Pesta
Lumpur Sawah
Oleh
: Joyo Juwoto
Setelah
beberapa bulan hujan turun membasahi bumi, tanah-tanah menjadi gembur, petani
di kampung-kampung mulai menggarap ladang dan sawah yang sekian waktu
menganggur, karena tanah kering kerontang dan mengeras. Tidak ada tumbuhan yang
bisa diharapkan dan dapat tumbuh subur di musim kemarau yang panas membara.
Namun
kali ini para petani sama sibuk menggarap sawah dan ladangnya, hujan telah
turun dari langit mengakhiri kemarau panjang dan menghidupkan tanah-tanah yang
mati. Air hujan menjadi berkah yang berlimpah bagi penduduk desa, khususnya
petani dengan sawah dan ladangnya yang siap digarap.
Rumput-rumput
mulai tumbuh berseri, daun-daun pepohonan mulai menghijau, pohon jati di
belakang rumah kakek pun daunnya mulai bersemi kembali, setelah beberapa waktu
beradaptasi dengan alam dengan cara menggugurkan diri, agar bisa bertahan di
musim kemarau yang panjang. Dahaga kemarau telah usai, dan kini musim tlah berganti.
Pagi-pagi sekali kakek membawa
sapi-sapinya ke sawah, hari itu kakek mulai membajak sawahnya setelah semalam
hujan lebat. Saya yang saat itu sedang di rumah kakek, membantu nenek memasak
di dapur menyiapkan sarapan pagi. Nanti jika sarapan telah siap, nenek yang
akan mengantarkannya ke sawah untuk sarapan pagi kakek di persawahan.
“Nek, nanti kalau ke
sawah Naila ikut ya? pintaku kepada nenek yang sibuk menggoreng tempe di dapur.
“Iya nanti kamu bawa
renteng panci sarapan untuk kakekmu yang di sawah” jawab nenek sambil
membolak-balikkan tempe yang ada di wajan agar tidak gosong. “Sekalian saja
nanti kita sarapan bersama di gubuk.”
“Hore...asyik, nanti
saya ajak mbak Agis sama mbak Windi sekalian, ya nek? kataku pada nenek. “ini
kan hari libur.” lanjutku.
Nenek mulai
mempersiapkan bekal sarapan pagi, membungkusi nasi dengan daun pisang,
menyiapkan air minum di botol pastik dan tentu tidak lupa membuat sambel trasi
dengan lauknya tempe goreng.
“Semuanya telah siap,
ayo kita ngirim sarapan untuk kakek di sawah! ajak nenek sambil memberesi
bungkusan yang akan dibawanya ke sawah.
Naila,
Agis, dan Windi segera bergegas membantu nenek membawa barang-barang bawaan.
Mereka bertiga sangat gembira, di pagi yang sejuk setelah semalam diguyur hujan,
matahari bersinar cukup cerah. Sinarnya berkilau kekuningan menyebar
menghangatkan suasana.
Sawah Kakek Naila tidak terlalu jauh,
dari rumah hanya dibatasi sungai kecil yang airnya cukup jernih. Namun jika
musim penghujan airnya sering keruh, karena sungai itu juga meluap dan menjadi
banjir cukup besar. Naila dan teman-temannya juga sering bermain di sungai pada
musim kemarau.
Setelah menyeberangi sungai dan menaiki
sebuah tanjakan, sampailah rombongan itu di sawah, di mana kakek Naila membajak
sawah. Di pinggir sawah terdapat sebuah gubuk kecil tempat istirahat dari
teriknya matahari. Di gubuk itulah mereka meletakkan barang bawaan untuk
sarapan pagi.
“Kakek, ayo sarapan dulu! teriak Naila
memanggil kakeknya yang sedang bergelut dengan lumpur bersama sapi-sapi membajak
tanah agar gembur. Tanah itu nantinya jika telah siap akan ditanami padi.
“Sebentar lagi, sekalian ini selesai,
biar nanti bisa pindah di kedokan sawah satunya” jawab Kakek Naila sambil terus
mengatur sapi-sapi yang menarik bajaknya.
“Ayo Nel, Gis, kita main lumpur dulu?
ajak Windi.
Kemudian Naila, Agis dan Windi ke
tengah sawah menginjak lumpur yang dalamnya sampai betis. Mereka mendekati
Kakek yang sedang naik di atas bajak sambil melantunkan aba-aba kepada
sapi-sapinya dengan cara ditembangkan.
“Hook..hyaa,
hyaa...jak, jak..her..her..howe” suara sang kakek melengking tinggi sambil
mengendalikan sapi agar jalannya teratur mengikuti pola yang dibuat oleh kakek.
“Kek,
Kek...kami ikut naik bajaknya! Tanpa menunggu jawaban dari kakeknya, mereka
bertiga segera naik bajak. Wah, seru ya Win! teriak Agis kegirangan.
Bajak
itu terus berjalan dengan pelan ditarik oleh sapi-sapi yang gemuk dan kuat, sekalipun
dinaiki tiga anak, sapi itu tidak terasa kepayahan. Sedang kakek turun dari
atas bajak, membiarkan cucunya naik dan bermain di lumpur sawah. Mereka bertiga
sangat gembira sekali di atas bajak. Melihat lumpur dan air tersibak tergerus gerigi bajak yang terbuat dari kayu jati.
“Gis,
lihat itu ada yuyu! tunjuk Naila melihat seekor yuyu berlari menghindari
garukan gerigi bajak yang meratakan lumpur-lumpur sawah. Setelah beberapa putar,
mereka pun disuruh Kakek untuk turun dan sarapan pagi terlebih dahulu.
“Ayo
turun, kita sarapan pagi dulu.” ajak Kakek sambil melangkah menuju gubuk di
mana nenek menunggu di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar