Nabi
Muhammad Bermi’raj di Sidratil Muntaha,
Orang
Mu’min Bermi’raj di Dalam Shalatnya.
Oleh : Joyojuwoto
سُبْحَانَ الَّذِي
أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ
الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١)
1. Maha suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.
Ayat di atas adalah awalan dari Surat Al-Isra’ yang
menceritakan sebuah perjalanan maha dahsyat yang pernah terjadi dalam sejarah
peradaban umat manusia, perjalanan ini tidak hanya menjadi misteri besar pada
1500 tahun silam, namun peristiwa itu juga akan terus menjadi misteri yang
tidak akan terpecahkan sampai kapanpun. Ayat Al Isra’ ayat 1 merekam perjalanan
Nabi dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, sedang peristiwa kedua yang
terjadi sesudah itu adalah peristiwa Mi’raj yaitu peristiwa bertemunya Nabi
Muhammad saw dengan Allah swt secara langsung di Sidratul Muntaha. Hal ini
terekam dalam firman Allah surat An-Najm 13-18 :
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً
أُخْرَى (١٣)عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى (١٤)عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى
(١٥)إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى (١٦) مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
(١٧)لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى (١٨)
13. dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril
itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
14. (yaitu) di Sidratil Muntaha.
15. di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
16. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil
Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
17. penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang
dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
18. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Mungkin dengan setetes pengetahuan yang Allah
anugerahkan kepada manusia mereka mampu melanglang hingga ke penjuru jagad raya
dan pelosok tata surya, namun peristiwa Isra’ dan mi’rajnya Nabi Muhammad saw akan
tetap menjadi keajaiban yang tak terkalahkan sepanjang masa. Tidak untuk zaman
dahulu bahkan esok yang akan datang.
Perjalanan Rasulullah saw yang terjadi pada tanggal
27 Rajab tahun ke sepuluh kenabian adalah perjalanan untuk bertemu dengan Allah
swt di Sidrotil Muntaha.
Perjalanan ini bukan kemauan dari Rasulullah sendiri, namun perjalanan ini
adalah kehendak dari Allah, oleh karena itu dalam surat Al-Isra disebutkan, “Maha
suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya...”. Jika perjalanan ini
adalah dari Allah untuk hambanya Muhammad maka apapun itu bisa terjadi.
Keajaiban bagaimanapun juga sesuatu yang bukan hal yang mustahil bagi Allah swt. Karena
Allah adalah Dzat yang “Fa’aalul lima yuriid” dapat memperbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya.
Dalam tulisan saya di sini tidak ingin
mempermasalahkan tentang peristiwa ini terjadi dengan cara yang bagaimana
seperti yang banyak diperdebatkan, jika kita benar-benar beriman tentu apapun
itu tentang Nabi Muhammad, kita wajib sami’na wa atha’na, begitu pula walau
mungkin kita tidak mengimani Nabi
Muhammad, namun jika kita tidak mengkhianati tradisi ilmu pengetahuan maka
perjalanan Nabi Muhammad sangatlah ilmiah dan tidak terbantahkan. Jangan karena
keterbatasan kita dalam mencerna suatu peristiwa kemudian kita mengatakan itu
hal yang mustahil, dan hanya orang-orang yang berpenyakit hati dan sempit
wawasan saja yang tidak membenarkan peristiwa ini.
Peristiwa Isra’-Mi’raj ini terjadi setelah
Rasulullah saw ditinggal wafat orang-orang yang menjadi pembela beliau dalam
berdakwah. Istri beliau Khadijah yang menjadi sandaran keluh kesah dalam dakwah
meninggal dunia, Abu Thalib yang menjadi pembela beliau pun menyusul meninggal
dunia. Seakan Allah memang telah merencanakan dan memurnikan bahwa hanya
kepada-Nya semata tempat bersandar dan meminta pertolongan dalam dakwah.
Rasulullah sendiri mengakui betapa dahsyatnya
cobaan dan gangguan dakwah Nabi sepeninggal pamannya Abu Thalib. Dalam sebuah
hadits beliau bersabda yang artinya : “Setelah Abu Thalib wafat, barulah aku
mengalami gangguan yang paling tidak kusukai dari orang-orang Quraisy”. Tidak
hanya itu saja, ketika Rasulullah berusaha mencari perlindungan dakwah di
Thaif, namun justru orang-orang Thaif pun menolak beliau bahkan mengusir beliau
dari tanah Thaif. Kepedihan demi kepedihan ini mencapai puncaknya, hingga Allah
swt memberikan kegembiraan kepada Nabi dengan cara memanggilnya menghadap dalam
peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini.
Dalam rangkain peristiwa Mi’raj yang paling penting
adalah pertemuan Nabi Muhammad saw dengan Allah swt yang tanpa perantara.
Ketika melihat Allah, Nabi bersalam kepada-Nya :
التّحيّات الله والصّلوات والطّيّبات
“Salam, segala puji dan kebaikan untuk Allah”.
Kemudian Allah pun menjawabnya :
الشلام عليك أي!ها النّبيّ ورحمة الله
وبركاته
“Damai,
besertamu, ya Nabi, juga kasih sayang dan berkah Allah”.
Nabi menjawab lagi :
السلام علينا وعلى عباده الصّالحين
“Damai beserta kita dan
para hamba Allah yang taat”.
Kemudian semua malaikat
yang menyaksikan peristiwa agung itu sama berkata :
أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أن
محمّدا عبده ورسوله
“Aku
bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah”.
Percakapan Allah dan Nabi
Muhammad inilah yang akhirnya menjadi salah satu dari rukun shalat yang juga
diperintahkan Allah swt pada saat itu pula. Shalat adalah satu-satunya syariat
yang diturunkan langsung tanpa perantara. Langsung Nabi Muhammad berhadapan
dengan Allah swt di Sidratil Muntaha. Melihat redaksi percakapan itu dapat kita
ambil pelajaran bahwa shalat pada hakekatnya juga bagian dari peristiwa mi’raj.
Tinggal orang yang shalat itu mampu menghadirkan diri di hadapan Allah atau
hanya sekedar gerakan fighiyah semata.
Dalam sebuah hadits
dinyatakan bahwa : As-shalaatu Mi’raajul Mu’min” artinya “Shalat itu
mi’rajnya orang mu’min”. Dari hadits ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa
jika Rasulullah saw ketika menghadapi segala coba dan godaan dakwah, dan tidak ada
lagi yang dimintai perlindungan maka Allah menyediakan diri-Nya sebagai
pelindung. Begitu pula sebaliknya jika kita menghadapi segala ujian dan cobaan
di dunia ini, maka tempat yang tepat untuk meminta perlindungan juga hanya
Allah semata, yaitu dengan menjalankan ibadah shalat sebagai sarana mi’raj dan
pertemuan seorang hamba kepada Tuhannya. “Jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu”
(Al-Baqarah : 46).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar