Lesehan Literasi -12
Ayah : Tragedi Cinta Ayah
Lesehan Literasi Kali Kening -12,
dilaksanakan di rumah Bakso Arebang Jl.
Raya Kablukan-Juron, Sabtu sore (25/02/2017). Peserta Lesehan Literasi sore itu
cukup banyak dan sangat antusias, ada Mas Rohmat, Mbak Linda, Mas Ical, Mas
Blind, Mas Adib, Mas Kafabih, Mas Faqih, Mbak Melfin, Mbak Tadzkirotul Ula, dan
terbaru ada Mas Mursalin dan Mas Zakky. Sangat luar biasa. Dipertemuan kali ini
Komunitas Kali Kening membahas Novel Ayah karya sastrawan besar dari Bumi
Laskar Pelangi, Andrea Hirata. Novel Ayah ini akan dibahas dan diulas oleh
salah satu dari Laskar Andreanis yang ada di kota Bangilan, yaitu Mbak Ayra
Izzana Riyanti.
Sedikit akan saya sampaikan sekilas
profil dari pentadarus di lesehan literasi, Mbak Ayra ini seorang novelis dan
juga cerpenis hebat yang dimiliki oleh Kali Kening, beliau telah menulis novel
dengan judul “Pesona Hati”, sayang novelnya ini raib entah kemana. Sekarang
Mbak Ayra sedang menyelesaikan novel terbarunya. Untuk untuk lika-liku yang
berkaitan dengan penulisan novel, atau mungkin tentang judulnya nanti bisa
konfirmasi langsung saja dengan beliaunya. Selain matang dalam menulis novel,
Mbak Ayra juga banyak menulis cerpen. Karya-karyanya sering diterbitkan di
media online dan koran, di radar Bojonegoro.
Dalam membahas Novel Andre Hirata “Ayah”,
Mbak Ayra mengambil sudut pandang tentang “Tragedi Cinta Sabari.” Sabari adalah
tokoh dalam novel yang digambarkan sebagai seorang lelaki kurus kering
kerontang, bergigi tupai, wajahnya berantakan, dan kupingnya lebar seperti
kuping wajan.
Sosok Sabari ini jatuh cinta dengan
seorang gadis yang bernama Marlena. Marlena adalah seorang gadis cantik yang
bermata cerah, seperti bulan purnama di tanggal dua belas. Namun cinta Sabari
kepada Marlena ini tidak terbalas. Marlena tidak pernah memiliki rasa cinta,
bahkan kepada setiap lelaki yang menjadi suaminya. Mungkin suatu berkah bagi
Sabari, akhirnya dia juga menjadi salah satu dari suami Marlena. Walau Sabari
tdak pernah bertemu dan serumah dengan Marlena kecuali hanya empat hari saja,
itu pun tidak berurutan.
Cinta Sabari kepada Marlena adalah
cinta yang sangat tulus luar biasa. Hal ini seperti yang dikatakan Sabari, pada
suatu ketika ia ditanya oleh Amiru (Zorro), anak Marlena yang entah dari bapak
yang siapa. “Apakah engkau mencintai Ibu Marlena ? Sabari menjawab : “Dalam
hidup ini semua terjadi tiga kali, pertama aku mencintai ibumu, kedua aku
mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu.” Deikianlah gambaran cinta dari
Sabari kepada Marlena.
Amiru
atau Zorro ini sangat dicintai oleh Sabari dengan sepenuh cinta pula,
separuh jiwanya ada pada Amiru. Dari mencintai Amiru dengan penuh cinta seperti
seorang Ayah inilah judul Novel Andrea Hirata diciptakan. Menurut Mas Ikal
Lurah Kali Kening, saat novel ayah ini terbit, orang-orang sama mengira bahwa
sosok Ayah di sini tentu menggambarkan ayah dari Ical, tokoh yang diciptakan
Andrea Hirata di npvel tetralogi Laskar Pelangi, namun setelah novel ini launcing
ternyata dugaan orang-orang itu salah besar.
Mbak Linda, yang sebelumnya belum
pernah membaca tulisan-tulisan dari Andrea Hirata ini mengomentari, seakan-akan
penulis sangat kejam memposisikan seorang perempuan dalam tokoh novelnya, Walau
demikian, kali ini mbak Linda merasa tertarik untuk membaca novel dari Andrea
Hirata.
Menurut Mbak Melfin, yang tersakiti
tidak hanya Sabari, tapi banyak lelaki lain yang juga dipermainkan oleh cinta Marlena,
namun hanya Sabari saja yang sabar dengan cintanya kepada Marlena. Mbak
Tadzkirotul Ula justru mempertanyakan tentang sosok Ayah di novel Andrea Hirata,
padahal Sabari kan bukan ayah kandung dari Zorro.
Sedang Mas Rohmat dalam tanggapannya
lebih banyak mengomentari tentang fenomenalnya tulisan Andrea Hirata, yang
akhirnya banyak menginspirasi para praktisi pendidikan di tanah air mengenai
model pendidikan yang dikembangkan dengan pendekatan multikulturalisme. Mas Rohmat
yang juga seorang Pramis ini mengungkapkan tentang kritik Andrea Hirata
terhadap sistem kapitalisme yang terjadi di daerah pertambangan timah itu.
Begitulah memang sebuah tulisan, baik
itu novel, cerpen, essai, fiksi maupun non fiksi harus dan tidak boleh tidak
menyuarakan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, karena dari situlah
nilai intrinsik maupun ekstrinsik sebuah tulisan dapat dijadikan pelajaran bagi
para pembacanya. Masalah benar dan salah, kiri atau kanan adalah sebuah
dinamika dan dialektika yang diserahkan sepenuhnya kepada pembaca, bagaimana
pembaca bisa menangkap dan menafsirkan sebuah bacaan.
Saya sendiri juga sangat tertarik
dengan perjalanan kisah dalam novel ini, walaupun saya belum pernah membacanya.
Andrea Hirata selalu bisa membuat pembaca tersedih mengharu biru, sekaligus
membuat pembaca terpingkal-pingkal dan terkosel-kosel silih berganti, dengan gaya
kepenulisannya. Demikian seperti yang diungkapkan oleh Mbak Ayra. Yang pasti
Andrea Hirata selalu bisa menggoreskan kesan eufoni ke dalam diri pembaca,
setidaknya kepada saya sendiri, seperti ketika nisan dari Sabari diberi
tulisan. “BIARKAN AKU MATI DALAM KEHARUMAN CINTA.” Salam Literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar