Sejarah
Bulan Muharram
Bulan
Muharram adalah bulan pertama pada hitungan kalender hijriyah sejak
ditetapkannya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai kalender Islam. Hitungan
bulan hijriyah ini mengacu pada perputaran bulan sehingga sering juga disebut
sebagai kalender qomariyah, sedangkan hitungan kalender masehi memakai
perputaran matahari atau disebut sebagai kalender syamsiyah.
Pada
zaman dahulu masyarakat Arab sudah memakai hitungan kalender qomariyah, mereka
juga telah mengenal bulan-bulan seperti bulan Dzulhijjah sebagai bulan haji,
bulan Rajab, bulan Muharram, Ramadhan, dan bulan-bulan lain yang kita kenal.
Hanya saja saat itu masyarakat Arab belum memiliki angka tahun. Biasanya mereka
memakai acuan tahun dengan disandarkan pada peristiwa-peristiwa besar, seperti
tahun Gajah, tahun Fijar, 10 tahun sesudah meninggalnya seorang tokoh dan lain
sebagainya.
Hal
yang sedemikian itu terus berlangsung hingga zaman Rasulullah SAW, seperti kita
kenal ada Amul Huzni atau tahun kesedihan, sanatul idzni, tahun di mana umat
Islam diizinkan Allah berhijrah, sanatul amri, tahun perintah untuk memerangi
orang musyrik, tahun tamhish, tahun ampunan dosa sebagaimana dalam firman Allah
surat Ali Imron ayat 141 yang menjelaskan Allah mengampuni dosa-dosa para
sahabat ketika perang Uhud, tahun Zilzal, yaitu tahun yang penuh ujian ketika
umat Islam menghadapi perang khandaq dan tahun-tahun lain yang memiliki
peristiwa-peristiwa besar yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Pada
zaman Khalifah Umar bin Khattab, tepatnya di tahun ketiga kepemimpinannya,
beliau mendapat surat dari Gubernur daerah Bashrah Abu Musa Al Asy’ari tentang
kebingungannya menindaklanjuti surat dari sang khalifah yang ditulis pada bulan
Sya’ban. Abu Musa menanyakan maksudnya surat itu Sya’ban yang kemarin ataukah
Sya’ban yang hari ini. melihat fenomena itu akhirnya Umar bin Khattab
bermusyawarah dengan para sahabat untuk membuat satu kesepakatan tahun. Atas
usul dari Ali bin Abi Thalib akhirnya disepakati tahun pertama adalah dihitung
sejak hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Karena tahun yang dipakai adalah
tahun hijrahnya Nabi maka kalendernya disebut sebagai kalender hijriyah. Sedang
bulan-bulannya tetap memakai bulan yang digunakan oleh masyarakat Arab kala
itu. Bulan yang pertama dalam penanggalan masyarakat Arab pada masa silam
adalah bulan Muharram, dan itu tetap dipakai dalam tahun hijriyah.
Bulan
Muharram dalam tradisi masyarakat Arab adalah termasuk bulan yang mulia, bulan
yang suci, dan bulan yang mana di dalamnya masyarakat Arab pada zaman dahulu
dilarang untuk berperang. Dalam Islam pun bulan muharram adalah bulan yang istimewa.
Dalam surat At-Taubah ayat : 36 Allah berfirman :
إِنَّ
عِدَّةَ
الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS.
At-Taubah: 36)
Keempat
bulan yang dimaksudkan ayat di atas adalah bulan Muharram, bulan Rajab,
Dzulqo’dah, dan bulan Dzulhijjah, sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah
SAW pada saat haji Wada’. Pada bulan-bulan empat tadi masyarakat Arab dilarang
untuk mengotorinya dengan melakukan peperangan demi mensucikan keempat bulan
tersebut.
Dalam
beberapa hadits banyak menyebut dan menyinggung akan kemuliaan dari bulan
Muharram ini. Pada bulan yang mulia
inilah puasa sunnah memiliki banyak keutamaan, Rasulullah SAW sendiri pun
banyak melakukan puasa sunnah di bulan Muharram. Sebagaimana dalam hadits dari
Abu Hurairah radhiallahu‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
أفضل
الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم
“Sebaik-baik puasa
setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim)
Secara
historis bulan Muharram juga menyimpan banyak kejadian yang menakjubkan seperti
selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, Nabi Ibrahim selamat dari kobaran
apinya Raja Namrud, dikeluarkannya Nabi Yunus dari perut ikan, dan lain-lain
yang menunjukkan kekaromahan dari bulan Muharram. Pun demikian bulan Muharram
menurut prespektif orang Jawa yang dikenal sebagai bulan Suro juga menjadi
bulan yang disucikan, dan sakral, hanya saja cara memuliakan dan mensucikan
bulan Sura dengan cara yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar