Dijodohkan
Tuhan
Dijodohkan
Tuhan
Umurku saat itu telah
menginjak usia dua puluh enam tahun, tepat setahun sesudah Rasulullah
melangsungkan akad nikahnya dengan sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Namun
sayang salah satu sunnah dari beliau untuk menikah di usia yang ke 25 tak
terpenuhi olehku. Padahal ini adalah sunnah yang katanya paling enak dan mudah
untuk dikerjakan. Sunnah menikah ini banyak dikhutbahkan oleh para muballigh
khususnya di bulan Besar, saat musim pengantin.
Dalam ajaran Islam
tidak ada kerahiban, menikahlah kalau ingin diaku sebagai umatnya kanjeng Nabi,
jika kau miskin menikahlah maka kamu akan kaya, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat
yang berbau sugestif diucapkan oleh sang penceramah.
Kegalauan diriku
mencapai puncak Himalaya, walau aku sendiri tidak pernah tahu di mana
puncaknya, kerisauanku mencapai tingkat dewa walau aku juga belum pernah
sekalipun bertemu dengan dewa. Mau menikah dengan siapa? setelah menikah kerja
apa? adakah orang tua yang mau dan mempercayakan anak perempuannya bersanding
dengan pemuda tanpa penghasilan? dan masih banyak lagi tanda tanya-tanda tanya
yang harus aku buat di akhir kalimat,
pertanyaan-pertanyaan yang tiada habisnya.
Memang saat itu diriku sudah mengajar di sebuah
sekolah swasta di lingkungan pesantren, tapi posisi itu tidak punya daya tawar
sama sekali. Mengajar di pesantren saat itu bukanlah sebuah pekerjaan yang
menjanjikan materi. Sebagai guru pengabdian, seorang guru hanya mendapatkan
gaji atau bisyarah sekedarnya saja, asal cukup dipakai beli jajan, sabun
dan es jikalau kehausan.
Aku pun tidak pernah
berfikir lebih daripada itu. Ketika usia semakin dewasa, mau tidak mau diriku
harus berfikir tentang masa depan, tentang calon istri, tentang rumah, tentang
anak-anak dan seabrek “tentang” yang tiada habisnya.
Aku adalah sulung
dari dua orang bersaudara, adik saya laki-laki sudah terlebih dahulu menikah.
Dalam adat Jawa jika ada seorang kakak dilangkahi adiknya menikah, maka sang
kakak harus dibuang di pluruhan (tempat pembuangan sampah). Ah...sungguh
mengenaskan bukan, menjadi kakak bukanlah pilihan, belum menikah pun juga bukan
keinginanku, namun nyatanya diriku harus kena kutuk dibuang di pluruhan
tadi. Walau tentu pembuangan ini adalah simbolis semata. Baju yang biasa
kupakai dibuang, kemudian diganti dengan hadiah satu stel baju baru dari adik,
ya begitulah adat berbicara dengan cara yang tidak dimengerti dan kadang
menyakitkan, walau diriku sama sekali tidak sakit hati ataupun jengkel.
Di tengah kegalauan
itu, suatu saat ketika diriku sedang duduk-duduk di serambi masjid pesantren
sesudah shalat jama’ah Asar, tak disangka ketemu dengan seorang wali santri
dari Cepu Blora. Entah mengapa dan darimana kami berbincang dan saling
bercerita. Dari obrolan ngalor-ngidul itu akhirnya nyrempet-nyrempet
masalah nikah.
Dengan agak tersipu
aku meminta do’a restunyanya agar dapat segera mendapatkan jodoh. Karena memang
saat itu sudah ada keinginan untuk menikah. Selain itu tentu juga faktor umur
yang kayaknya juga sudah tepat dan cukup matang dalam membina sebuah rumah
tangga.
Gayung pun bersambut,
walau si wali santri tadi punya anak perempuan yang di pondokkan di pesantren
bukan berarti aku ke-GRan akan diambil menantu dan dijodohkan dengan anaknya.
Beliau kemudian memberikan amalan yang konon katanya sangat manjur bin mujarab.
Dan aku pun dengan senang hati mendengarkan petuah dan nasehatnya.
“Begini mas, jika
kamu pengin segera menikah, maka kamu harus diruwat” begitu kata pak
wali santri mulai membuka dengan tanpa tedeng aling-aling ilmu rahasianya.
“Diruwat
bagaimana pak” tanyaku agak penasaran
“Carilah pisang jenis
Raja kemudian ambillah di tandanan pisang yang pertama, atau istilahnya yang
tadah hujan, kemudian mintalah ibumu untuk menyisiri rambutmu dengan sesisir
pisang Raja” lanjut pak wali santri meneruskan wejangannya.
“Apa cukup itu saja
pak” tanyaku semakin penasaran dan tidak sabaran.
Jika untuk menikah
hanya bermodal sesisir atau bahkan setandan pisang Raja, tak begitu sulit
pikirku, ah...kenapa tidak dari dulu saja ilmu ini aku ketahui. Kalaupun tidak
mampu beli pisang, di rumah pun bapak emak punya, jangankan hanya satu tandan
satu kebun pun punya batinku.
“Ada lagi mas, kamu
harus mengamalkan wiridan surat Yasin ayat yang ke-36, kamu baca
sebanyak-banyaknya sesudah shalat fardhu” begitu pak wali santri memaparkan
resepnya untuk mendapatkan jodoh.
“Aku pun
mengingat-ingat surat andalan itu, tidak mungkin santri tidak hafal surat Yasin
yang ke-36, dengan agak pede kubaca surat itu dalam hati, ah surat itu toh
ternyata. Gumamku.
“Baik pak, sangat
faham dan minta do’anya semoga amalanku nantinya maqbul diterima oleh
Allah swt. dan segera
dipertemukan dengan sang jodoh.”
Obrolan itu pun
akhirnya selesai dengan turunnya ijazah ajaib itu, karena waktu sudah sore
bapak wali santri tadi pamit untuk pulang. Kami pun bersalaman. Suasana menjadi
sepi, aku sendiri diam dan merenung di serambi masjid pesantren.
Pikiranku
kemana-mana, berfikir dan menebak-nebak nama siapa yang akan kubawa ke hadapan
Tuhan untuk kujadikan istri. Hingga tak terasa bedug magrib pun bertalu, suara
muadzin dari toa masjid membuyarkan lamunanku.
Hari-hariku pun terus
berlalu, setiap usai shalat tak lupa diriku menghadap Tuhan sambil memuji-Nya,
mensucikan-Nya, serta mengagungkan asma-asma-Nya. Tidak lupa
bacaan-bacaan shalawat kuhaturkan untuk kekasih-Nya yang mulia, Muhammad
Rasulullah Saw.
Menurut yang aku
dengar dari guru-guruku do’a itu harus didahului dengan shalawat, karena
shalawat diibaratkan perangko dalam mengirimkan surat. Tanpa itu do’a kita
sukar untuk diterima, atau bahkan sia-sia. Setelah ritual pujian dan shalawatan
baru kemudian dengan membaca ijazah Yasinan ayat yang ke-36.
“Subhaanal lazdii khalaqal azwaaja kullahaa
mimmaa tumbitul ardu wa min anfusihim wa mimmaa laa ya’lamuuna” terus saja
do’a-do’a itu kulantunkan, batinku seakan sedang melayang ke langit sap pitu
untuk ketemu Tuhan dan meminta berkah serta anugerah-Nya.
Untuk menajamkan
do’a-do’a permintaan agar segera menemukan jodoh, Aku pun melakukan tirakatan,
tidak tanggung-tanggung puasa sunnah terbaik kupakai yaitu puasanya Nabi Dawud.
Sehari puasa sehari berbuka.
Aku betul-betul
sedang membersihkan ruangan batinku sehingga Tuhan berkenan hadir atau
setidaknya singgah walau mungkin hanya sebentar, ya sebentar saja sambil
mengucapkan sabda “Kun-Nya”. Jika batin kotor dan gelap mana mungkin Tuhan akan
menyinggahi lorong-lorong batinku.
Di tengah menjalankan
tirakatan dan ritual membaca ijazah Yasinan, rencana demi rencana berkelebat di
kepala, diantaranya adalah nanti akan kubuatkan sebuah proposal cinta, ya
sebuah proposal yang akan kukirimkan kepada gadis yang nantinya akan
kuketuk pintu hatinya.
Sepertinya konyol,
tapi ya begitulah namanya usaha, mungkin seperti seorang pengangguran akut yang
sedang sibuk mengirimkan proposal kerjanya ke berbagai perusahaan-perusahaan.
Diterima atau ditolak bukan urusan, yang terpenting maju dulu, dan berani dulu.
Urusan lain biar belakangan saja.
Selang satu bulan
tanda-tanda Tuhan akan menurunkan pertolongannya belum juga kelihatan.
Hari-hari masih gelap, tapi rasa galau dan risau serta kecemasan-kecemasan
tidak mendapatkan jodoh serta tidak mendapatkan tulang rusuk sudah mulai
hilang. Bahkan diriku sudah tidak fokus lagi untuk itu.
Sujud demi sujud,
munajat demi munajat menjadi semacam kerinduan yang tak terkirakan.
Bercakap-cakap mesra dengan-Nya adalah kebahagiaan yang tiada bandingnya. Ada
rasa ketentraman dan kedamaian yang tidak dapat digambarkan.
Semakin hari semakin
ku merindukan saat-saat shalat dan bermunajat, ketika menjalankan shalat,
seakan-akan tubuh batinku mengangkasa menaiki tangga-tangga cahaya menuju ke
sidratil muntaha. Benar dawuhnya Kanjeng Nabi “Asshalaatu mi’raajul mu’min”
shalat adalah mi’rajnya orang yang beriman, ya pengalaman batin yang luar
biasa.
Ah jadi teringat
kisah Nabi Idris yang tidak mau kembali ke dunia gara-gara ia mengambil
sepatunya yang tertinggal di surga, atau ingat Nabi Ilyas yang juga
ditangguhkan kematiannya karena ia tidak ingin kehilangan kenikmatan berdzikir
kepada Tuhannya.
Lalu mengapa Nabi
Muhammad yang sudah diundang langsung oleh Tuhan di sidratil muntaha masih mau
kembali ke dunia untuk menjalani segala kehidupan di dunia serta kodrat
kemanusiaannya ? rahasianya Nabi Muhammad sangat sayang dan cinta kepada
kaumnya. Tak mungkin beliau meninggalkan kaumnya demi kebahagiannya sendiri.
Nabi Muhammad adalah pecinta sejati, namun kadang kita menyakiti perasaannya.
Jika
kenikmatan-kenikmatan dalam shalat itu telah dapat direngkuh, rasa-rasanya
enggan untuk mengakhiri shalat, ingin diri ini di posisi itu selalu, tepatnya
saat merendahkan kepala serendah-rendahnya larut dalam bersujud.
Dunia di hadapanku
seakan hanya sebesar kerikil saja, mudah rasanya untuk menggegamnya, atau
menelannya sekaligus. Tidak ada yang penting di dunia jika Tuhan dan Nur
Muhammad berada di dalam dada. Mungkin ini yang dirasakan Kresna ketika ia
bertiwikrama menjadi raksasa besar sebagai penjelmaan dari Sang Wisnu.
Makin hari cahaya
ketuhanan semakin melingkupi, bahkan diriku sudah hampir lupa tentang jodoh,
tentang proposal cinta, tentang sesisir pisang raja, atau tentang masa depan,
tentang keturunan, serta tentang keduniaan-keduniaan. Atau bahkan tidak
kufikirkan lagi apakah kaki ini masih menapak bumi atau sudah naik satu senti
dari tanah.
Mungkin inilah yang
dirasakan Rabi’ah Al Adawiyah sehingga ia tetap menjadi perawan suci hingga
Tuhan sendiri yang menjemput cintanya dalam mahligai suci. Maha Suci Tuhan yang
telah merengkuh hamba-hamba-Nya ke dalam pelukan-Nya.
Setelah sekitar tiga
bulan dimabuk ketuhanan, akhirnya terjadi sebuah peristiwa yang menarik
perhatianku dari pelukan-Nya. Bukan, tertarik terbuang namun lebih pada
pengalihan perhatian saja. Tuhan melalui garis-garis takdir-Nya mengirimkan
berita gembira. Saat itu ada dua mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi negeri
yang sedang penelitian untuk skripsinya. Salah satunya rumahnya dekat dengan
pesantrenku. Sebenarnya saat itu pun tidak ada yang istimewa, biasa saja dan
semua berjalan prosedural dan administratif. Begitulah dalam hal yang biasa
kadang tersimpan sesuatu yang luar biasa.
Dari diantara dua
mahasiswa itu ternyata punya adik yang kebetulan dulu murid yang kuajar di
pesantren. Namun begitulah cara Tuhan mempertemukan jodoh kadang tidak pernah
diduga sebelumnya. Sudah lama aku tidak ketemu dengannya, karena ia melanjutkan
studinya di kota lain. Karena mbaknya mengambil skripsi di sekolah di mana saya
mengajar, kontak yang telah lama hilang itu akhirnya tersambung kembali.
Tuhan Maha Tahu,
Diriku dipaksanya untuk menaiki satu level tingkatan yang lebih tinggi agar
jodoh dapat kudapatkan. Bukankah Tuhan telah berjanji “Lelaki yang baik untuk
perempuan yang baik” maka saat berada diri ini berada di level satu sedang
jodoh kita berada di level dua, maka sampai kapanpun tidak akan pernah ketemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar