Kartini
dan Gerakan Literasi Kaum Perempuan
Oleh
: Joyojuwoto
Bulan
April adalah Kartini, dan Kartini bisa bermakna beragam, mulai dari lomba
memasak, memakai sanggul, berkebaya, memakai jarit, dan berbagai hal yang
berkenaan dengan kaum perempuan Jawa. Semua perayaan-perayaan dalam rangka
memperingati hari Kartini yang saya sebutkan di depan tentu tidak ada salah,
namun tentu kita tidak ingin peringatan hari Kartini yang kita klaim sebagai
hari emansipasi kaum perempuan hanya berhenti pada tataran seremonial berdandan
dan berpakaian seperti Kartini semata.
Ada
makna lebih yang perlu kita kembangkan dari sekedar trend kartinian di negeri
ini dengan segala pernak-perniknya. Kita harus memandang Kartini utuh sebagai
pribadi wanita Jawa, sekaligus juga memandang Kartini sebagai seorang yang
mempunyai tekad dan semangat yang kuat untuk mengubah nasib perempuan. Saya tekankan
kembali, bahwa Kartini adalah sosok yang berani menentang ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan yang telah diwariskan secara turun temurun dalam tata
hirarki kehidupan masyarakat Jawa kala itu.
Jadi
jangan sampai kita memandang Kartini hanya dari sanggul dan kondenya, jangan
hanya melihat Kartini dari jarit dan kebaya yang dipakainya, jangan hanya
menilai Kartini dari sampul luarnya saja, kita harus mulai masuk ke dalam,
melihat jatidiri dan apa yang menjadi cita-cita besar dari Putri R. M. Adipati
Ario Sosroningrat, Bupati Jepara ini. Coba sekarang kita mulai membuka
cakrawala berfikir kita, mari dengan arif kembali membuka lembaran ke masa di
mana Kartini hidup.
Kartini
adalah seorang anak perempuan, di masa itu nasib kaum perempuan terkungkung oleh
adat, begitu pula dengan Kartini. Ia walaupun anak seorang Bupati, nasibnya
tidak begitu jauh dari perempuan-perempuan kebanyakan. Perempuan menjadi kanca
wingking, menjadi subordinasi bagi kaum laki-laki. Kartini sadar betul, ia
tidak memiliki apa-apa untuk melawan ketertindasan kaumnya. Namun Kartini harus
melawan arus besar dan membebaskan kaumnya dari perbudakan yang dibungkus atas
nama adat.
Menurut
apa yang ditulis olehPram, dalam “Panggil Aku Kartini Saja”, bahwa Kartini
tidak memiliki masa, tidak memiliki uang, Kartini hanya memiliki kepekaan dan
keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Iya, ketika
Kartini dalam ketidakberdayaan yang dilakukan adalah menulis, dan tulisannya
inilah yang akhirnya menjadi peluru yang menerjang tembok dinding penghalang
kemajuan kaumnya.
Sebagaimana
yang diucapkan oleh Sayyid Qutub bahwa, satu tulisan ibarat peluru yang mampu
menembus ribuan bahkan jutaan kepala. Inilah yang dilakukan oleh Kartini, ia
menulis dan menulis, sehingga tulisannya mampu melambungkan namanya dan berguna
bagi nasib kaumnya dan bagi masa depan bangsanya. Jadi jika kita tidak punya
senjata apapun untuk mengubah dunia, maka gunakanlah ujung pena untuk
mengubahnya.
Menulis
adalah tugas sosial, sebagaimana tugas-tugas lain dalam membentuk dan mengembangkan
peradaban umat manusia, sehingga tak ada kata berhenti untuk menulis. Jeda
boleh, berhenti jangan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Stephen Leigh, “You
may be able to take abreak from writing, but You won’t to be able to take a
break from being a writer.” (Anda boleh jeda dari menulis, namun jangan pernah
berfikir untuk berhenti sebagai penulis).
Kartini
banyak menulis karya sastra, puisi, prosa, dan surat-surat. Sayang tidak semua
karya Kartini terbukukan dengan baik, banyak karya tulis Kartini yang hilang.
Walau demikian masih ada pula yang terselamatkan hingga sampai kepada kita.
Dari karya-karya Kartini inilah yang akhirnya menjadikan ia sebagai icon
gerakan emansipasi kaum wanita. Bukan karena sanggul dan kondenya, bukan karena jarit dan
kebayanya.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Pram, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” Kartini menulis
dan mengabadi bersama karyanya “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Sehingga jika dilihat
dari kiprah Kartini dalam menulis, saya ingin memberikan julukan baru bagi
Kartini, yaitu sebagai Pahlawan Literasi Kaum Perempuan.
Menjadi perempuan adalah keniscayaan, dan
menulis adalah sebuah pilihan. Wahai Perempuan, mari memperingati hari Kartini dengan
semangat gerakan berliterasi. Salam Kartini, salam literasi untuk Indonesia
yang berperadaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar