Oleh
: Joyojuwoto
Udara
persawahan panas menyengat, burung-burung emprit beterbangan hinggap di tanaman
padi yang mulai menguning, sesekali bapakku menggerakkan ujung tali rafia dari
sebuah gubuk, tali diujung satunya dikaitkan pada sebuah boneka sawah untuk
menakut-nakuti emprit yang akan memakan padi-padi itu.
Pada
kedua tangan-tangan boneka sawah diganduli bekas kaleng susu yang dalamnya
diisi kerikil agar mengeluarkan suara glontang-glontang yang membuat
kawanan emprit lari terbirit-birit.
Sawah
bapakku tidak begitu luas, hanya beberapa kedok saja, ukuran kedok-annya
pun hanya sekitar empat atau lima meteran kali tujuh hingga delapan meter. Sawah
tadah hujan inilah yang menghidupi keluarga kami. Jika musim penghujan bapak
bisa menanam padi, sedangkan di musim lainnya biasanya ditanami jagung ataupun
ketela.
Selain
menggarap sawah, seperti penduduk di kampungku pada umumnya yang berprofesi
sebagai petani biasanya juga memiliki sapi-sapi peliharaan. Sapi-sapi ini bukan
dipelihara untuk diambil dagingnya namun dipelihara untuk dimanfaatkan
tenaganya, membantu para petani menggarap sawah dan ladang.
Bapakku
adalah seorang pekerja yang ulet, daya juangnya sebagai kepala rumah tangga
sangat luar biasa, tentu emakku pun orangnya demikian. Mereka berdua bahu
membahu mengerjakan sawah ladangnya sendiri untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari.
Saya
ingat, setiap musim bertanam jagung atau saat musim nandur pari, emak dan bapak
bersinergi dalam proyek ini. Saya kadang pun ikut membantu jika libur sekolah, jika
tidak saat libur, bapak dan emakku tidak akan mengijinkan. Walau bapak dan
emakku tidak pernah sekolah, namun beliau berdua menginginkan anak-anaknya
harus sekolah. Tidak boleh membolos dengan alasan apapun.
Untuk bertanam padi atau jagung, bapak mempersiapkan
semuanya mulai dari pra tanam, saat bertanam dan sampai pada masa pasca tanam. Lahan
sebelum ditanami akan dicangkuli, dibajak, diberi pupuk kandang hingga siap
masa tanam. Semuanya dilakukan sendiri oleh bapak dan emak. Maklum tanahnya
memang tidak begitu luas, jadi cukup dikerjakan berdua oleh mereka.
Dari
dulu sampai sekarang bapak tidak pernah menggunakan traktor untuk membajak
sawahnya, beliau membuat kerakal dan garu sendiri. Peralatan
pertanian itu dibuat dari kayu jati yang ditanam sendiri di belakang rumah. Bapak memang benar-benar
mandiri berdikari dalam hal bertani.
Jika
Bung Karno pernah bertemu dengan seorang petani di daerah Bandung selatan,
seorang yang disebutnya sebagai Marhaen, maka saya menyebut bapak saya sebagai
seorang marhaenis sejati. Walau bapak saya tidak pernah mengenal istilah yang
dibuat oleh Bung Karno ini, namun beliau adalah pengamal dari ajaran
marhaenisme. Mempunyai sarana produksi sendiri, mengerjakannya sendiri, dan
hasilnya dipakai untuk kepentingan bersama keluarga.
Ajaran
marhaenis adalah ajaran untuk berdikari dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi
kaum pemodal. Kaum marhaenis inilah yang menginspirasi, dan dijadikan simbol semangat
perlawanan terhadap kaum kapitalis. Ada yang mengatakan bahwa marhaenis ini
adalah sintesa dari ajaran marxisme yang telah disesuaikan dengan nilai-nilai
kemanusiaan masyarakat Nusantara. Bung Karno pun bilang demikian, bahwa
marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Apapun itu, semangat
berdikari inilah yang harus dikembangkan untuk menangkal segala bentuk
ketergantungan yang akan mengancam kemandirian nasional.
Semangat
marhaenis telah dijadikan oleh Bung Karno sebagai kerangka berfikir yang
akhirnya melahirkan satu konsep yang kita kenal dengan nama Pancasila. Sayang
penafsiran terhadap Pancasila ini kadang beragam, sesuainya dengan nafsu dan
keinginan dari para pemegang kekuasaan. Tentang penafsiran dan pemberlakuan Pancasila,
di waktu lain mungkin akan saya papar ditulis lain, agar tidak terlalu panjang
dan lepas dari judul yang saya buat di atas.
Terakhir
saya ingin menggarisbawahi bahwa, ajaran marhaenisme ini adalah ajaran yang
sesuai dengan cita-cita dan citarasa bangsa Indonesia, dan akan selalu sejalan
dengan denyut nadi peradaban bangsa yang kita cintai ini. Salam Marhaenisme
salam berdikari. Merdeka !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar