Pic. Ikal Hidayat Noor |
Kartini,
Perempuan Yang Menulis Hidupnya
Oleh
: Joyojuwoto
Kajian
Komunitas Kali Kening sore ini dengan tema ” Perempuan Yang Menulis Hidupnya”
tentu pas dengan momen hari Kartini. Saya merasa tema ini penting bahkan sangat
penting, melihat fenomena perayaan Kartini, di seluruh penjuru negeri, yang
semakin hari semakin jauh dari khittah tanggal 21 April, yaitu dalam rangka
memperingati hari Kartini.
Walaupun
tema yang diambil adalah secara umum mengenai permpuan yang menulis hidupnya,
karena ini masih di bulan Kartini, maka tidak ada salahnya jika saya mengupas
mengenai esensi perayaan hari Kartini. Hitung-hitung ini sebagai apresiasi dan
penghormatan saya kepada seluruh pahlawan kehidupan, baik yang terdahulu,
sekarang, dan yang akan datang.
Sejatinya
bangsa ini perlu bertanya kembali, tepatnya bermuhasabah nasional, apa dan
siapa itu Kartini. Apakah Kartini mengajak kita untuk berkonde dan berkebaya ?
Apakah Kartini menyeru untuk bersolak-solek dan berbedak ria ? saya kira semua
bisa menjawab dengan baik dan benar, bahwa sejatinya peringatan hari Kartini bukanlah
untuk ajang fashion show, atau ajang rias pengantin. Mohon maaf jika saya agak
keras menyindir perayaan-perayaan yang sedemikian.
Walaupun
sebenarnya masih banyak deretan nama pahlawan perempuan yang juga banyak
berjasa di negeri ini, namun saya memilih tidak akan mempermasalahkan, mengapa
Pahlawan emansipasi kaum perempuan adalah Kartini, kok bukan yang lain yang
lebih layak. Walau tentu tidak bisa dikatakan, Kartini tidak layak untuk
menyandang gelar itu. Saya hanya ingin mempertanyakan dan mempermasalahkan mengapa perayaan hari
emansipasi dan keseteraan kok dimaknai dengan tusuk konde, dan pakaian kebaya,
apa ini tidak aneh dan bias ?
Peninggalan
Kartini sangat jelas, tulisan-tulisannya yang kemudian disusun dan diterbitkan
menjadi sebuah buku yang berjudul “Door Duisternis to Light” yang oleh Armin
Pane kemudian diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Dari sini tentu
bisa kita maknai, bahwa sejatinya peringatan Kartini adalah peringatan terhadap
dunia literasi. Jadi jika sebuah lembaga pendidikan atau instansi pemerintahan
atau siapa saja yang akan memperingati hari Kartini seyogyanya menjadikan hal
ini sebagai acuan.
Ya,
Kartini dikenang karena surat-suratnya, Kartini diperingati karena usahanya,
menuliskan segala keresahannya terhadap adat yang membatasi gerak aktivitas
kaum perempuan, berbicara Kartini sejatinya adalah berbicara mengenai literasi
itu sendiri.
Jadi
kalau mau membuat lomba peringatan hari Kartini, ya buatlah lomba menulis
surat, lomba membuat cerpen, lomba nulis puisi, membuat opini dan lain-lain
yang berkaitan dengan dunia literasi. Kalau memang menulis masih dianggap
sesuatu yang susah kita perlu usaha, perlu berjuang, panggil itu, aktivis
literasi dari Kali Kening untuk memberikan pelatihan menulis.
Ada
Mas Ical yang jago ngegombal dan membual di jalan yang benar, akhirnya
terbitlah buku-buku puisi dan cerpennya yang cetar membahana. Ada mas Blind
yang selalu menulis di lembar-lembar dedaunan dan tanaman bunga yang tidak
pernah dipetiknya, ada juga Mas Senja yang jika melihat warna agak gelap agak
terang jadi tulisan, Ada Mbak Sun, yang tiap matanya memandang lakon hidup, selalu
jadi cerita yang menarik, dan tentu ada Mas Rohmat, maskotnya Kali Kening, ada
Mbak Linda Iconnya Kali Kening, kalau sudah berlabel maskot dan icon tak
usahlah bertanya macam-macam, ikuti saja, sami’na wa ato’na, beres jadi tulisan dah pokoknya.
Lha
setelah ada kegiatan pelatihan menulis, boleh tu disertakan juga lomba memasak bagi
ibu-ibu PKK, biar panitia tidak usah menyediakan snack untuk pelatihan, tinggal
nanti sekalian anggota Komunitas Kali Kening yang menjadi tutor menulis sekalian
menjadi juri lomba memasak. Bereskan, sekali dayung tiga pulau terlampaui.
Kembali
ke Kartini, bahwa sesungguhnya demi sejarah yang sebenar-benarnya ada baiknya
kita berani out off the box, mengubah cara berfikir secara nasional
mengenai ritual perayaan Kartini yang hanya sekedar ritual jasmani ditingkatkan
kelasnya, menuju ritual pikiran, dari sekedar ritual kebaya, konde dan tata
rias menjadi ritual literasi dengan seluruh anak turunnya. Karena sejatinya Kartini
tidak meninggalkan butik tradisional, namun Kartini meninggalkan ide dan
pikiran.
Selamat
berliterasi dan selamat Hari Kartini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar