Pawang
Hujan
Oleh
: Joyojuwoto
Kilat
berkelebatan cepat bagai anak panah terlepas dari busurnya, lidah-lidah api di
udara menyambar dan membakar telaga langit yang berwarna putih susu, dentuman guntur
dan petir mengoyak dinding-dinding telaga itu dan membuatnya berhamburan
menjadi keruh kelam kelabu. Awan menghitam berarak dan bergulung-gulung laksana
banjir bandang yang siap menerjang. Angin berkesiur cepat, riuh mendesau, berputar-putar
bagai seorang penari sufi yang sedang mabuk ketuhanan. Pertemuan antara kilat, mendung,
petir, dan angin di atas kanvas angkasa adalah bahasa alam yang mengabarkan
hujan segera tumpah membasahi bumi.
“Kali
ini hujan tidak akan terbendung lagi, walau mantra-mantra penolak hujan telah
disebar oleh Mbah Djiwo” seru Bejo di cangkrukan warung kopi bersama Samo di
pinggiran jalan desa”.
“Iya
Kang, kita lihat saja apakah Mbah Djiwo mampu menahan hujan saat ini. kemarau
berkepanjangan, banyak warga yang mengeluh kapan hujan datang, sumur-sumur kita
mulai mengering, namun tampaknya Mbah Djiwo masih belum juga membuka payung
ghaibnya dari desa kita” lanjut Samo sambil menyeruput kopi hitamnya”.
Warung
kopi selalu berhasil menjadi tempat yang asyik untuk mengobrol dan melupakan
kepenatan serta beban hidup warga desa. Mereka menyempatkan waktu berkumpul di
pagi atau sore hari untuk sekedar meneguk secangkir kopi dan menghisap sebatang
kretek, setelah itu mereka akan memulai aktivitasnya masing-masing.
Telat
empat bulan dari kebiasaan waktu datangnya musim penghujan, desa Sambonglombok
dan sekitarnya mengalami kekeringan hebat. Ini telah memasuki bulan Januari,
yang oleh orang-orang disebut sebagai “hujan sehari-hari”, namun nyatanya belum
sekalipun hujan mengguyur tanah-tanah mereka yang gersang dan kering-kerontang.
Proyek pembangunan bendungan di ujung desa bagian barat diklaim warga sebagai
penyebab hujan tidak segera turun.
Pimpinan
proyek, Bang Kirman telah menyewa beberapa pawang hujan yang hebat untuk
memindahkan hujan ke tempat lain, atau bahkan menahan hujan itu untuk tidak turun.
Dia tentu tidak mau proyeknya rugi, atau ia akan dimarahi habis-habisan oleh Big
bosnya karena pekerjaan terkendala oleh hujan. Jika hujan turun potensi banjir
juga akan merusak plengsengan yang baru saja selesai dibangun oleh para pekerja.
Di
desa-desa sekitar hujan sudah turun sejak dua bulan lalu, namun entah mengapa
desa Sambonglombok tidak juga turun hujan. Sudah berkali-kali mendung
mengabarkan akan datangnya hujan, lagi-lagi angin mengusir mendung-mendung itu
dari langit Sambonglombok hingga hujan tak jadi turun. Kekeringan melanda di
mana-mana, namun penduduk desa tak berani protes karena mereka takut dan
khawatir akan tuah dari Mbah Djiwo. Mereka khawatir jika protes mbah Djiwo akan
menyantet seluruh penduduk kampung, karena semenjak Mbah Djiwo diminta menahan
hujan, sejak pembangunan bendungan itu tak sekalipun hujan turun. Aliran sungai
pun mengering, karena Kali Kening yang membelah wilayah Sambonglombok dan
sekitarnya berhenti di hulu, air tidak dibiarkan mengalir ke hilir.
Namun
kali ini keadaan benar-benar tak terbendung, sore itu langit sebentar lagi akan
menumpahkan butiran air matanya, Mbah Djiwo tidak bisa menyembunyikan
kepanikannya, ia mondar-mandir di sekitar bendungan, jika sore itu hujan
benar-benar turun maka habislah nama besarnya. Selain itu para pekerja baru
saja mengecor plengsengan dan memasang batu bata pembatas dinding-dinding bendungan, jika hujan turun maka pekerjaan
itu akan berantakan dan sia-sia. Juragan Kirman pasti akan marah besar
kepadanya, dan tentu yang paling mengkhawatirkan ia akan kehilangan upahnya
sebagai pawang.
Di
pojok kampung di punden desa, di bawah pohon kepoh besar dekat bendungan
Sambonglombok, uba rampe telah dipasang, sapu gerang dengan posisi menghadap ke
langit, lidi-lidi itu ditusuki cabai merah dan juga bawang merah, tampak pula
setakir cok bakal yang berisi bunga setaman. Selain mengandalkan mantra penolak
hujannya, Mbah Djiwo juga melakukan ritual memasang sesaji di punden desa, di
bawah pohon kepoh di sebelah selatan bendungan. Namun sayang tampaknya kali ini
sajennya tidak bisa membantunya mengubah keadaan. Entah uba rampe apa yang
kurang, menurutnya semuanya telah komplit dan dipersiapkan dengan matang.
“Wah
hujan sebentar lagi turun, bagaimana ini ! reputasiku sebagai dukun penolak
hujan akan runtuh bersamaan dengan turunnya hujan” gumam Mbah Djiwo sambil menyedot
kreteknya dalam-dalam.
Asap
kretek itu kebal-kebul memenuhi angkasa yang semakin gelap, lelaki tua itu berfikir
keras agar hujan bisa dicegahnya. Selama ini mantra dan sesaji yang dipasangnya
cukup ampuh untuk menahan turunnya hujan. Namun kali ini ia benar-benar
diambang kegagalan.
“Perawan
Sunti !...iya perawan sunti ! hahaha...aku harus mencari gadis yatim yang ditinggal
mati oleh bapaknya saat masih di dalam kandungan” teriak Mbah Djiwo girang.
Langit
semakin gelap saja, guntur dan petir bersautan silih berganti, seakan mengejek
Mbah Djiwo, dengan langkah mantap lelaki tua itu menuju warung, ia tersenyum
penuh kemenangan.
“Eh...Mbah
Djiwo, mari silahkan, silahkan Mbah” sapa Bejo agak gugup dengan kedatangan
lelaki tua berjubah hitam itu.
“Eh..kamu
Bejo, Samo, ya..ya, sini temani aku ngopi sambil rokok-rokok-an, nanti aku yang
bayar semuanya” jawab Mbah Djiwo penuh keakraban.
Tidak
biasanya Mbah Djiwo bersikap ramah terhadap penduduk desa, biasanya ia sangat
dingin dan angker, begitu yang dipikirkan oleh Bejo dan Samo. Namun kali ini
sikapnya lain, hangat dan penuh persahabatan. Entah angin apa yang membuatnya
berubah. Mbah Djiwo duduk mendekat di samping Bejo dan Samo, ia menyodorkan kreteknya
kepada dua orang itu sambil berbisik.
“Bejo,
Samo...saya ada proyek buat kalian berdua, bayarannya gedhe, tugasnya ringan,
mau kan ?
“Tumben
Mbah ada proyek untuk kita, kita sih siap-siap saja mbah, bukan begitu Samo,
kata Bejo.
“Hehe...
iya Mbah, ada proyek pembangunan bendungan kita juga tidak kebagian, justru
pekerjanya orang-orang dari luar daerah, kita ini jadi nganggur Mbah, padahal
kita kan butuh ngrokok dan ngopi tiap hari mbah”.
“Tenang...tenanglah
kalian berdua, sini aku bisiki” kata Mbah Djiwo sambil mendekatkan mulutnya ke
telinga Samo dan Bejo.
“Ok
mbah kita siap ! gampang itu”
“Haha...
haha... haha” kemudian ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak.
***
Langit
sore semakin muram, mendung masih menggantung di langit, gerimis tipis-tipis
mulai turun membasahi bumi. Suasana menjadi sepi. Dua sosok orang
mengendap-endap mendekati belakang rumah Mbok Sri, seorang janda berputri
tunggal. Suaminya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu, saat anaknya
masih di dalam kandungan.
Dengan
cekatan dua sosok bayangan hitam melompati tanaman-tanaman perdu yang menjadi
pagar belakang rumah Mbok Sri, kemudian dengan gerakan cepat dua sosok bayangan
itu mengambil jemuran di dekat sumur, setelah menyelesaikan aksinya dengan
tanpa meninggalkan jejak kedua bayangan itu pun menghilang di balik rimbunnya
pepohonan.
***
Pagi itu sangat cerah, matahari
bersinar terang dan langit tampak membara. Tanda-tanda datangnya musim
penghujan serta sisa-sisa mendung kemarin sore tidak nampak sama sekali,
pohon-pohon layu, sumur warga pun
semakin mengering. Di sebuah warung kopi di pinggiran desa, dua orang tampak asyik
menghisap kreteknya. Samo dan Bejo tertawa gembira.
“Joyojuwoto, lahir di Tuban, 16 Juli 1981, Anggota Komunitas Kali Kening; Santri dan Penulis buku “Jejak Sang Rasul” bisa dihubungi di WA 085258611993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar