Oleh :
Joyojuwoto
Dia
adalah Sang pengembara, seorang lelaki yang terbuang dari tempatnya berpijak, telah
terhapus tanah merah tumpah darah, tercerabut dari akar desanya, terlepas dari
pohon-pohon keturunan, tiada sanak kadang dan keluarga tempat ia bersandar,
atau sekedar tempat menempelkan identitas. Bentangan langit dan hamparan bumi
menjadi rumah dan tempat tinggalnya. Seorang lelaki yang telah kehilangan
segalanya, bahkan ia pun telah lupa siapa dirinya sendiri. Hilang keakuannya,
musnah jejak kakinya, dan kabur identitas dan lebur jati dirinya ia hanya
mengikuti anggapan orang lain kepadanya.
Sang
Pengembara itu hanya berjalan dan berjalan menuruti langkah-langkah kakinya, ia
akan selalu ada di setiap prosesi kematian masyarakat entah itu di desa mana.
Seakan ia telah mengetahui dan membawa lembaran jadwal kematian seseorang. Jika
ada orang yang meninggal dunia lelaki pengembara itu selalu tampak hadir di
sana, membantu pemilik rumah yang sedang ditimpa musibah dan kesusahan. Ia akan
dengan sukarela membantu mengambilkan air untuk menyucikan si mayit atau
membantu menata tempat duduk para petakziyah, membagikan air minum, rokok dan
hal-hal lain yang bisa dilakukan.
Selain
itu jika ada orang yang punya gawe resepsi pernikahan, sunatan, atau bancaan
apapun dia juga selalu hadir untuk sekedar memberikan tenaganya jika
dibutuhkan. Begitulah keseharian dari
lelaki itu yang oleh masyarakat dikenal dengan sebutan Kang Mad, biasanya ia
tinggal sekedar menumpang di langgar atau di pos-pos ronda. Hampir seluruh langgar
di kampung ini ada bekas telapak kakinya, ada bekas sujudnya, dan lelehan
keringat dan air matanya.
Kang Mad selalu membersihkan langgar, jika
lantainya kotor ia akan mengepelnya, dan juga mengisi padasannya, agar orang
yang mau sholat langsung bisa mengambil air wudhu tanpa perlu menimba dari
sumur. Kang Mad akan selalu berganti tempat, jika subuh ia berada di langgar
pinggir kampung, nanti dhuhur ia pindah ke langgar di tengah kampung, saat
waktu menjelang ashar Kang Mad biasanya telah berada di ujung langgar yang
lain. Untuk magrib dan isya’ biasanya ia berada di masjid utama kampung. Ia
yang memukul bedugnya, membunyikan kenthongan, mengumandangkan adzan serta
menyalakan lampu-lampu masjid, begitulah kesehariannya berotasi dari satu
langgar ke langgar yang lain, bergerak dinamis berputar bagai orang yang sedang
menjalani laku thawaf di Ka’bah kehidupan.
Satu hal yang kami sukai dari Kang Mad
adalah jika ia sedang berada di langgar dekat rumahku, biasanya di waktu Asar,
sesudah sholat kang Mad duduk-duduk di serambi langgar dan anak-anak kampung
akan mengerumuninya agar ia bercerita. Kang Mad memang pandai mendongeng tentang
kisah-kisah para Nabi, Wali, dan orang-orang sholeh zaman dahulu, anak-anak
selalu suka jika ia bercerita.
“Ayo kang sore
ini cerita tentang para wali”
Seru beberapa
anak sambil duduk mendekat membuat lingkaran mengerubungi Kang Mad yang sedang
duduk santai di serambi langgar.
“Hehe..kalian
mau cerita tentang wali, - wali siapa ? tanya Kang Mad kepada anak-anak dengan
senyum yang sumringah.
“Sunan
Kalijaga”...
“Sunan
Bonang”...
“Sunan
Kudus”...
Suara
anak-anak ganti-ganti, bersautan meminta agar Kang Mad bercerita tentang
Walisongo
“Sunan...emm..anu,
Nabi saja Kang, Khidir, yang katanya masih hidup sampai hari ini”, seru Kadir,
seorang anak yang berbaju hijau dan juga bersarung hijau.
Kadir memang
berobsesi bisa bertemu dan berguru langsung kepada Nabi Khidir, entah mengapa,
apa mungkin namanya yang memang mirip dengan Nabi Khidir itu yang menjadikannya
ingin bertemu dengan sosok Nabi yang memiliki umur panjang, mendapat anugerah
dari Allah hidup seusia langit dan bumi. Itu pula yang menjadikan Kadir sangat
menyukai warna hijau, warna dari Nabi Khidir yang juga berarti memiliki arti
Nabi yang hijau.
“Baiklah
anak-anak, sesuai usulan temanmu Kadir, saya akan bercerita mengenai sosok Nabi
Khidir” bagaimana, setuju ?
“Setuju...setuju...
kang” Jawab mereka bersamaan.
Semua
anak-anak serentak diam, mereka memasang telinga, dan wajah serius. Mereka
khawatir jika ketinggalan jalannya cerita yang akan dibawakan oleh Kang Mad.
Lebih-lebih Kadir, tentu yang merasa paling bahagia, ia akan mendengarkan kisah
sosok Nabi yang selalu ada dalam hati dan pikirannya.
“Nabi Khidir
adalah Nabi yang dianugerahi oleh Allah umur yang panjang, ya panjang sekali
hingga hari ini dan nanti, selama matahari masih terbit dari ufuk timur, dan
selama bumi masih dipijak oleh manusia” ucap Kang Mad membuka ceritanya.
“Bisakah kita
bertemu Nabi Khidir Kang ? adakah amalannya ? tanya Kadir tidak sabar dengan
obsesinya
“Bisa-bisa...
kalian semua bisa bertemu dengan Nabi Khidir, karena Khidir sangat dekat dengan
kita, Cuma ia selalu menyamar. Kadang Khidir berwajah seorang tua peminta-minta,
kadang Khidir menyamar sebagai gelandangan bahkan sebagai orang gila”.
“Khidir adalah
gurunya Nabi Musa, gurunya para wali dan penjaga agar kebaikan terus lestari di
muka bumi, sekecil apapun itu kebaikan harus dipelihara. Tugas Nabi Khidir
seperti namanya, yang berarti hijau, yaitu menjaga agar kebaikan selalu hijau,
tumbuh berkembang tidak pernah layu dan
mati”
“Bekas jejak
telapak kaki Khidir akan selalu ditumbuhi rumput-rumput, di padang pasir kering
kerontang sekalipun. Jerami yang kering ketika diinjak oleh Khidir maka akan
berubah menjadi hijau kembali, begitulah perumpamaan seorang Khidir”
“Wah... hebat
ya Nabi Khidir, dia sekarang kira-kira di mana Kang ? tanya Kadir masih dengan
wajah penasarannya.
Teman-teman
Kadir sangat asyik mendengarkan cerita dari Kang Mad tentang Nabi Khidir yang
misterius dan penuh keajaiban itu, sedang Kadir terus berfikir bagaimana
caranya ia bisa bertemu dengan Khidir.
“Nabi Khidir
juga sangat dekat dengan air, karena air juga lambang kehidupan. Di dalam Al
Qur’an diceritakan ketika Musa diperintahkan oleh Allah untuk mencari seorang
guru yang akan mengajarinya ilmu hikmah, Allah menyuruh Nabi Musa agar mencari
orang itu di pertemuan arus lautan” kata Kang Mad melanjutkan ceritanya tentang
Khidir.
“Jadi Saya
bisa mencarinya di tempat yang banyak airnya Kang ? tanya Kadir kembali
“Khidir itu
sebenarnya diri kamu sendiri cah bagus, selama engkau terus berusaha untuk
menebar kebaikan di dunia ini, sekecil apapun itu, baik kepada sesama makhluk
Tuhan yang berupa hewan, tumbuhan, lebih-lebih kepada sesama manusia, maka ketahuilah
pada saat itu Khidir sedang menjelma menjadi dirimu sendiri, bukankah Khidir
suka menyamar ?” hehe...
“Kita bisa
saja menjalani laku spiritual agar bisa bertemu dengannya, dan jika Allah swt
memberikan anugerah-Nya, pada saatnya kita akan bisa bertemu dan melihat Khidir
secara langsung, tapi sebenarnya bukan itu tujuan dari sebuah laku spiritual
cah bagus”
***
Kadir
mengeryitkan kepalanya, nasehat dan cerita yang disampaikan Kang Mad tentang
sosok Khidir telah menyeret dan menenggelamkan batinnya, Kadir merasakan
dirinya terbang melayang ke alam keheningan. Tiba-tiba Ia telah berdiri bermain
hujan-hujanan di sebuah tanah lapang yang gersang. Ia merasa heran, di musim penghujan
seperti ini mengapa tanah itu gersang. Tidak ada satu pun rumput yang tumbuh,
seakan-akan tanah itu adalah tanah mati seperti terkena radiasi nuklir yang
tidak bisa ditumbuhi rerumputan. Di tengah kebingungannya sekonyong-konyong
datanglah seorang kakek tua berjubah warna hijau.
“Cah bagus, kamu
sedang apa di sini ?
Sapa kakek tua
“Bermain
hujan-hujanan Kek”
Jawab Kadir sambil melirik ke arah kakek yang menyapanya, wajahnya tidak asing
seperti telah lama ia kenal. Namun kadir tidak begitu menghiraukannya.
“Ayo ikutlah
aku, berteduhlah tidak baik terlalu lama bermain hujan-hujanan” ajak kakek
itu sambil berjalan meninggalkan Kadir yang masih terbengong di tengah tanah
lapang yang gersang. Kadir hanya tertunduk di bawah derasnya guyuran air hujan,
sekilas ia melihat telapak kaki kakek itu berjalan menjauh meninggalkan dirinya
yang masih terpaku.
“Telapak
kaki itu ....” Seru Kadir terkejut, di bawah rintik hujan, tanah yang
tadinya tampak tandus tiba-tiba ditumbuhi rumput-rumput hijau, makin lama
rumput itu makin banyak dan meluas memenuhi lapangan yang tadinya tandus.
Sepanjang memandang mata Kadir hanya menatap warna kehijauan, ia mendongakkan
pandangannya mencari kakek tadi, namun sang kakek juga telah raib balik warna hijau.
“Dir... Kadir,
ayo bangun, ceritanya sudah selesai tu, ayo bangun, ambil wudhu sana ! teriak
Rahmat teman Kadir sambil membangunkan Kadir yang tidur sambil duduk.
Kadir
terhenyak dari tidurnya, “Lho... sudah selesai toh ceritanya Nabi Khidir? di
mana Kang Mad ?
“Ia telah
pergi, mungkin ke Masjid kampung seperti biasanya Dir” jawab Rahmat.
Senja semakin
senyap, matahari telah tenggelam di peraduannya. Adzan Magrib sayup-sayup
berkumandang. Kadir terdiam, dalam bayangannya melintas wajah Kang Mad kemudian
bergantian muncul wajah kakek yang ditemuinya di dalam mimpi, wajah itu
kemudian menjadi satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar