Merantau
Oleh : Joyo Juwoto
Matahari kemarau membakar jalanan, debu-debu
beterbangan memerihkan mata, langit membiru tua berkilat-kilat bagai kaca
raksasa tak bertepi. Seorang
lelaki muda paruh baya berambut panjang digelung ke belakang. Lelaki itu berjalan dibawah terik matahari yang
membakar sambil sesekali mengusap dahinya yang berkeringat. Angkutan umum,
dokar, dan bus-bus beradu cepat dengan truk-truk berlalu-lalang memenuhi
pandangan matanya yang tajam. Mata itu bagai burung
celepuk yang menunggu mangsa di kegelapan malam.
“Hari semakin panas, tak ada uang sepeserpun di
kantong sakuku bagaimana aku harus melanjutkan perjalanan ini ?, Gumam
lelaki itu.
Walau sebenarnya lelaki itu juga belum tahu kemana
ia akan berjalan dan menitipkan asa, hanya mata kakinya yang sekarang menjadi
penerang otaknya beku mengikuti kemana langkah-langkah itu dilepas.
Lelaki itu kemudian berhenti disebuah pertigaan
yang menjadi tempat berhentinya angkutan umum, orang-orang menyebutkan
pertigaan Bakalan. Pemuda itu meraba kembali sakunya seakan ingin meyakinkan
dirinya sendiri bahwa ia memang tak membawa uang serupiahpun. Ia sandarkan
punggungnya di sebuah lincak di bawah pohon waru. Pikirannya
menerawang menghadirkan kembali saat-saat ia harus pergi meninggalkan kampung
halamannya. Kampung yang dicintainya.
***
“Maling-maling !!!”“Maling-maling !!! Tolong…
Tolong !!!Maling !!!”
Suara teriakan membelah sepertiga malam dari ujung
kampung. Suara
itu bersumber dari sebuah rumah besar yang menghadap ke jalan raya. Sesosok
bayangan hitam berlari sambil membawa bungkusan yang entah apa isinya. Dengan
gesit ia melompati pagar kayu setinggi orang dewasa yang mengelilingi rumah
sumber suara tadi. Karena pekatnya malam, dan banyaknya rumpun bambu serta
perdu sehingga dengan mudah bayangan hitam itu hilang bagai menyatu dengan
gelap itu sendiri.
Penduduk kampung yang mendengar teriakan gaduh itu serentak
semburat menuju ke arah titik
suara, petugas ronda yang kebetulan lewat di jalan dekat rumah
besar itu pun berlarian mengejar bayangan hitam, namun bagai mencari jejak
hantu tidak ada petunjuk ke arah mana bayangan hitam itu lenyap tiada meninggalkan bekas.
Sementara itu di tengah sawah di pinggiran desa,
sesosok pemuda dengan berkerudung sarung sedang berjalan dengan tergesa. Langkahnya
panjang-panjang agar segera sampai kerumah sebelum fajar kadzib muncul di ufuk
timur. Fajar kadzib adalah fajar yang membentuk garis vertical dari arah ufuk
timur yang berwarna putih, namun dalam fiqh Islam ini belum saatnya subuh. Sebab
setelah fajar kadzib ufuk akan kembali gelap dan sebentar kemudian akan disusul
fajar sadik yang membentang horizontal sebagai penanda waktu subuh tiba.
Ketika pemuda itu memasuki pinggiran desa, ia
tidak sadar kalau banyak mata sedang mengawasi langkah-langkahnya. Tepat di sebuah
gang jalan pemuda itu terhenyak, tiba-tiba ia telah dikepung oleh beberapa
orang laki-laki dengan senjata terhunus di
tangan.
“Hai…. !!!berhenti kamu, siapa kau sepagi ini
berjalan tergesa-gesa !
“Owh..mengagetkan aku saja paman-paman ini, aku Cipto. Tadi aku baru saja
dari tegalan di tepi hutan”
Memangnya ada apa paman ? mengapa paman-paman menghadang saya
dengan senjata terhunus ?”
“Hah.-.siapa yang percaya di pagi buta ini kau dari tegal anak muda, kau pasti
maling yang mencuri di rumah juragan Sutik tadikan ? Ayo mengakulah sebelum kesabaran kami habis !
“Maling… pencuri… ah ! tidak paman, aku
bukan pencuri lagian aku kan juga penduduk sini paman. Untuk apa aku mengotori
kampungku sendiri”.
“Iya..
iya… pasti kaulah malingnya anak muda” seru salah seorang yang membawa
pentungan dari bambu.
“Ayo tak usah banyak cing-cong kita tangkap pemuda
ini, dan kita serahkan kepada juragan Sutik”
Serentak beberapa tangan-tangan kekar memegangi
pemuda malang tadi, kemudian ia diseret kearah rumah besar di ujung kampung. Di
halaman rumah tampak seorang bertubuh gemuk, bercambang lebat. Lelaki itu
mondar-mandir gelisah, sesekali ia mengumpat resah.
“Juragan… juragan !!! ini tadi saya tangkap
seseorang yang mencurigakan di ujung kampung sana” teriak salah seorang dari
mereka.
Juragan Sutik berkacak pinggang, “Heh..bajingan! kaukah yang tadi
memasuki rumahku ?” bentak lelaki tambun itu.
“Ampun juragan, bukan aku pelakunya, tadi memang
aku dari arah sawah di ujung kampung tapi sumpah bukan aku pelakunya”.
“Mana ada maling yang ngaku juragan! sela Parto anak buah
juragan Sutik.
“Ikat dia disitu!,
paksa agar dia mau mengaku, kalau perlu siksa dia” bentak juragan Sutik
sambil meludah kearah pemuda malang itu.
***
Setelah kejadian yang menggegerkan kampungnya, Cipto
pemuda yang dituduh melakukan pencurian di rumah juragan Sutik terpaksa harus
pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Pedih dan hancur perasaannya, ibarat
pepatah Jawa “Ora melu mangan nangkane, tapi melu kenek dadake”. Bukan
dia yang melakukan perbuatan itu namun justru dirinya yang tertuduh dan
menanggung malu.
Belum lagi Cipto digelandang keliling kampung diarak dan
dipermalukan di depan umum. Setiap garis wajah penduduk desanya tergambar
kesinisan dan kejijikan melihat pada dirinya. Cipto hanya tertunduk diam, dia
mampu menahan pedih hatinya karena telah dihinakan sedemikian rupa, namun
hatinya teriris pedih manakala ia melihat Nilam, gadis pujaannya berdiri
mematung memandangi dirinya seperti orang asing.
***
Dengan wajah lesu Cipto beranjak dari tempat
duduknya, ia melangkahkan kakinya ke jalan raya dan melambaikan tangannya kearah
truk yang lewat. Siapa tahu ada sopir yang berbaik hati mau memberinya
tumpangan. Tak berselang lama ada sebuah truk yang berhenti.
“Ayo Kang
naik, memang mau kemana Kang ?” Tanya sopir truk.
“Kemana saja lah Pak, saya ngikut saja, sampai
bapak menurunkan saya”.
“Baiklah ayo naik !, ketepatan kenekku libur, jadi
sekalian bisa menjadi teman ngobrol di jalan”
Kemudian Cipto naik dan duduk di samping sopir truk
yang hampir mendekati senja. Rambutnya telah memutih, namun badannya masih tampak
kekar berotot. Truk itu melaju dari arah barat, membawa batu-batu yang
ditambang dari daerah Sale Jawa Tengah, mungkin batu itu sebagai bahan mentah
untuk membuat kapur, juga sebagai bahan untuk membuat piring, atau mungkin
digunakan untuk mengguruk tanah. Batu pedel merupakan batu berwarna putih yang
memang banyak terdapat di gugusan pegunungan kendeng utara.
Di tengah perjalanan sopir truk itu bercerita tentang
tempat kerjanya yang ada di Sale, tentang gunung-gunung yang habis dibolduser,
tentang hutan yang meranggas karena tanah dan batu-batunya diambili dengan liar
tanpa perhitungan, semua masuk ke dalam perut keserakahan manusia. Sebenarnya
ia juga menyadari tentang lingkungan yang rusak akibat penambangan liar
tersebut, namun mau bagaimana lagi memang itu yang menjadi mata pencahariannya
untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.
“Mau tak kasih makan apa keluargaku kalau aku
tidak kerja Kang”
Truk terus menderu menerjang siang, sesekali
sambil menyedot sigaretnya sopir tua terus bercerita tiada habisnya. Seakan sedang
mendongengi cucunya agar cepet-cepet terlelap dalam boboknya. Setelah selesai
bercerita tentang batu-batu pedel, sopir itu bercerita tentang wana wisata
Semen. Sebuah sumber air yang dijadikan objek wisata local masyarakat Sale dan
sekitarnya. Di dekat sumber air Semen terdapat sebuah goa yang diberi nama goa
rambut.
Goa rambut menurut legenda masyarakat sekitar
terkait dengan cerita rakyat mengenai seorang
brandal budiman yang masyhur disebut sebagai Naya Gimbal. Nama aslinya adalah
Naya Sentika. Karena rambutnya sangat panjang maka ia lebih dikenal dengan
sebutan Naya Gimbal.
Naya Sentiko telah bersumpah tidak akan memotong
rambutnya sebelum kompeni enyah dari bumi pertiwi. Dia adalah salah seorang
pengikut Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Karena perlawanan
Pangeran dari goa Selarong berakhir oleh kelicikan Belanda, maka sisa-sisa pasukan
Diponegoro secara seporadis melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Termasuk Naya Gimbal sang Robinhood dari gunung Genuk Tawunan Sale. Karena
pengkhianatan saudara seperguruannya Bejo, misi perlawanan Naya Gimbal terhadap kolonial Belanda kandas di
tengah jalan.
“Pengkhianatan seperti apa yang dilakukan oleh
Bejo saudara seperguruan Naya Gimbal itu pak ? “ Tanya Cipto.
“Rasa iri, dengki “lan ora seneng marang
kamulyaning liyan” memang benalu yang menggerogoti hati setiap insan, hanya
orang-orang yang ikhlaslah yang akan selamat Kang”
“Ditambah lagi persoalan perempuan selalu
membumbui setiap kisah yang tertoreh oleh tinta sejarah”. Hal ini selalu
membutakan mata setiap manusia kang”.
Naya Sentika dan Bejo sama-sama murid dari seorang
sakti dari goa Nglengkir Ki Samboro namanya. Karena menurut
Bejo Naya Sentika selalu beruntung, selain disayang oleh gurunya Naya Sentika
juga mempunyai istri cantik bernama Dyah Ayu Sumarti. Pada suatu ketika Naya
Sentika mengutarakan maksudnya untuk terus melawan Belanda. Oleh Gurunya Naya
Sentika disarankan untuk bertapa di puncak Gunung Genuk.
Naya Sentika harus bertapa sampai genuk atau gana
( genuk,
wadah air dari tanah liat ) yang dijaganya rebah. Kemana pun
arah rebahnya gana tadi ia harus memulai peperangan dari arah situ. Karena
terdorong oleh rasa irinya Bejo gelap mata dan tega melakukan kebodohan
terhadap saudara tunggal banyunyaitu.Dengan diam-diam ia rebahkan
mulut genuk kearah barat. Kemudian Bejo pun bersembunyi. Setelah Naya Sentika
melihat genuk itu rebah kearah barat maka pulanglah ia untuk menggelar perang
melawan Belanda. Dengan membawa pusaka kebanggaannya pedang Kyai Sadak Naya
Sentika mengajak pasukannya menyerang Belanda dari Lasem.
“Hehe..hehe.. begitulah ceritanya, ada yang
mengatakan Naya Gimbal ketangkap Belanda kemudian dimasukkan drum dan dibuang
di laut.
Ada versi lain yang menyatakan perjuangan Naya Gimbal berakhir di goa rambut
Sale. Ia bersembunyi di dalam goa kemudian goa itu di tutup dengan batu oleh
pihak Belanda dan tidak jelas bagaimana kesudahannya. Namun sampai sekarang di
dalam goa itu banyak rambutnya, entah dari mana mungkin itu rambut dari Naya
Gimbal tadi Kang”.
“Wah, sayang ya pak, pastinya Naya Gimbal gak jadi
potong rambut kan ?hehe…. “ gurau Cipto.
“Ya begitulah kang, perjuangan yang dilakukan
secara kedaerahan hampir selalu gagal di tengah jalan”
“Betul pak, tapi setidaknya Naya Gimbal telah
menunjukkan baktinya pada ibu pertiwi, tempat dimana ia tlah meminum airnya,
menghirup udaranya, tempat dimana jiwa dan raganya diukir dan dicatat oleh
zaman”.Tambah Cipto penuh filosofis.
Percakapan pun berhenti, ketika truk yang
ditumpangi Cipto berhenti di terminal Bojonegoro, Sebuah terminal yang menghubungkan
daerah-daerah kabupaten di sekitarnya. Terminal yang berada
di timur jalan raya itu menjadi pemberhentian bus dari berbagai jurusan,
Seperti Jatirogo, Tuban, Jurusan Ngawi, Jurusan Nganjuk, dan jurusan Surabaya.
“Saya turun sini pak”, ucap Cipto kepada sopir
truk yang telah berbaik hati memberikannya tumpangan.
Matahari tlah bergeser di ufuk barat, lembayung
senja tersenyum meriah, memerah bagai gincu kaum hawa, angin sore mendayu lembut
membelai wajah Cipto yang kelam seakan membisikinya tentang hidup yang kadang
panas membakar bagai udara siang, dan kadang lembut selembut angin sore yang
memeluknya di pinggir terminal. Cipto melangkah memasuki gerbang terminal.Ia
melangkah tanpa arah yang kemudian membawanya ke sudut terminal. Di sebuah
mushola kecil ia membasuh mukanya dari air
kran yang tersendat-sendat alirannya, seperti jalan hidup yang sedang
dilaluinya. Asar
sebentar lagi hilang ditelan cakrawala barat. Cipto bersimpuh mengadukan
nasibnya kepada sang pemegang takdir dan garis hidup. Ia menyadarinya banyak
masalah dan ketentuan Tuhan yang kadang tak perlu diselesaikan. Biar waktu
sendiri yang akan menjelaskan semuanya kepada zaman.
Matahari sore telah tenggelam di ufuk barat, gelap
mulai merayap, kendaraan berlalu – lalang mengejar waktu. Kondektur
berteriak-teriak mencari penumpang. Cipto melangkah ragu menaiki sebuah bus. Kondektur
segera menariknya masuk karena bus telah bergerak
meninggalkan terminal. Bus itu menuju Surabaya. Di kaca depan
tergantung tulisan Bojonegoro-Surabaya.
Namun Cipto tidak peduli mau kemana tubuhnya dibawa, ia mengikutinya
saja, karena memang pada dasarnya ia tidak memiliki tujuan yang pasti.
Entah berapa lama Cipto tertidur di bis, dia baru
terbangun saat bis sudah berhenti di terminal Bungurasih. Cipto di bangunkan
oleh kondektur bis.
“Mas bangun, bangun! sudah sampai terminal. Kata bapak
kondektur setengah tua sambil menggoyangkan tubuh Cipto.
Cipto berdiri dari kursi duduknya, ia turun perlahan dari
bis. Melangkah ragu di tanah yang belum pernah dipijaknya. Kota Surabaya,
sebuah kota besar yang belum dikenal seluk beluknya. Dia tidak tahu apa yang
akan dilakukan di tanah rantau yang jauh dari kampung halamannya.
Tak ada uang sepeserpun di saku bajunya, padahal ia butuh
makan, tak ada tempat tinggal, tak ada sanak saudara, tak ada seorang pun yang
ia kenal di belantara kota itu. Cipto berdiri mematung di tepian terminal, rambutnya
yang panjang dibiarkan terurai diterpa angin sore, dilihatnya orang-orang sama
berlalu lalang dengan tujuan masing-masing.
Tiba-tiba terminal menjadi gaduh, ada teriakan seorang
perempuan muda yang tasnya dijambret, “tolong, tolong...!!! jambret...jambreett!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar