Janji Suci di Lembah Cinta
Joyojuwoto*
Musim kemarau baru saja tiba,
pohon-pohon jati di puncak bukit Lodito meranggas, daunnya berguguran diterpa
angin siang yang panas. Burung-burung beterbangan mencari makanan untuk
anak-anaknya di sarang, nanti jika senja tiba burung-burung itu akan pulang ke
kandang menemui induk dan anak-anaknya yang menunggunya sepanjang hari. Pohon-pohon
di lembah bukit itu tampak lesu memandang langit yang juga diam membisu.
Cinta semesta mengatur harmoni
kehidupan makhluk-makhluk Tuhan di jagad raya dengan keteraturan yang luar
biasa. Ada siang ada malam, ada kalanya musim penghujan dan ada kalanya musim
kemarau, seperti saat itu kemarau sedang melanda pedukuhan Juron. Sawah dan
ladang mengering, rerumputan sama mati, hewan ternak hanya memakan jerami-jerami
kering sisa panen tahun lalu, dan kadang juga hanya makan daun-daun bambu
kering. Keadaan yang sulit ini memaksa Sarip
meninggalkan pedukuhan yang dicintainya guna mencari kerja di kota.
Di suatu senja di lembah Nganget di
pinggiran pedukuhan, sejoli muda-mudi sedang duduk berdua di sebongkah batu di
pinggiran sendang Nganget. Air sendang itu hangat sesuai dengan namanya Sendang
Nganget, yang berarti Sendang yang airnya hangat. Sendang yang bersumber dari
bukit Lodito itu menjadi saksi atas cinta suci sepasang kekasih Sarip dan Nimas.
“Nimas Ayu, ijinkan aku pergi, aku
akan merantau ke kota” kata Sarip terbata-bata, lidahnya kelu ketika ia
mengutarakan maksudnya hatinya kepada kekasihnya Nimas Ayu pada suatu senja di
lembah Nganget”.
Nimas Ayu yang duduk di sebelah Sarip,
hanya diam. Dari kedua bola matanya tampak butiran-butiran bening berkilauan
tertimpa sinar emas matahari senja yang mempesona. Gadis cantik itu masih diam
seribu bahasa, ia berusaha menahan mutiara-mutiara yang akan berjatuhan dari
kedua bola matanya yang mempesona.
“Ini demi masa depan kita, tak ada
yang bisa kita harapkan dari desa ini jika musim kemarau seperti sekarang,
lihatlah bukit-bukit meranggas, tegal sawah tanahnya terbelah-belah, tidak ada
tanaman yang hidup dari kekeringan ini”
“Aku berjanji, demi senja yang hadir
saat ini, demi sendang Nganget dan bukit Lodito tempat kita memadu cinta kasih
dan kesetiaan, pada saatnya aku akan pulang membawa cinta kasih dan kesetiaanku
kembali kepadamu. Cintaku bagai permata yang tak kan pudar walau dimakan waktu”
Janji Sarip kepada kekasihnya itu”.
“Aku takut kang Mas, kota adalah
tempat yang jauh. Engkau belumlah tahu ujung pangkalnya, dan tentu di setiap
sudut kota yang gemerlapan akan banyak gadis-gadis cantik yang akan memalingkan
cintamu kepadaku. Aku takut kehilangan kamu Kang Mas.”
Nimas Ayu tak lagi mampu membendung
air mata dan kesedihannya, ia menangis sesenggukan. Senja semakin gelap, angin
bebukitan terasa mulai dingin sedingin kedua kekasih yang duduk mematung di tepi
sendang. Gremisik dedaunan pohon jati yang
tinggal beberapa helai yang ditiup angin seperti melodi sepi yang mencekam.
Walau senja telah beranjak pergi dan burung pun pun telah pulang ke sarang, namun
sendang Nganget tidak sepi, bahkan justru semakin ramai, pengunjungnya sama
berdatangan dan bertambah banyak.
Malam itu adalah malam minggu
orang-orang banyak mempergunakan waktu libur akhir pekan untuk mandi dan
berendam di kolamnya yang hangat dan berbau khas belerang. Menurut keyakinan
yang entah dari mana air sendang Nganget mampu menyembuhkan berbagai macam
penyakit, oleh karena itu tidak heran jika pengunjungnya membludak dari
berbagai daerah bahkan dari luar kabupaten Tuban itu sendiri.
Sarip dan Nimas Ayu telah berkemas,
mereka berdua pulang dengan membisu, sepi seperti senja yang baru saja berenjak
pergi. Rumah Sarip dan Nimas tidak begitu jauh dari Nganget, tepatnya di tepi
hutan di pinggiran desa, sehingga mereka berdua dengan mudah dapat ke Nganget dengan
berjalan kaki tanpa kesulitan. Terlebih Sarip biasa menggembalakan
ternak-ternaknya ke hutan, sedang Nimas Ayu sendiri juga sering mengikuti
simbok dan bapaknya bertanam jagung di lahan persil milik perhutani.
***
Esok hari saat matahari merobek tirai
malam, bening embun di pucuk-pucuk rerumputan dan daun-daun pun sama berguguran.
Kicau burung kutilang di dahan randu di
belakang pekarangan rumah Nimas Ayu terdengar menggemaskan, semerbak harum
angin pagi yang bertiup dari arah sawah dan tegalan membawa hawa kemurnian
desa. Suara lenguh sapi, kokok ayam, dan kambing-kambing yang mengembik
menyemarakkan desa kecil di tepi hutan jati itu.
Nimas Ayu baru saja bangun, hatinya
risau, matanya sayu, menjelang pagi ia baru bisa memaksa kedua kelopak matanya
untuk terpejam, ia terkenang kekasihnya yang akan pergi meninggalkan desa, demi
mencari masa depan yang entah ada di mana.
Nimas segera beranjak dari
peraduannya, ia ke belakang rumah untuk mencuci muka di sebuah pancuran yang
airnya jernih mengalir dari sebuah bukit di belakang rumah. Keluarganya tidak
perlu membuat sumur untuk keperluan mandi, mencuci, dan minum. Sumber air yang
dialirkan dari puncak bukit Lodito menggunakan batang-batang bambu, namun
sayang sumber air itu makin lama makin mengecil dan kadang-kadang airnya
mengering karena musim kemarau yang membakar bulan September.
Selepas membasuh muka Nimas Ayu
terperangah, ada gelora semangat yang membakar dadanya di pagi yang sepi itu.
Ia segera berlari ke arah rumah Sarip. Nimas Ayu berpacu dengan waktu, ia tidak
ingin ketinggalan sedetik pun. Perjuangan Nimas Ayu tidak sia-sia, Sarip masih
tampak di belakang rumah membelah batang kayu untuk dijadikan kayu bakar oleh
simboknya.
“”Kang Mas... Kang Mas..., kau tak
perlu pergi ke kota Kang Mas. Kau tak perlu mengejar masa depan seperti apa
yang kau katakan tadi sore kepadaku”
Sarip terkejut dengan teriakan Nimas
Ayu, dia menghentikan pekerjaannya. Sepagi itu peluhnya telah membasangi
kaosnya. Sambil mengusap dahinya Sarip mendekati Nimas Ayu yang berdiri tidak
jauh darinya.
“Nimas Ayu, tekadku sudah bulat, aku
akan pergi ke kota. Tidak ada yang bisa menghalangiku Nimas, tunggulah aku di
sini, di kampung kita ini. aku pasti kembali kepadamu. Aku berjanji !.”
Tapi Kang Mas... !
“Tidak ada tapi-tapian Nimas, hidup
tidak hanya bermodalkan cinta saja, aku harus kerja, untuk anak-anak kita,
untuk keluarga kita. Sepulang dari kota nanti aku pasti akan melamarmu Nimas,
jangan khawatirkan Kang Masmu ini. Jangan khawatirkan cintaku yang seteguh
bukit di belakang kampung kita itu Nimas, tunggulah nanti sampai pohon-pohon
jati itu bersemi, aku pasti akan kembali.”
“Nah... itu Kang Mas maksudku. Masa
depan ada pada puncak bukit itu. Lihatlah Kang Mas, air bebukitan itu bisa
menciptakan sendang, dan juga mengalirkan air yang jernih yang kita pakai untuk
keperluan sehari-hari”
“Apa maksudmu Nimas, aku belum begitu
paham ?
“Begini Kang Mas, kemarau seperti ini
kan yang menjadi masalah buat kampung kita ini, saya punya ide Kang Mas, mari kita
gali sumber air yang ada di puncak bukit itu. Kita buatkan saluran hingga ke
tegal sawah penduduk kampung, agar bisa dipakai untuk pengairan di musim
kemarau”.
“Usulmu sangat luar biasa Nimas, dari
mana kau bisa menemukan ide yang cemerlang itu ? kita masyarakat pedukuhan sini
memang tidak pernah memikirkan potensi sumber air dari puncak bukit di belakang
kampung kita. Penduduk kampung tidak akan kekurangan air lagi jika musim kemarau
seperti ini”.
“Semalam saya tidak bisa tidur Kang
Mas, memikirkan engkau akan pergi ke kota, dan tadi saat saya membasuh muka
saya teringat dengan air dari pancuran bambu di belakang rumah, saya terpikir
puncak bukit di sana Kang Mas”
Jadi Kang Mas setuju dengan usulku ?
dan Kang Mas tidak akan pergi ke kota kan ?
Langit pagi itu semakin cerah,
matahari bersinar terang, kabut-kabut tipis mulai menghilang. Wajah Nimas Ayu
pun cemerlang, matanya bersinar bagai matahari kembar. Angin pagi membelai
dedaunan, rumput dan ilalang pun ikut bergoyang, melodi cinta sepasang anak manusia
mengalun merdu di lereng-bereng bebukitan membangun harmoni kehidupan surga di
pedukuhan yang terpencil nan sepi.
Pagi itu, Nimas Ayu dan kekasihnya
pergi ke puncak bukit, menelisik semak belukar, mengais tanah-tanah padas
bebatuan, mencari sumber air sebagai sumber kehidupan pedukuhan. Mereka telah
merencanakan membuat kanal untuk disalurkan ke bawah bukit. Mengairi tegal dan
sawah-sawah yang kering. Sarip juga telah merencanakan untuk merundingkan
proyek besar itu kepada kepala pedukuhan. Hutan-hutan yang kerontang di
sepanjang bukit harus direboisasi kembali, pohon-pohon di sekitar sumber air
harus dilindungi demi kehidupan masa depan dan anak cucu yang lebih baik.
Di tepi sendang, di bawah pohon jati
saat matahari tepat di garis tengah cakrawala langit, disaksikan langit dan
bumi, serta pohon-pohon jati yang meranggas sunyi, sejoli muda-mudi itu
mengikat janji suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar