Bersatunya Lahut dan Nasut
إِنَّ لِلهِ عِبَاداً إِذَا أَرَادُوْا
أَرَادَ
“Sesungguhnya Allah itu memiliki
banyak hamba, yang jika mereka itu menghendaki sesuatu, maka Allah pun
menghendakainya”
Kalimat di atas adalah pendar hikmah dari para ulama
tasawuf, secara sepintas seakan-akan kehendak Tuhan itu mengikuti kehendak
manusia, atau seakan-akan tidak terpisah antara kehendak Lahut dan Nasut. Namun
pada hakekatnya maknanya tidak sesederhana seperti apa yang tersurat seperti di
atas. Jika kita menyelaminya lebih mendalam mengenai arti yang terkandung dari
kalimat tersebut, menurut para ulama tasawuf adalah sebab perkara yang
menjadikan berhasilnya kehendak hamba telah ditetapkan oleh Allah, sehingga
jika seorang hamba benar-benar bersungguh-sungguh dan memiliki kemauan keras
untuk mewujudkan kehendaknya, maka Allah akan memperkenankan dan
mengijabahkannya.
Allah swt. Tidak akan menyia-nyiakan usaha dan
kesungguhan dari seorang hamba, Dia akan memperturutkan dan membersamai
kehendak dari hamba-Nya, seakan-akan manunggal antara hamba dan Tuhan-Nya,
antara sifat Ketuhanan dan sifat kemanusiaan. Bersatunya dimensi langit dan
dimensi bumi dalam kehendak yang padu. Dalam sebuah hadits qudsi Allah swt
berfirman :
أَنَا عِنْدَ ظَنِّى عَبْدِي بِيْ
“Aku (Allah) seperti persangkaan
hamba-Ku kepada-Ku”
Inilah kunci mengapa nasut kadang dianggap memiliki
potensi lahut, karena itu bagian dari kehendak-Nya pula, Dia Yang Maha Tinggi
dan Perkasa, tiada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Dialah Yang Ahad Esa
tiada sekutu bagi-Nya.
Seorang hamba yang telah meleburkan jiwa dan raganya
dalam kehendak Tuhan menyadari bahwa hakekatnya memang manusia bukanlah
eksistensi, manusia hanyalah sekedar bayangan, ia adalah barang baru yang
diadakan oleh Dzat yang Maha Qadim. Adalah sebuah kesalahan besar jika manusia
merasa dirinya ada, begitu ungkap al Hallaj.
Dari sini dapat kita ambil satu kesimpulan dari banyak
kesimpulan bahwa kemauan atau kehendak manusia pada hakekatnya kehendak Tuhan
itu sendiri. Manusia dianugerahi setitik kecil kalam Kun-Nya Tuhan untuk
merealisasikan apa yang menjadi harapan dan cinta maupun cita-citanya. Memahami
diri sendiri adalah dalam rangka memahami nilai ketuhanan, dan jika kita telah
mengenal nilai-nilai ketuhanan, seorang hamba yang beruntung akan dianugerasi
setitik tinta pengetahuan-Nya. “Man ‘arafa nafsahu
faqad ‘arafa Rabbahu, wa man ‘arafa Rabbahu fa qad ‘arafa sirrahu”.
Walaupun
demikian seorang hamba janganlah merasa sombong jika ia telah tamat dalam
meniti jalan diri, karena pada hekekatnya pengetahuannya tentang dirinya
sendiri tidak akan pernah usai, apalagi merambah area ketuhanan.
Kesombongan-kesombongan itu justru akan menjadikan hijab seorang hamba kepada
Tuhannya, dan yang akan menggelapkan perjalanan spiritualnya untuk mencapai cahaya
di atas cahaya. Ketawadhuan dan kepasrahan total kepada Tuhanlah yang akan
membawa hamba pada lorong ketuhanan, karena pada dasarnya bukan hamba yang
menuju Tuhan, namun Tuhanlah yang menarik seorang hamba menuju-Nya.
Dalam
kitab Al Hikam, karya seorang Ulama Sufi Syekh Ahmad bin Atha’illah as
Sakandari dikatakan :
“Andaikan engkau tidak dapat sampai kepada Allah,
kecuali sesudah habis semua dosa dan kotoran syirik, niscaya engkau tidak akan
sampai kepada-Nya untuk selamanya, tetapi jika Allah akan menarik/menyampaikan
engkau kepada-Nya, Ia menutupi sifatmu dengan sifat-Nya dan kekuranganmu dengan
karunia kekayaan-Nya. Maka Allah menyampaikan engkau kepada-Nya dengan apa yang
diberikan oleh-Nya kepadamu, bukan karena amal perbuatanmu yang engkau hadapkan
kepada-Nya”.
Jadi sangatlah
jelas bahwa wushulnya seorang hamba kepada Tuhan, bersatunya lahut dan nasut,
adalah karena karunia Allah kepada seorang hamba, bukan karena amal dan
ibadahnya, sebab ikhtiar dan usaha yang dilakukan oleh seorang hamba pada hakekatnya
adalah juga karena kehendak, iradat dan pemberian Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar