Di
Persimpangan Jalan
Ilustrasi : google |
Tiit..tit...tiiit...
mbrem, mbreem...macetnya kendaraan, bau asap knalpot yang membuat perut mual,
dan bising serta kerasnya jalanan menjadi ladang penghasilan bagi Sholeh untuk
menangguk beberapa lembar rupiah guna mencukupi kebutuhannya sehari-hari, Ia
hidup dengan emaknya yang telah berusia udzur di rumah, tepatnya di sebuah
gubuk kecil di sudut gang perkampungan. Tiap pagi Sholeh harus berdesak-desakan
mengatur laju kendaraan dipersimpangan jalan. Dengan berbekal peluit dan
keahliannya melambai-lambaikan kedua tangannya Sholeh berusaha mengurai
kemacetan.
“Sholeh berangkat dulu ya Mak” seru Sholeh pamit
kepada emaknya sambil mencium tangan yang keriput yang berbaring lemah di dipan kusam.
Di rumah
emaknya akan selalu setia menunggu kedatangannya, ya... menunggu sarapan pagi
yang diperoleh Sholeh dari warung Yu Marni di tempat ia menjalani profesinya. Maklum
emak Sholeh sudah sangat tua, untuk berjalan ia harus di dukung, makan pun
demikian. Sholeh dengan sabar akan menyuapi orang tuanya yang hanya tinggal
satu itu. Ayahnya telah lama meninggal dunia ketika ia masih kecil, dan
sekarang diumurnya yang ke 15, ia merawat emaknya seorang diri.
“Hati-hati
di jalan ya nak” begitu
pesan emaknya serak, lirih dan nyaris tidak kedengaran. Namun Sholeh tahu itu,
karena memang selalu pesan itu yang diucapkan emaknya ketika ia pergi keluar
rumah.
Kendaraan
berlalu lalang memenuhi jalan raya, makin hari bukannya makin berkurang tapi
justru terus bertambah, sedang jalan tentu tidak bertambah lebarnya. Pagi itu
Sholeh sudah berada di persimpangan jalan. Banyak kendaraan berlalu-lalang yang
harus diaturnya bergantian untuk berbelok arah, maupun untuk menyeberang. Sholeh
memang bukan petugas kepolisian yang mengatur lalu-lintas, ia bersama seorang
kawannya Bang Shomad menjadi tenaga sukarela mengatur kendaraan di jalan raya. Bang
Shomad lelaki berusia 60 an itulah yang dulu mengajak dan menawarinya untuk
terjun di jalan raya.
“Kiri-kiri...ayo
terus” teriak Sholeh yang suaranya agak parau, sesekali peliut di tangannya
ia tiup sambil melambai-lambaikan tangan atau menyetop kendaraan. Dari
pekerjaannya itu Sholeh kadang diberi uang lima ratus perak atau kadang
selembar uang seribu dari pengemudi yang baik hati. Dari kaca mobil yang dibuka
oleh pengemudi itulah yang menjadi jendela rezekinya. Walau bermandi peluh dan
didera rasa haus dan lapar sholeh terus menjalankan aksinya, karena memang ia
belum sarapan pagi. Menunggu mendapat uluran uang ribuan sholeh baru berhenti
untuk sekedar mengisi perutnya yang keroncongan dengan sebungkus nasi
kucing di warungnya Yu Marni yang berada
di tepi jalan raya.
Jika
Sholeh berhenti untuk sarapan maka gantian Bang Shomad yang tadinya duduk-duduk
sambil menikmati kreteknya di sebuah lincak milik Yu Marni itu terjun ke jalan
raya untuk menata arus lalu lintas. Tiga insan itu memang saling melengkapi, Yu
Marni mengais rezeki dengan membuka warung, sedang Sholeh serta Bang Shomad
menjadikan warung itu sebagai pangkalannya. Jika mereka haus dan lapar dari
warung itulah mereka menyantap makanan. Kadang-kadang jika kondisi sepi, Yu
Marni pun tidak segan-segan mempersilahkan Sholeh dan Bang Shomad untuk
ngutang.
“Bagaimana
kabar emaknya Sol ? tanya Yu Marni sambil membuatkan teh untuk
Sholeh yang sedang lahap menyantap nasi kucingnya.
“Ya begitulah Yu, emak hanya bisa berbaring
di rumah” jawab Sholeh sambil terus menikmati sarapannya.
“Owh...walau
begitu kau harus terus merawatnya Sol, jangan kau sia-siakan emakmu itu” lanjut
Yu Marni menasehati.
“Tentu
Yu, siapa lagi yang merawatnya kalau bukan saya, satu-saatunya anaknya. Owh ya
Yu nanti saya dibungkuskan nasi sayur lodeh untuk sarapan emak ya, pasti beliau
suka, tadi malam emak bilang minta sayur lodehnya Yu Marni”
“Tapi ya
itu Yu...saya ngutang dulu”
“Iya
Sol, gak papa...nanti tak bungkuskan, itu sana Bang Shomad kayaknya sudah
kelelahan, kamu gantiin dia, biar dia minum-minum dulu...kasihan”
Sholeh
pun beranjak meninggalkan tepat duduknya, ia menyeberang ke tengah jalan raya
untuk menggantikan Bang Shomad yang memang sudah tampak kelelahan.
“Bang
Sono minum dulu...saya gantiin” teriak shomad di tengah deru
kendaraan yang berlalu-lalang.
Bang Shomad
pun menepi, Sholeh kembali beraksi melambaikan tangannya, sesekali peliut di
mulutnya ia tiup nyaring.
“Kiri-kiri...ayo
terus” teriak Sholeh dengan suaranya yang parau, di tengah kesibukannya
mengatur lalu-lintas, tiba-tiba mobil patroli Polisi dari arah belakang Sholeh
mendekat, Bang Shomad yang duduk di lincaknya Yu Marni berteriak sambil berlari
ke dalam gang perkampungan.
“Sholll...awas
Polisi !!! larii...” teriaknya
Namun
na’as bagi Sholeh, ia tidak sempat lari walau Bang Shomad sempat meneriakinya,
dua orang Polisi yang duduk di bangku mobil bak terbuka itu segera bergerak
meloncat dengan gesit untuk menangkapnya.
“Lepas..lepaskan
Pak...saya tidak berbuat salah” teriak Sholeh sambil
berusaha melepaskan tangannya dari jerataan borgol dua polisi yang
menyergapnya.
Sholeh
meronta, namun sia-sia. Tenaga nasi kucingnya tak mampu menandingi kekekaran
otot-otot polisi yang tentu lebih bergizi dari sekedar nasinya Yu Marni. Karena
terus berusaha meronta, dengan sigap polisi memukul tengkuk Sholeh.
Kepala
Sholeh terasa pusing, deru kendaraan masih saja bising terdengar, begitu pula
dengan bau asap knalpot membuat perutnya mual. Bayang-bayang emaknya yang masih
tertidur di dipan dan belum sarapan samar-samar memenuhi kepalanya, ia ingat
bungkusan nasi lodeh di Yu Marni. Namun tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar