Nabi Musa Sang
Kalimullah
Joyojuwoto*
Nabi Musa
adalah termasuk salah satu Nabi yang mendapat gelar sebagai Rasul Ulul Azmi,
yaitu gelar kehormatan yang diberikan oleh Allah kepada para Nabi dan Rasulnya
yang memiliki keteguhan hati dan ketabahan yang luar biasa serta kesabaran
dalam mendakwahkan ajaran agama Tuhan kepada kaumnya.
Nabi Musa
adalah putra dari Imron keturunan dari Nabi Ya’kub bin Ishak, ibunya bernama
Yohanadz. Musa hidup di Mesir yang saat itu dipimpin oleh seorang raja lalim
yang bernama Fir’aun. Nama Fir’aun bukanlah nama seseorang, tapi nama itu
merujuk pada gelar yang dipakai oleh raja-raja Mesir kuno. Fir’aun berasal dari
bahasa Koptik, yaitu Paraoh. Ha’ pada fonem “raouh” adalah pergantian dari ‘ain
yang asalnya rou’ (Ra) yang berarti matahari. Paraoh sendiri bermakna “sinar
matahari”.
Nama Musa
sendiri berasal dari bahasa Ibrani, Musa
adalah gabungan dari dua kata. Mu yang berarti air dan Sya yang berarti pohon.
Ia dinamai Musa karena saat kecil dipungut oleh keluarga Fir’aun saat bayi Musa
dilarung oleh Ibunya dan terapung di sungai Nil yang kemudian ditemukan dan
akhirnya diambil anak angkat oleh permaisuri Fir’aun yang bernama Asiyah.
Padahal saat itu Fir’aun sedang melakukan genosida terhadap seluruh bayi
laki-laki yang dilahirkan dari keturunan Bani Israel.
Kisah Nabi
Musa termasuk yang paling banyak yang diceritakan di dalam Al Qur’an, lebih
dari 125 nama Musa tercantum di dalamnya, diantaranya menyebar di empat surat:
Al-Baqarah, Thaha, Al-A’raf, dan Al-Qashas.
Sejarah maupun
kisah Nabi Musa pun sangat komplit mulai dari masa sebelum kelahirannya yang
diramalkan oleh para ahli nujum fir’aun, Kelahiran Musa yang akhirnya
dihanyutkan ke sungai Nil (QS. 28:7), masa kecil saat hidup dang tinggal di
istana fir’aun (QS. 28:9), kisah Musa membunuh laki-laki Mesir (28:16) masa
pelariannya ke negeri Madyan yang membawanya bertemu dengan anak-anak Nabi
Syuaib (QS. 28:26), masa risalah di bukit Thur (QS. 20: 25-28), kembalinya Musa
ke Mesir yang kemudian diperintahkan oleh Allah berdakwah kepada Fir’aun
bersama saudaranya Harun (QS. 20:44), konfrontasi langsung antara Nabi Musa
dengan tukang sihirnya fir’aun (QS. 20:63, QS. 7:116, QS. 20:69 ), hingga
berakhirnya kecongkakan Fir’aun di telan laut merah (QS. 26:63, QS. 10:90-91).
Di dalam surat
Al Baqarah juga bertebaran kisah yang menceritakan tentang Nabi Musa yang
menyuruh salah satu dari Bani Israel untuk mencari sapi betina sebagai prasarat
untuk mengetahui seorang pembunuh diantara mereka. Selain itu Al Qur’an dalam
surat Al Kahfi ayat 65-82 juga merekam jejak kisah bergurunya Nabi Musa kepada
Nabi Khidir untuk mendapatkan dan mengajarinya ilmu hikmah dan kebijaksanaan.
Gelar Rasul
Ulul Azmi yang disematkan kepada Nabi Musa tentu karena Nabi Musa termasuk Nabi
yang dipilih dan diistimewakan oleh Allah Swt dibandingkan dengan nabi-nabi
yang lainnya.
Keistimewaan
dan kelebihan yang ada pada diri Nabi Musa yang banyak disebut dalam Al Qur’an diantaranya
adalah :
Pertama, Nabi
Musa termasuk Nabi yang mendapatkan limpahan kasih sayang mulai dari
kelahirannya dan selalu dalam pengawasan Allah Swt, sebagaimana dalam surat
Thaha ayat 39.
Kedua, Allah
Swt langsung memilih Musa sebagai Nabi dan Rasulnya hal ini tercantum dalam
surat Thaha ayat 13 yang artinya : “Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkan
apa yang akan diwahyukan kepadamu.”
Ketiga, Nabi
Musa adalah seorang yang Kalimullah, maksudnya adalah beliau langsung
bercakap-cakap dengan Allah tanpa melalui perantara Malaikat saat menerima
wahyu di puncak bukit Thur. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt
dalam surat An Nisa’ ayat 164 yang artinya : “Dan Allah telah berbicara
kepada Musa dengan langsung.”
Keempat, Nabi
Musa adalah salah satu dari lima Rasul yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Nabi
Musa ini menduduki posisi ketiga dari para Rasul Ulul Azmi diantaranya adalah,
Nabi Nuh,Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Musa
juga mendapatkan wahyu dari Allah guna disampaikan kepada kaumnya yaitu berupa
sepuluh perintah Tuhan (hukum Taurat) yang diterima Nabi Musa secara langsung
di bukit Thur.
Dari
keistimewaan-keistimewaan Nabi Musa ini tentu dapat kita fahami bahwa Musa
berjalan, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan apa yang Allah ilhamkan ke
dalam diri Musa. Inilah yang menjadi bagian dari sifat kenabian yang telah
Allah tanamkan dalam jejak sejarah perjalanan hidup Nabi Musa dari masa
kelahirannya hingga beliau wafat. Nilai-nilai profetik yang ada dalam diri Musa
menjadi pelajaran yang berharga untuk kita renungi dan kita ambil pelajaran
serta hikmahnya.
Ada banyak
pelajaran dan hikmah profetik yang Allah sertakan dalam kehidupan kekasihnya
ini, diantara hikmah-hikmah profetik itu adalah ada pada kisah bergurunya Nabi
Musa kepada seorang hamba Allah yang mendapatkan rahmat dan ilmu dari sisi
Allah, oleh penafsiran para ulama beliau disebut sebagai Khidir. Walau kisah
ini terjadi dan dialami oleh Nabi Musa, namun pada hakekatnya Allah sedang
mengajari kita umat manusia untuk menjadi Musa-Musa yang berusaha menyecap
setitik ilmu dari keagungan ilmu dan hikmah Allah Swt melalui perantara hambanya
yang sholeh.
Kisah
bergurunya Musa kepada Khidir ini menjadi sebuah sarana Musa untuk meningkatkan
maqam syariat kepada maqam hakekat. Karena pada dasarnya Musa sebagai utusan
Allah tentu telah sempurna keilmuan syariatnya, namun dalam segi hakekat beliau
dituntut oleh Allah untuk berguru kepada salah seorang hambanya yang sholeh.
Setidaknya ada
tiga peristiwa penting yang terjadi dalam kisah bergurunya Nabi Musa kepada
Khidir yang memberikan pelajaran dan pendidikan profetik kepada kita, peristiwa
itu dimulai saat Musa memohon untuk mengikuti gurunya. Oleh Khidir dijawab
bahwa Musa tidak akan sabar bersamanya. Kemudian Musa berjanji akan sabar dan
mengikuti Khidir kemanapun dan tidak akan menentangnya dalam hal apapun.
Khidir
akhirnya mengijinkan Musa ikut bersamanya, mereka berdua berjalan hingga
keduanya menaiki sebuah perahu. Khidir dengan tanpa banyak bicara melubangi
perahu itu, Musa kaget dan serta merta ia menegur perbuatan gurunya yang
dianggap merusak hak milik orang lain. Khidir pun hanya berkata, “Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Musa pun sadar akan
kesalahannya untuk tidak menentang gurunya. Kemudian mereka pun melanjutkan
perjalanannya, di suatu tempat terdapat anak-anak kecil yang sedang bermain,
lagi-lagi Khidir melakukan perbuatan yang tidak terduga, Khidir membunuh anak
kecil itu, Musa kembali bereaksi marah, “Wahai Guru engkau telah membunuh anak
kecil yang berjiwa bersih tanpa alasan”, Khidir hanya mengatakan perkataan awal
saat Musa akan menyertainya, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersama dengan aku”. Lagi-lagi Musa meminta maaf dan tidak akan mengulangi
perbuatannya. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah
perkampungan. Mereka meminta sekedar air untuk melepas dahaga, dan sekedar
makanan untuk mengganjal perut, namun penduduk kampung itu tidak ada yang mau. Musa
merasa jengah, dan lebih menjengkelkan lagi, Khidir mengajak Musa untuk
memperbaiki sebuah dinding rumah yang hampir roboh, padahal mereka telah telah
menyia-nyiakan tamu. Di tengah kejengkelannya Musa pun kembali protes kepada
Khidir, “Jika kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu” Dan inilah akhir
dari perjalanan mereka berdua, Musa tidak sabar menghadapi gurunya yang
dianggap melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan kebiasaan. Ringkasnya
akhirnya Khidir melarang Musa untuk mengikutinya dan beliau kemudian
menerangkan perbuatan-perbuatan yang dilakukannya itu bukanlah dari dirinya,
namun Allah lah yang memerintahkannya.
Dari tiga
peristiwa itu, yaitu peristiwa melubangi perahu yang bukan hak miliknya,
membunuh anak kecil yang tidak memiliki dosa, dan menegakkan dinding yang akan
roboh tanpa mengambil upah adalah perbuatan yang secara hukum dianggap
melanggar syariat. Namun nyatanya dibalik peristiwa itu ada hikmah yang
tersembunyi, hanya Allah saja yang tahu. Khidir pun melakukan itu atas
kehendak-Nya. Jadi berhati-hatilah dengan fenomena dan kejadian yang ada
disekitar kita, jangan terburu menjustifikasi sebuah perbuatan, arif dan
bijaksanalah dalam menilai sesuatu, dan itu pun ternyata belum cukup, mintalah
petunjuk dan bimbingan dari orang-orang sholeh yang dekat dengan Tuhan. Ihdinas
shiraathal mustaqim. Amien.
“*Joyojuwoto, lahir di Tuban,
16 Juli 1981, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban; Penulis buku “Jejak Sang Rasul” dan juga seorang blogger yang
tinggal di www.4bangilan.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar