Beridul Adha Melebur Sifat
Angkara
Oleh :
Joyo Juwoto
Hari Raya Idul Adha
atau hari raya kurban adalah hari raya yang sejatinya penuh makna dalam
kehidupan sosial kita. Baik bermakna vertikal (ilahiyyah) maupun makna
horizontal (insaniyyah). Berkurban adalah ritual mengorbankan binatang ternak
berupa kambing, sapi, kerbau atau unta guna mencapai tujuan tertentu.
Berkurban adalah salah
satu dari upaya manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Menilik
makna bahasa dari kurban sendiri berasal dari bahasa arab, yaitu qarib
yang artinya dekat. Makna dekat di sini adalah upaya manusia untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Berbicara mengenai
kurban adalah berbicara mengenai pengorbanan manusia terhadap apa yang
dimilikinya. Karena dengan berkorban manusia akan menemukan nilai kesejatian
dalam hidupnya, bahwa apa yang sebenarnya berada dalam genggaman tangannya
bukanlah miliknya semata, ada hal-hal yang harus dikorbankan untuk kehidupan
ini.
Oleh karena itu manusia
dianjurkan setiap tahunnya untuk berkurban di hari raya idul adha, demi
mengingatkan sebuah nilai pengorbanan kepada Tuhan.
Berkorban dan menjadi
korban adalah sebuah peristiwa yang secara dhohir sama, namun memiliki
tendensi, nilai dan makna yang berbeda. Menjadi korban adalah karena keterpaksaan
untuk kehilangan, baik itu kehilangan secara materi maupun ruhani, sedang
berkorban adalah kerelaan dan keridhoan untuk kehilangan. Karena orang yang
berkorban merasa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, hanya Dzat Tuhan
yang sejatinya ada.
Mau tidak mau, suka
ataupun tidak sebenarnya di dalam kehidupan ini banyak yang harus kita
korbankan, baik itu berupa harta benda, uang, tenaga, keinginan, bahkan hingga
nyawa sekalipun. Kita tidak akan pernah bisa menahan atau menghalangi fitrah
berkorban ini. Oleh karena itu lebih baik kita berkorban apa yang kita miliki
dengan rela hati daripada menjadi korban dengan penuh kedukaan dan penyesalan.
KH. Hasyim Muzadi
pernah berkata : “Jangan takut berkorban, agar kalian tidak
menjadi korban”. Berkorbanlah selagi
mampu dan bisa, give, give dan give, tak perlu berasional dan itung-itungan
dengan Tuhan, maka Tuhan tentu akan memberikan balasan yang tak terhitung
jumlahnya, berkali lipat dan tidak terbayangkan oleh kita.
Dalam
hal berkorban ini, saya pribadi selalu ingat dawuhnya KH. Ahmad Sahal,
salah seorang dari Trimurti Gontor, beliau bilang : “Bondo bahu pikir lek
perlu sak nyawane sisan”. berkorban itu harus totalitas, tanpa reserve,
harta, tenaga, pikiran, kalau perlu nyawa sekalian kita korbankan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Rasulullah Saw, sebagai
teladan agung telah memberikan contoh nyata akan pengorbanan beliau untuk
umatnya yang tak pernah selesai, bahkan hingga kelak di pengadilan padang
makhsyar beliau meminta kepada Allah agar beliau bisa memberikan pembelaan,
memberikan syafaat kepada kita umatnya. Aduhai sungguh besar pengorbananmu ya
Rasulallah!
Peristiwa berkurban ini
hampir selalu ada dalam setiap kehidupan manusia. Agama dan kepercayaan apapun
mengajarkan akan berkurban. Berkurban biasanya menggunakan media hewan yang
disembelih melalui suatu upacara. Namun pada zaman dahulu berkurban juga ada
yang menjadikan manusia sebagai medianya. Semisal masa Khalifah Umar Bin
Khattab di Mesir yang saat itu gubernurnya Amr bin Ash.
Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, jika sungai Nil airnya mengering maka perlu ada seorang
gadis perawan yang harus dikorbankan dengan cara di tenggelamkan ke dalam
sungai. Sebuah perilaku yang tidak manusiawi dan menciderai akal sehat.
Alhamdulillah, setelah Islam masuk, ritual itu dihapuskan.
Berkorban ini dianggap
sebagai upaya pembuangan dosa dan kesialan yang dialami masyarakat. Sehingga
para dewa berkenan menerima kurban itu, kemudian permintaan dari orang yang
berkurban dikabulkan.
Dalam kisah Walisongo,
Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim juga pernah mendapati suatu
kampung yang mengorbankan gadis cantik sebagai syarat meminta hujan. Kemudian
Sunan Gresik mengganti ritual sadis itu dengan jalan mengerjakan salat istiska
sebagai permohonan meminta hujan kepada Allah Swt.
Dalam ajaran Islam
sendiri juga ada upacara pengorbanan, tepatnya di hari Idul Adha. Ritual ini
sejatinya adalah pengorbanan terhadap Ismail yang dilakukan oleh ayahnya
sendiri Ibrahim. Namun oleh Tuhan, Ismail diganti dengan seekor kambing gibas besar
dari surga.
Bisa dibayangkan jika
Ibrahim benar-benar mengorbankan anaknya, tentu juga akan menjadi syariat
dalam agama, hanya karena kasih sayang dan kelembutan dari Nabi Ibrahim
kepada umatnya, Tuhan akhirnya mengganti bentuk pengorbanan manusia dengan
seekor gibas. Padahal kala itu mengorbankan manusia juga lazim dan banyak
terjadi di beberapa kalangan di masyarakat.
Ketika kita berbicara
masalah kurban ini, sebenarnya sedang membicarakan masalah dimensi kemanusiaan.
Manusia itu memiliki ego dan nafsu untuk menguasai dan memperbudak manusia
lain. manusia itu sukar mengendalikan sifat tinggi hati dan angkara. Maka untuk
meredam nafsu-nafsu negatif itu semua Tuhan mengajari agar kita siap berkorban.
Secara jasmani orang
yang berkurban itu menyembelih binatang, menyembelih kambing, unta, sapi, dan
kerbau, namun pada hakekatnya yang perlu disembelih adalah jiwa dan ego dari
manusia itu sendiri. Agar manusia tidak tinggi hati, merasa berpunya, merasa
paling berharga, adigang adigung adiguna (merasa paling kuasa, merasa
paling agung, dan merasa paling berguna diantara sesama).
Bersamaan dengan mengalirnya
darah kurban, manusia juga harus membuang dan meleburkan sifat ego dan
angkaranya ke dalam tanah, sebagaimana darah dari binatang yang disembelihnya.
Oleh karena itu disyariatkan yang menyembelih korban adalah orangnya sendiri,
kalau memang tidak bisa dapat diwakilkan.
Jadi menyembelih hewan
kurban bisa bermakna yang sebenarnya dan bermakna filosofis. Sebagaimana kurban
itu yang diterima dan sampai di sisi Allah bukanlah darah dan dagingnya, namun
kerelaan dan kesediaan jiwa berkorban dari manusia yang akan sampai ke surga.
Dalam surat Al Hajj
ayat 37 Allah Swt, berfirman yang artinya :
“Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Setelah ritual tahunan
ibadah agung Idul Adha atau Idul qurban kita lewati, masihkan tersisa di dalam
jiwa ini sikap rela untuk berkorban sebagaimana teladan Abiina Ibrahim
Alaihissalam?
Bisakah kita merelakan
diri untuk disembelih oleh Allah sebagaimana kepasrahan dari diri Ismail?
Ataukah ritual perayaan
kurban itu hanya sekedar agenda tahunan nir makna yang telah kehilangan makna
dan substansi sucinya?
Masih relakah segala
kenikmatan hidup ini kita tukar dengan sikap lebih mendahulukan kepentingan
bersama dari pada hanya sekedar hasrat diri dan pemenuhan nafsu insani?
Ataukah jangan-jangan
berkurban itu hanya sekedar lift servis, pemanis bibir semata, dan hanya
memenuhi tuntutan hawa nafsu belaka?
“Katakanlah
sesungguhnya salatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”. (Q.S. Al-An’am: 162)
Teori, tulisan, dan segala
macam retorika memanglah tidaklah sama dengan pengamalan dan praktek, oleh
karena itu, mari beristighfar, mari bertahmid...bertahlil...dan bertakbir
bersama, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Wa lillahil hamd.
Semoga kita bisa
menjadi Ibrahim, Hajar sekaligus menjadi Ismail yang menyerahkan diri kepada
Allah dengan penuh keridhoan dan
kepasrahan. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar