Selasa, 31 Oktober 2017

Langgar Tua dan Kenangan Tentangnya

google.com
Langgar Tua dan Kenangan Tentangnya
Oleh : Joyo Juwoto

Kususuri kelokan sepanjang kali kening yang membelah kotaku di suatu senja, airnya jernih berkilap-kilap di terpa warna jingga senja. Pantulan gedung-gedung tua yang berdiri di pinggiran sungai tampak kokoh dan megah, indah bagai lukisan naturalistik yang sempurna. Di dam dekat pasar Bangilan, tepatnya di utara pasar kambing, air kali kening dibendung oleh Dinas pengairan. Air itu dipakai untuk keperluan pengairan sawah penduduk. Dibagi-bagi dengan sistem pintu air menuju arah selatan, dan timur.

Air Kali Kening ini ibarat darah bagi kehidupan masyarakat Bangilan, dari air itu telah mengairi berbagai macam tanaman yang tumbuh disepanjang alirannya, dari waktu ke waktu tiada henti-hentinya. Menghidupi penduduknya dari generasi ke generasi.  Belum lagi air kali kening dipakai untuk keperluan mandi dan mencuci. Jika musim kemarau tiba, kali kening memberikan hadiah berupa ikan, udang, dan juga kijing kali.

Di dam itulah, dulu biasanya aku mandi, menghabiskan senja hingga burung-burung berkejaran pulang ke sarangnya. Dan tepat saat cericit kelelawar pertama yang terbang di atas sungai, saya pun pulang ke rumah. Mega merah melukis langit barat, angin sore bertiup sepoi-sepoi dari arah persawahan penduduk. Kususuri pematang kali dengan rumputnya yang menghijau, suara adzan menggema dari arah langgar di kampungku, kampung yang bersebelahan dengan pasar.

“Ayo, segera ke langgar, Ali! masukkan dulu ayam-ayammu ke kandangnya, jangan sampai terlambat jama’ah magrib! Seru bapak, saat kakiku memasuki pelataran rumah.

Bapak memang selalu begitu, jika sore hari, saat mega di ufuk barat memerah, beliau pasti segera menyuruhku bergegas ke langgar. Tanpa banyak bicara, segera ku masukkan ayam-ayam peliharaanku ke kandangnya, kemudian kuambil sarung dan songkok, dan aku pun berlalu menuju langgar yang tidak jauh dari rumahku.

Sedang bapak sendiri telah siap berangkat ke langgar, beliau selalu menjadi orang pertama yang kakinya menginjak batas suci lantai langgar. Dengan surban yang melilit di lehernya, beliau mendahuluiku berangkat menjadi muadzin shalat magrib di langgar yang berada di tepian sungai kali kening di dekat dam pasar Bangilan.

Setelah mengumandangkan adzan, bapak biasanya melantunkan pujian sambil menunggu para jama’ah datang memenuhi langgar. Suara bapak yang tua menggema dari toa langgar yang ditaruh di atas wuwungan langgar.

Cilik-cilik diulang ngaji
mbesuk gedhe supaya ngerti
ngerti iku akeh syarate
aja eman karo bandhane

agama Islam agama suci
ora bisa ngaji mbesukke rugi
rugi dunyo ra dadi apa
rugi akhirat bakal cilaka

Sholatullah salamullah 'ala Thoha Rasulillah
Sholatullah salamullah 'ala yasin habibillah

Bisa dikatakan dari langgar itulah cerita kehidupanku selalu ku kenang. Langgar yang telah memberikan kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu, walau kini aku telah jauh namun rindu akan langgar dan kampungku tak pernah lekang oleh waktu. Langgar menjadi pengikat hati dan pusaka jiwa yang kubawa mengarungi kerasnya tanah rantau di kota metropolitan.

Dari langgar tua yang ada di tepian kali kening itu masa kanak-kanak dan remaja ku lalui dengan indah. Sebuah langgar panggung yang memberikan dekapan hangat seperti seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya. Langgar tua yang memberikan senyum kedamaian bagi kami anak-anak kampung di pinggiran kali kening.

Bersama teman-teman kami biasa mengaji turutan setelah bakda magrib. Bapakku sendiri yang mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyyah. Setelah mengaji biasanya kami mendapat cerita dari bapak tentang Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, Nabi Ibrahim, cerita konyol Abu Nawas, dan kisah-kisah sakti para Wali Songo di tanah Jawa.

Bapak memang pandai bercerita, hal ini pula yang menjadi daya tarik anak-anak senang dan betah mengaji di langgar. Cerita-cerita bapak selalu ditunggu anak-anak.

Sudah menjadi kebiasaan di kampungku, anak laki-laki biasanya kalau malam sesudah shalat isya’ tidak pulang ke rumah. Mereka akan bermain di halaman langgar, apalagi saat purnama lima belas, mereka akan bermain hingga cahaya bulan redup di ufuk barat. Langgar juga menjadi rumah kedua bagi anak-anak, mereka biasa tidur di langgar dan pulang sesudah shalat shubuh. Langgar memberikan kehangatan dan kenyamanan bagi anak-anak kampung kami.

“Ali, nanti setelah ngaji turutan, bapakmu mau cerita soal apa? ayo aku ikut ke langgar ya! sapa Arman, temanku saat kami bertemu untuk berangkat shalat magrib juga.

Sore itu aku menapaki kembali kenangan di tepian kali kening, setelah puluhan tahun lamanya kutinggalkan kampung halamanku. Langgar itu masih berdiri di tempatnya. Hanya saja kondisi langgar itu telah berubah, bersolek mewah menuruti kemajuan zaman. Langgar itu tampak kokoh dan indah dengan gemerlap warna cat dindingnya yang eksotis. Langgar panggung itu telah tiada, dan  direhap menjadi bangunan permanen yang lebih baik.

Hanya saja kemeriahan langgar seperti masa kecilku telah pudar. Tidak ada suara anak-anak mengaji turutan setelah magrib, tidak ada teriakan gaduh anak-anak yang bermain di halamannya sambil melihat bulan purnama, tidak ada anak-anak yang tidur di pelukan lantai kayu serambi langgar. Langgar itu kesepian, sendu dan tak bergairah.


1 komentar:

  1. Sama persis dengan kenanganku, mbah. Dan langgarnya pun sekarang juga sudah direhab. Yang dulunya langgar panggung, sekarang sudah direhab menjadi bangunan permanen. Kemeriahannya juga tak semeriah waktu aku masih anak-anak.

    Ah, jadi teringat masa-masa itu. Hikz...

    BalasHapus