Mengulas
Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk Karya Hamka
Oleh
: Joyojuwoto
Identitas Buku
:
Judul
buku : Tenggelamnya Kapal Van
Der Wicjk
Penulis : Hamka
Penerbit : Pedoman Masyarakat, M,
Syarkowi, Balai Pustaka, Penerbit Nusantara, Penerbit Malaysia.
Setting
tempat : Batipuh, Mengkasar, Padang
Panjang, Jakarta, Surabaya, Brondong Lamongan.
Tokoh-tokoh : Pendekar Sutan, Datuk Mantari
Labih, Daeng Habibah, Mak Base, Zainuddin, Hayati, Khadijah, Aziz, Mande
Jamilah, Bang Muluk.
Ulasan
Roman
Tenggelamnya
Kapal Van Der Wicjk adalah sebuah
judul roman yang ditulis oleh seorang
ulama besar dari tanah Minang, Hamka. Tidak umum seorang ahli agama menulis
sebuah roman, apalagi roman percintaan. Pada mulanya Hamka mendapat tantangan
dan reaksi yang keras golongan agamawan, namun seiring dengan berjalannya waktu
kurang lebih setelah terjadi polemik selama sepuluh tahun suara-suara sumbang
itu pun tumbang. Kian hari mengertilah orang-orang ternyata berkesenian dan
belajar sastra juga penting dan bermanfaat. Umar bin Khattab berkata mengenai
sastra : “Ajarilah anak-anakmu sastra, karena sastra membuat
anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani”
Roman Tenggelamnya
Kapal Van Der Wicjk ditulis Hamka diusianya yang ke 31 tahun (1938), pada pada
mulanya tulisan ini diterbitkan secara bersambung di majalah Pedoman
Masyarakat. Baru setelah itu diterbitkan menjadi buku secara mandiri oleh
temannya yang bernama M. Syarkowi. Setelah cetakan yang kelima, roman ini
diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka, juga pernah diterbitkan oleh penerbit
Nusantara, penerbit Bulan Bintang, bahkan diterbitkan pula oleh penerbit dari
Malaysia.
Tema
yang diusung Hamka dalam roman yang ditulisnya ini adalah mengkritisi tradisi
Minangkabau yang tidak memberikan tempat bagi kaum laki-laki dalam sebuah
struktur keluarga. Mungkin karena fanatiknya atau karena tingginya porsi penghormatan
masyarakat kepada seorang perempuan sehingga mengabaikan hak dari seorang
laki-laki. Di masyarakat Minang tradisi yang berkembang dalah Matrilineal yaitu
menempatkan perempuan sebagai garis keturunan, maka jika seorang anak laki-laki
tidak memiliki saudara kandung perempuan ia sungguh malang, karena harta orang
tuanya menjadi bagian dari mamaknya (saudara laki-laki dari ibu).
Bersikap
yang terlalu inilah yang memang kerap menimbulkan masalah di tengah kehidupan
bermasyarakat. Terlalu dalam hal apapun tidak ada baiknya, bahkan dalam
kebaikan sekalipun, lebih-lebih terlalu dalam kejelekan. Oleh karena itu kita
diajari untuk mengambil posisi tengah-tengah dan seimbang agar tidak terjadi
kegoncangan, sebagaimana dalam sebuah hikmah dikatakan : “Khairul Umuuri
Ausathuha” sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Tidak ekstrim ke
kanan juga tidak ekstrim ke kiri. Jalan tengah adalah jalan yang terbaik.
Berakar dari tradisi masyarakat yang teguh dan keukeh jika tidak boleh
dikatakan sebagai tradisi yang kolot kisah roman Hamka ini dituliskan. Adalah
seorang anak laki-laki tunggal bernama Pendekar Sutan, menginjak usia remaja
layaknya pemuda-pemuda yang siap nikah, namun ia tidak diperbolehkan
menggunakan harta ayah ibunya untuk keperluan itu. Karena seluruh harta kedua
orang tuanya berada di dalam kekuasaan mamaknya. Hingga terjadi sebuah
peristiwa yang menggemparkan di Rumah Besar, Pendekar Sutan bersitegang dengan
mamaknya Datuk Mantari Labih. Karena tersinggung Datuk Mantari Labih menghunus
keris dan melompat hendak menikam Pendekar Sutan, namun sayang gelar Pendekar
Sutan bukanlah gelar sembarangan, tidak sembarang orang mampu memperolehnya,
gelar itu menjadi jaminan jangankan sepuluh orang, bahkan lebih dari itu pun dihadapi,
pantang surut ke belakang. Pisau Pendekar Sutan secepat kilat telah menembus
lambung kiri Sang Datuk yang kemudian menghantarkan kematiannya.
Setelah peristiwa geger di Rumah Besar Pendekar Sutan ditangkap,
ia disidang di pengadilan adat Padang Panjang, atas kesalahan yang telah
dilakukan ia dijatuhi hukuman buang di Cilacap selama kurun waktu lima belas
tahun lamanya. Ketika meletus perang Bone serdadu-serdadu Jawa mengirimkannya ke Mengkasar guna membantu mengamankan
daerah di sana, karena Sutan terkenal sebagai seorang yang jago persilatan. Di
dalam penjara di Mengkasar inilah Pendekar Sutan berkenalan dengan seorang
rantai dari Madura, Kismo Namanya. Umurya kira-kira 40-an tahun, dari dia Sutan
banyak belajar ilmu kebatinan.
Setelah masa hukumannya habis Pendekar Sutan enggan untuk pulang kembali ke Batipuh,
kampung halamannya. Ia lebih suka tinggal di Mengkasar, percuma juga pulang
jika hanya makan hati berulam jantung, seorang yang tidak berpunya dan tidak
beruang tidak dianggap ada.
Kalau tidak ranggas di Tanjung
Cumanak ampaian kain
Kalau tidak emas dikandung
Dunsanak jadi orang lain
Di Mengkasar Pendekar Sutan menumpang di rumah seorang tua
keturunan bangsawan Melayu, karena kehalusan dan budi pekertinya yang menawan
Sutan dijodohkan dengan anak gadisnya yang masih perawan Daeng Habibah. Dari
perkawinannya inilah lahir tokoh utama roman Hamka, Zainuddin namanya. Sayang
seakan keberuntungan tidak pernah berpihak kepadanya, semenjak bayi ketika
umurnya baru sembilan bulan ia telah ditinggal wafat ibunya. Semenjak itu
Zainuddin diasuh oleh Mak Base, sedang yang mencarikan nafkah adalah ayahnya.
Kepergian Daeng Habibah menyisakan luka yang mendalam bagi Sutan,
ia tak hendak menikah lagi, separo jiwanya ada pada Habibah, sedang ia hidup di
dunia dengan hati yang separo juga. Ketika usia Zainuddin telah kanak-kanak dan
baru pandai-pandainya bermain, tepat Kamis petang malam Jumat Pendekar Sutan
meninggal dunia. Ah...kemalangan macam apalagi yang kan menimpa bocah laki-laki
yang sudah tak berayah ibu itu.
Setelah ditinggal wafat ayahnya, Zainuddin yang dalam asuhan Mak
Base beranjak remaja. Hingga pada suatu ketika ia mengutarakan maksudnya untuk
pergi ke kampung asal ayahnya. Dengan berat hati Mak Base pun mengijinkannya.
Setelah menempuh perjalanan laut yang panjang sampailah Zainuddin
di Batipuh Padang Panjang. Sebuah negeri yang elok nan indah. Negeri yang
berlatar gunung-gunung dan lembah ngarai serta sungai-sungai yang airnya selalu
bernyanyi riang gembira. Negeri yang berada di rampingnya pinggang Singgalang
dan jenjang-jenjang kaki-kaki gunung Merapi. Negeri yang sangat memegang teguh
adat moyangnya. Di Batipuh sendiri Zainuddin menumpang di rumah Bakonya
(keluarga dari pihak ayah), karena berdasarkan adat Zainuddin tidak memiliki
kelas di masyarakat. hilang asal dan usulnya ibarat pepatah “La Ashla Wa La
Fashla”.
Hidup di tengah-tengah kerabatnya Zainuddin sama sekali tidak
dihargai kecuali karena uangnya saja. ia merasa tersisihkan dan terbuang. Bagai
kapal yang tak memiliki dermaga untuk berlabuh, terombang-ambing di tengah
gelombang adat yang menumbangkan dan
meremukkan tiang-tiang pancang layarnya. Dunia Zainuddin gelap tidak ada matahari yang mencerahkan
bumi batinnya. Di sebuah lapao pada hujan yang deras mengguyur, saat kilat dan
guntur menyambar Zainuddin bertemu dengan dua orang gadis, salah satunya
bernama Hayati yang oleh pengarang memang akan disetting menjadi hayat
(kehidupan bagi Zainuddin). Ah..lagi-lagi hujan yang akan menautkan hati
sepasang sejoli itu, sihir hujan ternyata sudah ada sejak Hamka pula. Semenjak
peristiwa hujan itu, hari-hari Zainuddin yang mulanya sepi kembali berseri,
harapannya hidup kembali, bunga-bunga hatinya bermekaran bagai musim semi, oh..indahnya.
Melalui media surat menyurat hubungan sepasang kekasih itu tumbuh.
Segala perasaan diperas dan ditumpahkan melalui dawat di selembar kertas,
kadang-kadang mereka pun bertemu melepas rindu di pematang sawah yang
berjenjang, di ekor lubuk, di gubuk di tengah sawah, ya pertemuan dua hati yang
saling menjaga cinta murni, bukan pertemuan-pertemuan raga yang penuh nafsu
angkara. Hubungan kekasih itu akhirnya menjadi buah bibir di kalangan
masyarakat, hingga Zainuddin terusir dari Batipuh. Sebelum pergi Zainuddin dan
Hayati bertemu, Hayati berjanji akan setia menunggunya dengan setia. Zainuddin
kemudian pergi ke Padang Panjang untuk memperdalam ilmu pengetahuan guna bekal
kehidupannya di dunia dan akhirat.
Di padang Panjang Zainuddin menumpang di rumah Mande Jamilah.
Ketika menjalani hubungan LDR ini Zainuddin dan Hayati saling berkirim surat.
Hingga pada suatu pesta rakyat Pacu Kuda dan Pasar Malam, Hayati yang saat itu
berkunjung ke rumah sahabatnya Khadijah bertemu dengan Zainuddin. Khadijah
punya saudara laki-laki namanya Aziz. Ia adalah seorang tipe pemuda metropolitan
yang suka dengan dunia malam dan perjudian. Aziz awalnya enggan menikah, karena
menurutnya menikah hanya menahan langkahnya saja. Ketika ia ditawari Khadijah
untuk mengawini Hayati, dengan berbagai pertimbangan serta melihat kecantikan
Hayati akhirnya Aziz mau menerimanya.
Dengan berbekal harta dan keturunan sebagaai orang terpandang
keluarga Aziz melamar Hayati. Zainuddin yang saat itu mendapat kiriman uang
sejumlah Rp 3.000 yang saat itu cukup untuk membangun sebuah rumah tangga juga
berniat melamar Hayati. Ia irimkan surat lamaran kepada mamak Hayati. Setelah
melalui sidang keluarga dengan pertimbangan adat lamaran Zainuddin ditolah
karena ia dianggap miskindan tidak punya asal-usul. Sedang lamaran Aziz
diterima. “Ruas telah bertemu buku, bagai janggut pulang ke dagu, sama
berbangsa keduanya, satu bulan,satu matahari.
Di sinilah Hayati sedang diuji, ketika dia ditanya untuk
dinikahkan dengan Aziz dia hanya diam saja. Diamnya perempuan dianggap sebagai
kesediaannya. Akhirnya terjadilah perkawinan antara Aziz dan Hayati. Mendengar
Hayati telah kawin, Zainuddin jatuh sakit, ia sekarat dan hampir mati. Selama
dua bulan Zainuddin menjadi bunga dipan saja. selalu saja nama Hayati yang dipanggil-panggilnya.
Tak ada dokter yang mampu menyembuhkannya. Atas saran dari dokter dipanggillah
Hayati ke Padang Panjang sebagai obat bagi sakitnya pemuda yang malang itu.
Ketika membaca di halaman ini tak kuasa saya menahan kesedihan, tanpa sadar air
mata saya pun ikut meleleh. Adegan yang sangat menguras air mata. Hamka sukses
membuat saya menangis sesenggukkan. Saya jadi ingat ucapan dari sang ahli patah
hati Jendral Tian Peng alis Cut Pat kay,
murid Biksu Tom San Cong “Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir” Sampai tulisan ini
Anda boleh tertawa dan menertawakan diri Anda sendiri tentang lika-liku cinta
Anda.
Peran sahabat akan sangat terasa ketika seseorang sedang terpuruk,
Bang Muluk seorang parewa dengan sepenuh hati menemani saat-saat Zainuddin
kehilangan pegangan. Ia genggam erat tangan sahabatnya itu. Bang Muluk memberi
saran agar Zainuddin fokus menjadi penulis saja, melihat kemahirannya menulis
hikayat-hikayat. Mereka berdua kemudian pergi ke Jakarta membuka lembaran baru.
Di Jakarta ini Zainuddin sukses menjadi pengarang dengan menggunakan nama pena
“Z”. Setelah itu mereka berdua memutuskan tinggal di Surabaya. Di sini
Zainuddin yang memakai nama Shobary sukses menjadi penulis dan mementaskan
karyanya di tonil yang dibentuknya dengan klub anak Sumatera.
Karena suatu hal keluarga Aziz dan Hayati pindah ke Surabaya, di
Surabaya ini Aziz menemukan dunia mudanya. Ia kembali terjun ke hiburan dan
dunia perjudian. Ia abai dengan istrinya yang selalu setia menunggunya di
rumah. Hingga Aziz banyak menumpuk hutang, barang-barang di rumah satu persatu
di ambil juru sita, bahkan sampai sampai rumah juga harus ditinggalkan. Aziz
dan istrinya kemudian menumpang di rumah Zainuddin.
Karena terlalu lama tinggal menumpang Aziz meminta ijin untuk
pergi bekerja di Banyuwangi, dan meninggalkan Hayati di rumah Zainuddin. Bisa
kita bayangkan bagaimana pertarungan batin dua insan yang pernah saling
mencintai ini. Pada dasarnya Hayati masih menyimpan cinta sucinya untuk
Zainuddin, begitu pula Zainuddin cintanya juga tak kunjung padam. Di sinilah
kilmaks roman ini meledak, sepucuk surat cerai dari Aziz datang, dan disusul
berita di surat kabar Aziz mati bunuh diri, di surat yang ditulisnya Aziz ingin
mengembalikan Hayati yang dulu dirampasnya kepada yang berhak. “Pinang akan
disurutkan ke tampuk, sirih akan
dipulangkannya ke gagang”.
Jika ending dari roman ini ditulis Zainuddin kemudian menikahi
janda Aziz, selesailah sudah detak jantung ini, dan tentu endingnya kurang
menghentak. Hamka ternyata sangat piawai dalam memainkan perasaan membaca. Melalui
cerita dari Muluk, Hayati tahu bahwa Zainuddin masih mencintainya dan bahkan
memasang fotonya di singgahsana kamar pribadinya, Hayati sangat kaget ia
disuruh pulang ke Padang, bahkan Zainuddin juga akan mengiriminya uang belanja
sampai Hayati beroleh seorang suami. Sungguh kejam jika bara dendam dan api cinta
telah berkolaborasi membangun petaka. Hayati pun harus pulang kembali ke kempung
halamnnya dengan air mata yang tak tersisa.
Pagi-pagi hari Senin, tanggal 10 Oktober 1936, Kapal Van Der Wicjk
berlabuh di Tanjung Perak dan esoknya akan pergi berangkat ke Semarang, dan
menuju Tanjung Priok. Di kapal itu Hayati akan menumpang pulang. Ia ke dermaga
hanya ditemani Muluk, sedang Zainuddin sendiri
pergi ke Malang entah ada urusan apa. Kepada Muluk, Hayati menitipkan pesan dan
surat kepada Zainudin, pesan itu seakan-akan pesan terakhirnya. Muluk sendiri
tidak habis pikir kepada sahabatnya itu, orang yang dicintainya telah berada di
dekatnya namun Zainuddin justru
menyuruhnya pergi. Padahal Zainuddin tahu ia tidak dapat hidup tanpa Hayati, kalaupun
hidup, kehidupannya tidak akan pernah bahagia.
Hari Selasa,tanggal 20 Oktober 1936, Zainuddin datang dari Malang,
hatinya gundah seakan-akan ia mendengar suara hayati minta tolong di tengah deburan
gelombang lautan. Semua itu pun terjawab
di sebuah surat kabar bertulis huruf besar-besar “KAPAL VAN DER WICJK
TENGGELAM”.
Cerita dalam roman ini pun berakhir dengan wafatnya Hayati di
rumah sakit di pelukan Zainuddin dengan ungkapan kata-kata yang menyanyat
perasaan. Di halaman 206 dituliskan :
“Zainuddin. Saya dengar perkataan...tuan dokter saya tahu bahwa waktu...
saya... telah dekat.”
“Tidak hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya
menyampaikan cita-cita kita, akan hidup beruntung, berdua ! Tidak...Hayati...tidak
!”
Sabar... Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku ! Cuma,
jika kumati...hatiku telah senang, sebab telah kuketahui bahwa engkau masih
cinta kepadaku”.
Tak ada yang tersisa dari kehidupan Zainuddin sesudah itu kecuali
kesedihan, hatinya semakin muram. Hingga akhirnya ajal pun menjemputnya setahun
kemudian sesudah dikuburkannya Hayati.
Cinta memang kadang aneh, banyak pakar mendefinisikan pengertian
cinta, namun kayaknya cinta lebih suka mendefinisikan dengan caranya sendiri.
الحبّ لا يمكن تفسيره, فهو يفسّر كلّ شيءِ
"Cinta tak mungkin bisa didefinisikan,
Cintalah itu sendirilah yang akan menjelaskan semuanya".
Cinta itupula yang menjangkiti diri Zainuddin, besarnya harapan dan cintanya kepada Hayati
telah membuatnya terpuruk, begitupun sebaliknya penderitaan-penderitaan karena
cinta itu juga menjadikannya menjadi penulis ternama. Bagaimanapun sempurnanya
manusia, ia tetaplah makhluk yang lemah, begitu pula dengan Zainuddin. Sehingga
cinta menjadikannya sengsara dan membunuhnya. Jika Zainuddin ingat sebuah
hadits Nabi yang menerangkan : “Cintailah seseorang itu dengan sekedarnya”
tentu jalan nasib Zainuddin akan lain ceritanya.
Terlepas dari itu semua, Hamka mengingatkan dalam tulisannya : “Di
belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, di sana telah tertulis rol
yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang
tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada
perintahnya.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar