Karomahnya Pangeran Diponegoro Abdul Hamid Herucakra
Oleh
: Joyo Juwoto*
Dalam ceramah yang sering disampaikan oleh KH. Nur Rohmad
dari Pati, seorang dai yang juga seorang Polisi yang berpangkat Briptu, satu
hal yang selalu saya ingat adalah kisah Pangeran Diponegoro yang terjebak di
Rawa Pening saat dikejar-kejar oleh Belanda. Kisah ini disampaikan saat beliau
memberikan mauidhoh dalam acara haflah akhirussanan di Pondok Pesantren ASSALAM
Bangilan beberapa tahun silam. Ingatan saya ini kembali mencuat setelah saya
mendengar pengajian beliau kembali di video yang dishare di group whatshap.
Pangeran
Diponegoro yang memiliki nama Sulthon Abdul Hamid Herucakra Sayyid Abdurrohman Sayyidin Panotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah
Ing Tanah Jawa Pangeran Ontowiryo Raden Mas Mustahar, beliau adalah seorang
Pangeran dari keraton Ngayogyakarta. walau berdarah ningrat keturunan raja,
namun Sang Pangeran ini sangat dekat dengan ulama, beliau adalah seorang santri
yang alim dan wira’i.
Hal
ini terlihat dari peninggalan Pangeran Diponegoro yang ada di Magelang yaitu di
eks Karesidenan Kedu, ada tiga peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih
tersimpan di sana. Benda peninggalan itu berupa : Al Qur’an, Tasbih, dan Kitab
Taqrib (Syarh Fathul Qarib).
Tiga
peninggalan dari Pangeran Diponegoro ini menjadi bukti bahwa beliau memang seorang
santri yang ahli dzikir. Menurut Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan,
Pangeran Diponegoro adalah seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah bermadzab Syafi’iyah.
Ada
kisah menarik yang disampaikan oleh KH. Nur Rohmad dari Pati, yaitu kisah
karomah dari Pangeran Diponegoro saat terkepung oleh pasukan Belanda di tepi
Rawa Pening. Peristiwa ini terjadi satu tahun sebelum perang berakhir, tepatnya
hari Jumat Pahing malam Sabtu Pon tanggal 29 September 1828.
Saat
itu Pangeran Diponegoro dan pasukannya terkepung Belanda. Tidak ada jalan lain
untuk meloloskan diri. Di belakang ada ribuan pasukan Belanda, sedang di
depannya membentang Rawa Pening yang luas dan dalam. Dalam keadaan terjepit
seperti keadaan Musa di depan laut merah yang dikejar Fir’aun dan pasukannya,
Pangeran Diponegoro melantunkan shalawat burdahnya Imam Busyiri :
وِقَايةُ
اللهِ أغْنَتْ عَنْ مُضَاعَفَةٍ # مِنَ الدُّرُوْعِ وَعَنْ عَالٍ مِنَ الْأُطُمِ
“Pengayome Gusti Allah Ta’ala
luwih kukuh, tinimbange gedung wojo sing duwur tur bapoh”
“Perlindungan Allah
jauh lebih kokoh,
dari sebatas gedung
besi berlapis yang tinggi
dan kokoh”.
Dengan penuh kemantaban akan datangnya
pertolongan Allah, Pangerang Diponegoro membedal kudanya, Kiai Gentayu (nama kuda Pangeran Diponegoro) menyebrangi Rawa
Pening yang panjangnya sekitar 8 kilometer dengan kedalaman yang tak terukur.
Alhamdulillah pertolongan Allah sangat dekat, karomah Allah turun kepada para
auliya-Nya. Pangeran Diponegoro dan pasukannya selamat berhasil menyeberangi
Rawa Pening hingga di daerah Tuntang, sedang pasukan Belanda yang melakukan
pengejaran tenggelam di Rawa Pening.
***
Perang Diponegoro yang berlangsung
sekitar tahun 1825-1830 membuat kalang kabut pemerintah kolonial Belanda.
Perang Jawa (De Java Oorlog) ini berhasil membuat Belanda mengalami
kebangkrutan dan menanggung hutang luar negeri yang cukup banyak. Biaya yang
dikeluarkan Belanda Jawa ini
tak kurang dari 25.000.000 Gulden atau setara dengan Rp 127 Milyar.
Tidak
heran jika Belanda berupaya dengan sekuat tenaga dan kemampuan ingin segera
mengakhiri perang besar yang memakan banyak korban ini. Berbagai strategi
ditempuh Belanda untuk segera bisa menangkap Pangeran Diponegoro, mulai dari
strategi benteng stelsel hingga sayembara dengan hadiah uang yang tinggi bagi
siapa saja yang mampu menangkap Pangeran Diponegoro hidup ataupun mati.
Dan akhirnya dengan jalan tipu muslihat, saat Pangeran
DIponegoro diajak berunding di Magelang, beliau ditangkap oleh Belanda kemudian
diasingkan di Makasar dan meninggal dunia di sana.
*Joyo Juwoto, Santri Ponpes ASSALAM Bangilan Tuban Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar