Cahaya di Puncak Arga Wilis
Oleh
: Joyojuwoto
“La ilaha
illallah...la ilaha illallah...la ilaha illallah...” suara dzikir itu terdengar
keras memenuhi ruangan padepokan yang berada di bawah pohon randu alas raksasa,
suaranya serentak menggema seperti ribuan malaikat yang sedang melantunkan
dzikirnya mengesakan Tuhan di bawah arys di puncak langit tingkat tujuh. Suara
itu bergetar di keheningan malam, menerobos pepohonan, menuruni lembah-lembah
dan perbukitan Arga Wilis yang sepi.
Dzikir itu membangunkan alam raya hingga semesta pun serentak mengikuti dzikirnya.
Batu-batu diam bertafakkur khusyu’ mengagungkan Tuhan, pepohonan bergoyang
pelan ke kiri dan ke kanan sambil daun-daunnya merunduk berdzikir memohon ampun
pada-Nya, jangkrik, belalang, dan burung-burung malam mengucapkan dzikir mengagungkan
asma-asma-Nya.
Di dalam padepokan
para santri yang sedang berdzikir semakin tenggelam dalam lautan ketuhanan.
Wajah-wajah mereka memancarkan cahaya kesejatian. Diri mereka seakan lebur
dalam nur ilahiah. Tenang dan menentramkan. Makin lama irama dzikir para santri
itu semakin pelan, lirih dan akhirnya semua pun berhenti dan terdiam. Keadaan
menjadi sunyi, jangkrik belalang, dan burung-burung malam yang setadinya
bersuara pun turut terdiam. Angin seakan
berhenti bernafas, pelan namun penuh daya wibawa do’a-do’a keselamatan dalam
bahasa Arab pun dibaca oleh Kang Sena, kemudian do’a itu ditutup dengan
permohonan dalam bahasa jawa :
“Duh Gusti mugi
panjenengan paring katentreman lan kanugrahan dateng tlatah Arga Wilis meniko, mugi
panjenengan Gusti...Gusti... ndadosaken panggenan meniko bibarakatillah lan
kanti syafaatipun Kanjeng Nabi, panggenan ingkang joyo lan manfaah, amien ya
rabbal ‘alamin”
Santri-santri dalam
ruangan itu pun mengikuti dengan mengucapkan amien, sebagai permohonan agar
do’a-do’a mereka diperkenankan dan dikabulkan oleh Tuhan.
Setelah selesai
berdo’a Kang Sena menghadap jama’ahnya, kemudian ia pun berbicara :
“Malam ini saudara-saudara,
adalah malam yang bersejarah, langit dan bumi akan menjadi saksi bukit Arga
Wilis bersemi kembali. Dahulu tempat ini dipakai para wali untuk beruzlah, dan
sekarang akan kita lanjutkan. Dahulu di tempat ini pernah disinggahi para kekasih-kekasih Allah, Syekh Asmorokondi, Syekh Ali Murtadlo, Syekh Ali Rohmatullah, Sunan Bonang an beberapa wali lainnya, padepokan ini kita dirikan adalah dalam
rangka mewadahi barakah dan karamahnya para wali itu”.
“Amien Allahumma
amien....!” sahut beberapa Kang Santri bersamaan sambil mengangkat dan menengadahkan
tangan kemudian mengusapkannya di wajah masing-masing.
“Ketahuilah, malam
ini kita kedatangan tamu yang istimewa, beliau adalah sesepuh Arga Wilis ini,
juru kunci yang menjaga tlatah ini dari masa ke masa, beliau adalah Mbah Rhoso”
Sambung Kang Sena
sambil memperkenalkan seorang sepuh, berpakain surjan batik lurik, bercelana
hitam selutut, berkolor seperti warok dan menggunakan blangkon model kasultanan
Surakarta. Walau terbilang sepuh Mbah Rhoso masih tampak trengginas dan gagah dengan
sorot mata yang tajam dan berwibawa. Beliau yang duduk bersebelahan dengan Kang
Sena membungkukkan badannya sambil melepas seulas senyum ramah memberikan
hormat kepada para santri yang hadir di padepokan itu.
“Mbah Rhoso ini akan
menyerahkan Arga Wilis kepada kita, beliau akan memberikan amanah dan
kepercayaan agar tempat ini kita kelola dengan baik” lanjut kang Sena
menjelaskan maksud kedatangan Mbah Rhoso di tengah-tengah Kang Santri di dalam
padepokan yang baru saja mereka tempati.
“Betul seperti yang
dikatakan Anak mas Sena, saya sudah tua, dan saya ingin menyerahkan tempat ini
kepada orang yang mendapat wahyu keprabon, atau yang berjodoh dengan tempat
ini” kata Mbah Rhoso memulai pembicaraannya di hadapan para santri yang
berkumpul di padepokan itu.
“Sudah dua bulan
lamanya saya bermeditasi, mengurangi makan dan tidur meminta petunjuk dari
Gusti Allah tentang siapa yang cocok dan layak menempati Arga Wilis ini.
Setelah melalui bisikan nurani yang bersih dan suci itulah saya memilih Anak
mas Sena untuk mendirikan padepokan di sini”
“Di sini di Arga
Wilis ini dulu wahyu keprabon pernah turun dari langit dan hinggap di puncak
bukit di tempat yang sekarang kalian gunakan duduk ini, di tanah yang penuh
barakah inilah Raden Aryo Randu Kuning salah seorang putra dari Raja Banjaran
Sari dari negeri Pajajaran yang mengembara kemudian berolah yoga di bukit Arga
Wilis ini memohon kepada Tuhan untuk diperkenankan mendirikan sebuah kadipaten
yang kelak dikenal dengan nama Lumajang Tengah, letak Kadipaten itu di sebelah
utara di bawah bukit Arga Wilis ini, dulu namanya hutan Srikandi”
Para santri hanya
terdiam mendengarkan Mbah Rhoso membabar sejarah dari bukit Arga Wilis yang
sekarang mereka tempati sebagai padepokan itu. Suasana semakin sepi, kemudian
mbah Rhoso melanjutkan ceritanya.
“ Malam ini adalah
malam Selasa Kliwon, yang dalam perhitungan Jawa dikenal dengan nama hari
Anggara Kasih, yaitu hari permulaan wuku, malam ini adalah malam di mana
kekuatan batin dan daya kesaktian serta kejayaan mencapai puncaknya. Oleh
karena itu sebagai tanda saya menyerahkan Arga Wilis ini kepada Anak Mas Sena,
saya juga akan menyerahkan pusaka pedang perak kyai Naga Putih kepada Anakmas
sebagai piyandel padepokan Arga Wilis”
“Pusaka ini telah
lama tertidur di dalam kotak kayu, terdiam dan kehilangan pamornya, jika ia
berjodoh kepada Anak Mas Sena, maka pusaka ini akan kembali bersinar”
“Mari kesini anak
mas, berdirilah, saya serahkan pusaka ini kepada engkau sebagai pemegang
kendali di Arga Wilis ini”
Kang Sena berdiri
dan menghadap kepada Mbah Rhoso dengan menunduk khidmad, para santri yang hadir
pun terdiam menyaksikan prosesi penyerahan pusaka Arga Wilis kepada Kang Sena.
Dengan didahului oleh ucapkan syahadat Mbah Rhoso menyerahkan pusaka pedang
perak kyai Naga Putih itu kepada Kang Sena.
“Asyahadu alla ilaha
illallah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, pedang pusaka ini, tepat pada
malam Anggara Kasih saya serahkan kepada Anak Mas Sena, semoga Tuhan meridhoi
dan memberkahi segala langkahnya, dan menjadikan padepokan Arga Wilis ini joyo
serta menjadi cahaya di tlatah Kadipaten Tuban ini”
Setelah pusaka yang
dibungkus dengan kain mori itu diserah terimakan, Mbah Rhoso dan Kang Sena
duduk kembali menghadap ke arah para santri. Dengan mengheningkan cipta,
memusatkan panca indra, menghidupkan cipta, rasa, dan karsanya, Mbah Rhoso
merapal Kidung Rumeksa Ing Wenginya Kanjeng Sunan Kalijaga, suasana padepokan
Arga Wilis semakin tintrim. Daya magis dari kidung itu benar-benar menguasai
malam di puncak Arga Wilis.
Ana
kidung rumeksa ing wengi
Teguh
ayu luputa ing lara
Luputa
ing bilahi kabeh
Jin
setan datan purun
Paneluhan
tan wani ana
Miwah
penggawe ala
Gunaning
wong luput
Geni
atemahan tirta
Maling
adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna
Setelah kidung itu selesai
dirapal oleh Mbah Rhoso, pusaka yang kini dibawa oleh Kang Sena mengeluarkan
cahaya putih keperakan, cahaya itu membasuh gelapnya malam hingga puncak Arga
Wilis menjadi terang benderang brmanikan cahaya, sudah lama pusaka itu terdiam
di dalam kotak kayu menghitam dan kehilangan pamornya, begitu kata Mbah Rhoso,
dan Kini pusaka itu telah menemukan jodohnya dan siap bersinar kembali bagai
purnama sidi yang menerangi puncak Arga Wilis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar