Oleh
: Joyojuwoto
Sebut
saja Kang Tejo, seorang santri di sebuah pondok pesantren yang ada di sebuah
desa di Kecamatan Bangilan. Lazimnya seorang santri Kang Tejo tinggal di sebuah
gothakan bersama santri-santri yang lainnya. Gothakan itu berukuran sekitar 6 x
7 M2, di dalamnya di huni sekitar 10 hingga 12 orang santri beserta almari dan
perlengkapan-perlengkapan santri lainnya.
Pesantren
itu adalah sebuah pesantren salaf yang tidak hanya mengajarkan teori ilmu pengetahuan
semata di bangku kelas, namun juga mempelajari dan menerapkan ilmu-ilmu muamalah
kehidupan secara langsung di dalam dunia pesantren.
Khazanah
dunia pesantren memang sangat kaya bahkan kadang unik dan tidak termuat dan
terwadahi di teori para ahli pendidikan manapun. Sering kita mendengar seorang
santri di pondok pesantren tidak pernah belajar, dia oleh Sang Kyai hanya
disuruh membersihkan lingkungan pondok saja, namun ketika pulang Allah
membukakan pintu ilmu hingga si santri tadi menjadi seorang yang alim di masyarakat.
Seperti
halnya Kang Tejo, dia di pondok menjadi khodamnya Ndalem Kyai. Membantu
keluarga Kyai membersihkan rumah, kamar mandi, pekarangan, membantu belanja,
mencuci pakaian kyai dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan rumah Sang
Kyai.
“Kang
Tejo, setelah menyapu halaman, kamar mandinya dikuras ya” perintah Kyai kepada
Tejo yang sedang menyapu di halaman rumah kyai.
“Enggih
Kyai” jawab Tejo penuh takdzim sambil membungkukkan badan
Karena
sering sibuk membantu keluarga ndalem, Tejo lebih banyak telat mengaji, dan
bahkan sering tidak ikut pengajian. Walaupun demikian, dengan penuh keikhlasan
Tejo tetap menjalankan tugasnya dengan baik sebagai seorang khodam.
“Kang
Tejo, sudah berapa bait nadzom Alfiyah yang kamu hafal ? tanya Kang Rohmad,
saat mereka sedang nderes hafalan dengan beberapa santri di serambi masjid.
“Ah..Kang
Rohmad kan tahu sendiri, hanya beberapa bait alfiyah yang saya hafal, itu pun
masih sering lupa” Jawab Kang Tejo, sambil membolak-balikkan kitab nadzom
alfiyahnya.
“Tapi
kamu beruntung Kang, bisa ngodam di ndalem Kyai, tidak setiap santri sanggup
dan bisa menjadi khodamnya Pak Kyai” sambung Kang Misbah yang juga ikut
nimbrung obrolan mereka berdua
“Iya
Kang, saya juga bersyukur bertahun-tahun bisa membantu Ndalem, menjadi khodam
Pak Kyai, walau waktu saya lebih banyak saya gunakan untuk keluarga ndalem
daripada untuk mengaji” Jawab Kang Tejo
Memang
ketika santri-santri lain sibuk menghafal, Kang Tejo sibuk membersihkan halaman
rumah Kyai, ketika teman-teman gothakannya memuthola’ah pelajaran, Kang Tejo
sibuk mencuci dan menguras kamar mandi. begitulah aktivitas yang dikerjakan
oleh Tejo selama bertahun-tahun nyantri.
Karena
sering telat dan bahkan tidak mengikuti pengajian, Tejo tentu tidak seperti teman-teman santri
lainnya yang rajin mengaji. Teman-temannya sudah faham dan hafal ratusan
bait-bait kitab Jurumiyah, Imrity, Alfiyah, dan kitab-kitab standart pesantren lainnya untuk bekal
membaca kitab gundul. Jangankan hafal, Tejo membaca kitab-kitab itu pun kadang
masih kesulitan untuk memahaminya.
***
Sejak
lulus dari MTs di kampungya Kauman, Kang Tejo Nyantri di sebuah pesantren di
Kota Bangilan. Telah hampir enam tahun Kang Tejo belajar di pesantren itu. Segala
suka duka di pesantren telah dirasakannya.
Setelah
mondok selama bertahun-tahun dan mengkhatamkan kitab-kitab kuning di pesantren
akhirnya para santri yang sampai di kelas akhir, diuji di depan Sang Kyai untuk
membaca kitab gundul. Ujian itu sebagai prasyarat kelulusan dari pesantren.
Sejak sore hari para santri sudah
mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Ujian itu akan dilaksanakan setelah
sholat Isya’ tepat. Bagaimanapun juga, para santri tetap berdebar-debar
menunggu ujian munaqosah itu. Karena setelah ujian munaqosah santri tinggal
menunggu keputusan Kyai, boleh pulang untuk berkhidmat di tengah masyarakat
atau tetap tinggal di pondok karena tidak lulus munaqosah dan harus tetap
nyantri kembali.
Kang
Tejo pun malam itu bersama diantara santri yang akan mengikuti munaqosah, hanya
saja dia bingung karena walau sudah nyantri bertahun-tahun dia merasa belum
mampu membaca kitab-kitab gundul itu. Hatinya deg-ded-kan, dia hanya
pasrah, pastinya nasibnya sudah jelas, tidak boleh pulang oleh Kyai dan tetap
menjadi khodam di pondok yang telah ia jalani selama bertahun-tahun.
“Kamu
juga ikut munaqosah Kang ? Tanya Rohmad sambil mendekap kitabnya di dada menuju
aula pondok.
“Iya
Kang, sudah enam tahun saya mondok, dan pastinya saya juga pengin seperti
kalian, boyong dari pondok. Cuma saya merasa ilmu saya belum cukup. Saya tidak
bisa apa-apa, tidak seperti Kang Rohmat yang sudah nglothok dengan
berbagai kitab kuning”
Santri-santri
yang akan ikut munaqosah sudah sama berangkat menuju aula, mereka memakai
sarung, berbaju koko dan memakai songkok hitam. Tidak ketinggalan di dada
mereka mendekap sebuah kitab kuning khas pesantren.
Setelah
sholat Isya’, para santri segera masuk ruangan munaqosah di aula pesantren.
Masing-masing santri segera duduk dengan takdzim di hadapan Pak Kyai. Sedang Kang
Tejo karena masih ada urusan di Ndalem, ia belum bisa bergabung dengan
santri-santri lainnya.
Satu
persatu santri maju sorogan kepada Pak Kyai untuk diuji membaca kitab gundul. Di sebuah
meja kecil di hadapan pak Kyai telah tersedia satu buah kitab tafsir karya Syekh
Imam Jalaluddin As Suyuti.
“Kamu
Rohmad, sini maju” tunjuk Pak Kyai kepada Rohmad yang duduk paling depan
Rohmad
pun maju, berhadap-hadapan dengan Pak Kyai, ia duduk bersila menghadapi kitab
tafsir yang ada di atas meja di depannya. Oleh Pak Kyai, Rohmat disuruh membuka
dan membaca dari isi kitab itu. Pun demikian dengan santri-santri lainnya
secara bergantian.
Ketika
ujian sedang berlangsung, tiba-tiba Kang Tejo membuka pintu aula dan masuk ke
ruangan munaqosah. Saat itu Pak Kyai sedang menguji salah satu santri. Karena
suasananya hening, mau tidak mau kedatangan Kang Tejo mengusik suasana ujian.
“Kamu
Tejo, sini ke depan !!!” suara Pak Kyai terdengar keras memanggil Kang Tejo
yang baru masuk.
“Kamu
tidak usah ikut ujian, sana boyong, sana pulang !!! bentak pak Kyai setelah
Kang Tejo mendekat. Dengan gerakan reflek pak Kyai memukul kepala Tejo dengan
kitab tafsir yang ada di atas meja. Sontak para santri lainnya terdiam. Suasana
menjadi hening. Tejo pun hanya diam. Kemudian dengan perlahan Tejo pun matur
kepada Pak Kyai “Matur suwun kyai, dalem telah diijinkan untuk boyong” tutur
Kang Tejo pelan, sambil mencium tangan Pak Kyai.
Dengan
perlahan Kang Tejo kemudian keluar ruangan munaqosah. Hatinya gembira, walau ia
belum ikut munaqasah Pak Kyai telah menyuruhnya pulang. Ibarat melewati
jembatan siratol mustaqim, Kang Tejo memasukinya dengan tanpa hisab.
Ibarat rejeki, Kang Tejo telah mendapatkan rejeki min haitsu la yahtasib.
Dan ilmu yang didapat dari Kang Tejo adalah ‘allamal insaana maa lam ya’lam.
***
Sayup-sayup dari Toa masjid di kampung Kauman,
terdengar pengajian, suaranya merdu, bacaan ayat al Qur’annya fasih,
penjelasannya pun gamblang dan mudah difahami oleh jamaah. Tidak heran jika
jama’ahnya membludak memenuhi masjid dan serambinya. Sepulang dari mondok Kang
Tejo diserahi mengajar wetonan di Masjid kampung. Kitab yang
diajarkannya adalah tafsir Jalalain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar