Kali
Kening On Air :
Belum genap setahun usia Komunitas Kali Kening yang menggerakkan dunia literasi di
Bumi Tuban Bagian Selatan, namun berkat
komitmen dan dukungan dari para pecinta literasi di Bangilan dan sekitarnya
komunitas ini berjalan cukup baik. Mulai dari kegiatan Ngaji Literasi yang
diadakan dua minggu sekali yang sudah menginjak putaran ke-6, hingga proses
latihan tulis menulis para anggotanya yang tergabung di group WA yang semakin
hari semakin semarak. Bagai pohon yang sedang berbunga-bunga, semoga kelak
tidak rontok sebelum menjadi buah yang dapat dipetik dan dinikmati hasilnya.
Berkat
dorongan dan support dari sesepuh-sesepuh literasi seperti Mas Rahmat, Mbak
Linda, Mas Ikal, dan teman-teman yang lainnya Kali Kening tampaknya akan menjadi
ujung tombak sastra di bumi Tuban bagian selatan.
Dan sangat
luar biasa kemarin Ketua Komunitas Kali kening Mas Ikal mendapatkan email dari
Radio Pradya Suara yang ada di Tuban untuk on air mengisi salah satu acara dialog
interaktif mengenai dunia sastra yang dikemas dalam “Serat Ratri”.
Berikut
undangan dengan segala uba rampenya yang dikirimkan oleh pihak LPPL Radio Pradya Suara Tuban :
***
Hari / Tanggal : Rabu, 09
November 2016
Acara : Dialog
Sastra “Serat Ratri” di radio Pradya Suara
Tema :
Komunitas
Kali Kening Ujung Tombak Sastra Selatan Tuban
Pukul : 19.00 –
20.00 WIB
Kabupaten
Tuban merupakan salah satu kabupaten di
Jawa
Timur yang terletak di Pantai Utara Jawa. Kabupaten tersebut memiliki jumlah
penduduk sekitar 1,2 juta jiwa dari 20 kecamatan. Letak demografi yang dilewati
pegunungan kapur kendeng dan luas lautan mencapai 65 kilometer membuat
budayanya pun beragam.
Terlebih
pada masa kejayaan kerajaan Majapahit, Tuban memiliki peran penting. Salah
satunya menjadi pelabuhan besar yang pada masa itu dikenal dengan sebutan
Kambang Putih. Melalui pelabuhan besar tersebut pedagang Cina berlabuh untuk
berdagang, lantas menyebarkan budaya meraka pada penduduk pribumi. Bahkan
sampai saat ini warna kulturalisme budaya Tionghoa tidak bisa dipisahkan dari
masyarakat Tuban.
Pun
demikian pada masa kejayaan Mataram Islam. Tuban menjadi salah satu pusat penyebaran
Agama
Islam oleh para Walisongo. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya makam Wali
Allah di tanah Ranggalawe. Salah satunya yang paling terkenal adalah Makam
Sunan Bonang.
Pada
sarasehan budaya selepas pelantikan pengurus Dewan Kesenian Tuban (DKT) hari
Sabtu, 15 Oktober 2016 di Pendapa Krida Manunggal, salah seorang pemakalah
menyampaian tentang Tubanologi. Beliau adalah Suhariyadi, salah satu budayawan
sekaligus dosen di kampus Unirow Tuban. Suhariyadi menyampaikan pemikiran
tentang bagaimana mengembalikan pengetahuan lokal sebagai subjek.
Dalam
makalahnya yang berjudul Tubanologi : Mengembalikan Pengetahuan Lokal sebagai
Subjek disebutkan, Tubanologi adalah sebuah harapan. Tubanologi juga sebuah
bentuk pengakuan, keyakinan, kepercayaan, pemikiran, dan penghayatan bahwa
Tuban merupakan suatu masyarakat yang memiliki kekayaan pengetahuan lokal yang
belum banyak diangkat ke permukaan. Sesungguhnya, ia bisa menjadi sumber
pengetahuan, sehingga bisa dipahami, diapresiasi, dihayati, direnungkan, dan
dijadikan sebuah wacana pengetahuan lokal.
Disadari
atau tidak hal ini telah mempengaruhi penciptaan karya sastra bagi sastrawan
lokal. Sebut saja Thoni Mukarrom, salah satu penulis yang mengutamakan kekayaan
lokal. Cerpennya yang berjudul Tarian Naga mampu mengulas dengan apik seorang
penari Langen Tayub (salah satu kesenian yang dimiliki Tuban). Begitu pula
tentang Ngelindur Sandur yang mengangkat seni tradisi. Melalui karya-karyanya
Thoni juga telah menerbitkan antologi cerpen yang kebanyakan berlatar kekayaan
lokal.
Lainnya, Komunitas Kali Kening yang
bermarkas di Kecamatan Bangilan, bagian Selatan Kabupaten Tuban. Beberapa
anggotanya dengan apik merangkai kata-kata hingga menjadikannya karya sastra
yang enak dibaca. Selain itu bisa menambah wawasan tentang kearifan lokal
Tuban.
Seperti halnya salah satu puisi anggota
Komunitas Kali Kening, Joyo Juwoto yang berjudul Kali Kening pada Senja Biru.
Berikut cuplikannya ;
Di remang senja,
Di bentang cakrawala,
Langit barat tersenyum
Di antara kabut-kabut tipis.
Merona, menyihir rumput
dan ilalang di kaki bukit.
Ini adalah senja biru, katamu
Senja yang tercipta dari senyum bidadari
Saat mengeja rindu yang menggebu
Pada beningnya air kali
Di sini, di pinggiran kali kening ini
Jejak itu masih tampak
Pada batu-batu kali, pada pasir
Dan pada keheningan lubuk
Jejak bahagia anak-anak desa
Yang mengakrabi lumpur
Serta seruling senja
Yang ditiup angin dari balik
rerimbunan pohon bambu
Begitu pula pada cerpen berjudul Janji Suci di
Lembah Cinta karya penulis yang sama. Pemandian alam di Kecamatan Bangilan itu
menjadi latar tempat dalam cerpen tersebut.
Di suatu senja
di lembah Nganget di pinggiran pedukuhan, sejoli muda-mudi sedang duduk berdua
di sebongkah batu di pinggiran sendang Nganget. Air sendang itu hangat sesuai
dengan namanya Sendang Nganget, yang berarti Sendang yang airnya hangat.
Sendang yang bersumber dari bukit Lodito itu menjadi saksi atas cinta suci
sepasang kekasih Sarip dan Nimas.
“Nimas Ayu,
ijinkan aku pergi, aku akan merantau ke kota” kata Sarip terbata-bata,
lidahnya kelu ketika ia mengutarakan maksudnya hatinya kepada kekasihnya Nimas
Ayu pada suatu senja di lembah Nganget.
Apabila
penulis-penulis Tuban mampu menuangkan dengan memukau kearifan lokal, sudah
barang tentu ke depan akan memiliki ciri khas dalam bersastra.
Demikian
undangan tersebut di atas buat komunitas Kali Kening, semoga ke depan Kali
kening selalu istiqamah di jalan literasi, dan yang terpenting terus produktif berkarya
yang bermanfaat untuk bangsa dan negara yang kita cintai bersama. Salam
Literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar