Na’amnya Mbah
Hamid Pasuruan
Jarak yang jauh sekalipun kadang
tidak menyurutkan langkah seseorang yang memang telah diberi azam dan i’tikad
yang kuat oleh Allah Swt. Begitu juga niat yang terpendam dalam dada Moehaimin
Tamam, untuk menemui seorang ulama
waliyyullah yang bernama Mbah Hamid di Pasuruan Jawa Timur.
Moehaimin Tamam (Mohtam) adalah
santri lulusan pesantren Gontor Ponorogo yang baru saja pulang dari mondok. Ia bertempat
tinggal di Bangilan Tuban, karena tekad dan niatnya yang kuat untuk berkhidmat
kepada masyarakatnya, jauh-jauh dari Bangilan menempuh perjalanan menuju
Ndalemnya Mbah Hamid yang ada di Pasuruan. Mohtam berniat meminta restu kepada
Kyai sepuh itu demi meluluskan cita-citanya merintis dan mendirikan pesantren
di desanya Bangilan Tuban.
Mbah Hamid adalah salah seorang
ulama yang ma’rifat, beliau diberi keistimewaan oleh Allah mengetahui apa-apa
yang tersimpan di dalam hati para tamunya. Beliau memandang dengan nurullah
sehingga tidak heran jika sebelum tamunya mengutarakan apa yang menjadi niat
dan hajatnya Mbah Hamid telah dulu memberikan jawaban berupa tamsil atau
kiasan.
Begitu juga dengan Mohtam,
setelah menempuh perjalanan panjang Bangilan-pasuruan, ia sampai di Pasuruan ang
sedwaktu itu telah malam. Mohtam pun menuju mushola pesantren, tidak mungkin
saat malam-malam ia menemui daan bertamu langsung ke ndalem Mbah Yai
Hamid. Mohtam kemudian tidur beralaskan
koran yang ia beli sewaktu di dalam bis jurusan Bojonegoro-Malang. Di serambi
mushola itu ia beristirahat merebahkan badannya.
Menjelang shubuh Mohtam bangun,
santri-santri Mbah Hamid juga sama bangun dan bersiap-siap mengerjakan sholat.
Adzan pun berkumandang dari corong toa mushola. Setelah mengambil wudlu Mohtam
duduk mengerjakan dua rakaat sebelum shubuh kemudian duduk khusu’ berdzikir
bersama santri-santri yang lainnya.
Tak berselang lama Mbah Hamid
masuk mushola untuk ngimami sholat shubuh, santri-santri sama berdiri rapi
membuat shof-shof sholat. Muhtam juga ikut mengambil tempat untuk
berjama’ah shubuh, ia menjadi ma’mum di
shof depan tepat di belakangnya Mbah Yai Hamid.
Dua rakaat sholat shubuh lengkap
dengan qunutnya telah selesai, para jamaah berdzikir memohon ampun kepada Allah
Swt, beristighfar, bertasbih, bertahmid, dan bertahlil kemudia berdoa bersama yang
dipimpin oleh imam, sedang ma’mumnya mengamini doa dari sang imam.
Setelah selesai berdoa Mbah Yai Hamid keluar dari mushola, Mohtam yang
berada di shof paling depan ikut keluar mengikuti mbah Hamid tepat berada di
belakang punggungnya. Sesampai di depan pintu mushola Mbah Hamid berbalik dan
berada di depan Mohtam. Ada rasa sungkan dan pakewuh seorang santri di hadapan
Kyai. Belum mengucap apapun mbah Hamid memegang dua pundak mohtam kemudian
mengelus-elus pipinya tida kali sambil
berucap “Na’am, Na’am, Na’am” Setelah itu Mbah Hamid bilang sambil mendorong
keluar Mohtam “Pun ndang mantuk”.
Mohtam pun keluar dari area
pesantren mbah Hamid untuk pulang kembali ke Bangilan, di tengah perjalanan
pulang mohtam memikirkan dua kalimat yang diucapkan oleh Mbah Hamid. Kalimat
“Na’am” tiga kali dan “Pun ndang mantuk.” Padahal mohtam belum mengutarakan
niatnya untuk sowan Yai Hamid. Namun niat yang ia pendam dalam hati telah
terjawab dengan tamsil yang telah diberikan oleh mbah Hamid.
Mohtam pun merasa mantap hatinya, sepulang dari Gontor
dirinya memang harus merintis pesantren di desanya sebagaimana jawaban Na’am,
Na’amnya Mbah Hamid, bahkan niat itu harus segera dilaksanakan sesuai petunjuk
mbah Hamid, “Pun ndang mantuk” yang ia tafsiri agar segera mendirikan pesantren
sebagai jalan pengabdiannya kepada umat serta untuk menggapai ridho Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar