google.com |
Langgar Tua
dan Kenangan Tentangnya
Oleh : Joyo
Juwoto
Kususuri
kelokan sepanjang kali kening yang membelah kotaku di suatu senja, airnya
jernih berkilap-kilap di terpa warna jingga senja. Pantulan gedung-gedung tua
yang berdiri di pinggiran sungai tampak kokoh dan megah, indah bagai lukisan
naturalistik yang sempurna. Di dam dekat pasar Bangilan, tepatnya di utara
pasar kambing, air kali kening dibendung oleh Dinas pengairan. Air itu dipakai
untuk keperluan pengairan sawah penduduk. Dibagi-bagi dengan sistem pintu air
menuju arah selatan, dan timur.
Air
Kali Kening ini ibarat darah bagi kehidupan masyarakat Bangilan, dari air itu
telah mengairi berbagai macam tanaman yang tumbuh disepanjang alirannya, dari
waktu ke waktu tiada henti-hentinya. Menghidupi penduduknya dari generasi ke
generasi. Belum lagi air kali kening
dipakai untuk keperluan mandi dan mencuci. Jika musim kemarau tiba, kali kening
memberikan hadiah berupa ikan, udang, dan juga kijing kali.
Di
dam itulah, dulu biasanya aku mandi, menghabiskan senja hingga burung-burung
berkejaran pulang ke sarangnya. Dan tepat saat cericit kelelawar pertama yang
terbang di atas sungai, saya pun pulang ke rumah. Mega merah melukis langit
barat, angin sore bertiup sepoi-sepoi dari arah persawahan penduduk. Kususuri
pematang kali dengan rumputnya yang menghijau, suara adzan menggema dari arah
langgar di kampungku, kampung yang bersebelahan dengan pasar.
“Ayo,
segera ke langgar, Ali! masukkan dulu ayam-ayammu ke kandangnya, jangan sampai
terlambat jama’ah magrib! Seru bapak, saat kakiku memasuki pelataran rumah.
Bapak
memang selalu begitu, jika sore hari, saat mega di ufuk barat memerah, beliau
pasti segera menyuruhku bergegas ke langgar. Tanpa banyak bicara, segera ku
masukkan ayam-ayam peliharaanku ke kandangnya, kemudian kuambil sarung dan
songkok, dan aku pun berlalu menuju langgar yang tidak jauh dari rumahku.
Sedang
bapak sendiri telah siap berangkat ke langgar, beliau selalu menjadi orang
pertama yang kakinya menginjak batas suci lantai langgar. Dengan surban yang
melilit di lehernya, beliau mendahuluiku berangkat menjadi muadzin shalat
magrib di langgar yang berada di tepian sungai kali kening di dekat dam pasar
Bangilan.
Setelah
mengumandangkan adzan, bapak biasanya melantunkan pujian sambil menunggu para
jama’ah datang memenuhi langgar. Suara bapak yang tua menggema dari toa langgar
yang ditaruh di atas wuwungan langgar.
Cilik-cilik diulang ngaji
mbesuk gedhe supaya ngerti
ngerti iku akeh syarate
aja eman karo bandhane
agama Islam agama suci
ora bisa ngaji mbesukke rugi
rugi dunyo ra dadi apa
rugi akhirat bakal cilaka
Sholatullah salamullah 'ala Thoha Rasulillah
Sholatullah salamullah 'ala yasin habibillah
Cilik-cilik diulang ngaji
mbesuk gedhe supaya ngerti
ngerti iku akeh syarate
aja eman karo bandhane
agama Islam agama suci
ora bisa ngaji mbesukke rugi
rugi dunyo ra dadi apa
rugi akhirat bakal cilaka
Sholatullah salamullah 'ala Thoha Rasulillah
Sholatullah salamullah 'ala yasin habibillah
Bisa
dikatakan dari langgar itulah cerita kehidupanku selalu ku kenang. Langgar yang
telah memberikan kenangan yang tak pernah lekang oleh waktu, walau kini aku
telah jauh namun rindu akan langgar dan kampungku tak pernah lekang oleh waktu.
Langgar menjadi pengikat hati dan pusaka jiwa yang kubawa mengarungi kerasnya
tanah rantau di kota metropolitan.
Dari
langgar tua yang ada di tepian kali kening itu masa kanak-kanak dan remaja
ku lalui dengan indah. Sebuah langgar panggung yang memberikan dekapan hangat
seperti seorang ibu yang mengasuh anak-anaknya. Langgar tua yang memberikan
senyum kedamaian bagi kami anak-anak kampung di pinggiran kali kening.
Bersama
teman-teman kami biasa mengaji turutan setelah bakda magrib. Bapakku sendiri
yang mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyyah. Setelah mengaji biasanya kami
mendapat cerita dari bapak tentang Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, Nabi Ibrahim, cerita
konyol Abu Nawas, dan kisah-kisah sakti para Wali Songo di tanah Jawa.
Bapak
memang pandai bercerita, hal ini pula yang menjadi daya tarik anak-anak senang
dan betah mengaji di langgar. Cerita-cerita bapak selalu ditunggu anak-anak.
Sudah
menjadi kebiasaan di kampungku, anak laki-laki biasanya kalau malam sesudah
shalat isya’ tidak pulang ke rumah. Mereka akan bermain di halaman langgar,
apalagi saat purnama lima belas, mereka akan bermain hingga cahaya bulan redup
di ufuk barat. Langgar juga menjadi rumah kedua bagi anak-anak, mereka biasa
tidur di langgar dan pulang sesudah shalat shubuh. Langgar memberikan
kehangatan dan kenyamanan bagi anak-anak kampung kami.
“Ali,
nanti setelah ngaji turutan, bapakmu mau cerita soal apa? ayo aku ikut ke
langgar ya! sapa Arman, temanku saat kami bertemu untuk berangkat shalat magrib
juga.
Sore
itu aku menapaki kembali kenangan di tepian kali kening, setelah puluhan tahun
lamanya kutinggalkan kampung halamanku. Langgar itu masih berdiri di tempatnya.
Hanya saja kondisi langgar itu telah berubah, bersolek mewah menuruti kemajuan
zaman. Langgar itu tampak kokoh dan indah dengan gemerlap warna cat dindingnya
yang eksotis. Langgar panggung itu telah tiada, dan direhap menjadi bangunan permanen yang lebih
baik.
Hanya
saja kemeriahan langgar seperti masa kecilku telah pudar. Tidak ada suara anak-anak
mengaji turutan setelah magrib, tidak ada teriakan gaduh anak-anak yang bermain
di halamannya sambil melihat bulan purnama, tidak ada anak-anak yang tidur di
pelukan lantai kayu serambi langgar. Langgar itu kesepian, sendu dan tak
bergairah.
Sama persis dengan kenanganku, mbah. Dan langgarnya pun sekarang juga sudah direhab. Yang dulunya langgar panggung, sekarang sudah direhab menjadi bangunan permanen. Kemeriahannya juga tak semeriah waktu aku masih anak-anak.
BalasHapusAh, jadi teringat masa-masa itu. Hikz...