anak-anak ideologis
Mbah Yai, para santri kurun awal maupun yang sekarang akan merasa sedih jika
ASSALAM mengalami kemunduran atau belok dari cita-cita awal sang pendirinya.
Oleh karena itu kita sebagai santrinya Mbah Yai kita wajib ma’muuman dengan
ide-ide beliau.
Dari rangkaian paragraf-paragraf
di atas saya ingin memberikan benang merah bahwa kebesaran suatu bangsa, atau
organisasi, ataupun apalah namanya tentu tidak terlepas dari benang sejarah
yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang, bahkan juga digunakan
sebagai pandangan untuk masa depan. Oleh karena itu sebagaimana yang sering
digemblengkan oleh Mbah Yai yang beliau kutip dari Bung Karno “Jas Merah” (Jangan
sekali-sekali melupakan sejarah) bahwa jangan sampai kita ini melupakan sejarah
kita sendiri. Sekecil apapun sejarah tentu memiliki andil dan kontribusi
terhadap kebesaran masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar