Saminisme
dan Perlawanan Terhadap Kapitalisme
Oleh
: Joyojuwoto
Saminisme
merujuk pada sebuah ajaran kebatinan yang dibawa oleh Samin Surosentiko anak
dari Bupati Sumoroto (sekarang Ponorogo), pada awal abad ke-20 yang menyebar di
daerah pedalaman Bojonegoro, Tuban, Blora, Rembang, Purwodadi, Pati, dan daerah di sekitarnya. Walau pendirinya
telah meninggal dunia di Sawah Lunto Sumatera Barat tahun 1914, pengaruh dari
ajaran Samin Surosentiko ini masih dapat dijumpai hingga sekarang.
Pengikut
ajaran Samin dikenal dengan sebutan Wong Sikep, atau Sedulur Sikep. Di Kabupaten Bojonegoro terdapat komunitas
masyarakat Samin yang berada di desa Margomulyo, di daerah Cepu juga ada yaitu
di desa Tanduran Kec. Kedungtuban, di Blora masyarakat Samin berada di desa Karang
Pace, Klopo Duwur, sedang lainnya menyebar di pegunungan Kendeng Utara dari
Rembang hingga Pati Jawa Tengah.
Ajaran
kebatinan Saminisme ini mengajarkan akan nilai kejujuran, kesabaran, berbuat
baik terhadap sesama, meninggalkan iri, drengki, srei dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan tingkah batin manusia yang berkenaan dengan Manunggaling
Kawula Gusti.
Walaupun
awalnya adalah sebuah aliran kebatinan, namun pada akhirnya gerakan Saminisme ini
pernah membuat gempar pemerintah kolonial Belanda, orang-orang Samin ini
melawan kolonial Belanda dengan cara melakukan pembangkangan sosial secara masif.
Namun pembangkangan yang dilakukan oleh pengikut Samin ini dengan cara yang sangat unik. Ia
membangkang namun seperti tidak membangkang, atau istilah lokalnya dikenal
sebagai perilaku yang nyamin.
Logika
dari nyamin ini menurut Gus Mus, dalam
khasanah pesantren dikenal dengan sebutan tauriyah. Tauriyah ini adalah
sebuah lafal yang bermakna ganda, menurut yang berbicara bermakna A, namun yang
ditangkap oleh si pendengar bisa bermakna B.
Bisa juga istilah nyamin ini disebut sebagai kata bersayab atau oleh
masyarakat Banjarmasin disebut sebagai mahalabiu.
Mahalabiu
ini menurut Ust. Salim A Fillah mirip overturned assumption. Apa yang
dimaksud komunikator, disengaja untuk berbeda dengan maksud yang ditangkap komunikan.
Rasulullah Saw pernah ternyata juga pernah melakukan hal ini, ketika beliau
ditanya oleh seorang nenek “Ya Rasulallah, doakan agar aku kelak masuk surga”
Rasulullah Saw, pun menjawab bahwa di surga tidak ada nenek-nenek.” Setelah si
nenek menangis karena mendengar jawaban Nabi tersebut, kemudian beliau
menerangkan bahwa seorang yang masuk surga besok akan menjadi muda kembali,
demikian yang dimaksud Rasulullah Saw berbeda dengan apa yang ditangkap oleh si
nenek tadi.
Metode
nyamin yang dipakai oleh pengikut Samin Surosentiko sedikit banyak pun
demikian, ketika mereka ditanya dari mana mereka akan menjawab dari utara,
ketika ditanya mau kemana, mereka akan menjawab akan ke selatan, demikian
seterusnya. Jawaban itu tentu tidak salah, tapi hal ini tentu membuat si
penanya akan bingung dengan sikap nyamin ini. Begitupula perlawanan yang
dilakukan oleh Wong Sikep dalam melawan penjajahan Belanda, mereka melawan
segala bentuk kebijakan Belanda seperti tidak mau membayar pajak, tidak mau
bekerja sama dengan Pemerintah, dan bahkan menebangi kayu hutan yang oleh
Belanda telah ditetapkan sebagai wilayah houtvesterijen yaitu membatasi
dan melarang akses rakyat ke dalam hutan dengan logika sederhana Samin, bahwa
hutan adalah milik bersama.
Masyarakat
Samin memiliki semboyan, “Lemah Padha Duwe, Banyu Padha Duwe, Kayu Padha
Duwe” kurang lebih maknanya adalah “Tanah milik bersama, air milik bersama,
pohon-pohon milik bersama.” dengan falsafah inilah pengikut Samin menolak
membayar pajak kepada pemerintah Belanda, menolak larangan menebang pohon di
hutan. Bagi masyarakat Samin tanah dan hutan adalah milik bersama yang tidak
boleh salah satu pihak menguasainya dan menghalangi pihak lain untuk
memanfaatkannya.
Dalam
ajaran Islam sendiri, terdapat sebuah hadits yang melarang individu atau
kelompok menguasai tiga hal yang berkenaan dengan hajat hidup orang
banyak. Dalam sebuah haditsnya
Rasulullah Saw, bersabda :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَ
وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya : “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara
yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu
Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan Ibn Abi Syaibah).
Sekilas
ajaran yang dibawa oleh Samin Surosentiko ini hampir mirip dengan ajaran Islam
dalam hal memandang pengelolaan sumber daya alam, dan juga hampir serupa dengan
sosialis-komunisme yang berusaha melawan hegemoni sistem kapitalisme, sehingga
para pengikut ajaran saminisme di era Orba tiarap karena harus berhadap-hadapan
dengan penguasa saat itu. Bahkan tidak jarang para pengikut dari ajaran samin
ditangkap dan diinterograsi oleh pihak pemerintah daerah karena ajaran
saminisme lebih dianggap berafiliasi pada ajaran sosialis-komunisme yang
menjadi musuh utama Orba.
Ciri dari kapitalisme adalah menguasai
sumber daya alam demi kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan
bersama. Hal ini yang oleh Samin Surosentiko ditentang dengan logika
nyleneh ala nyaminismenya. Mau tidak mau
perlawanan masif yan dibangun oleh Samin mendapat reaksi keras dari Belanda,
sehingga Samin Surosentiko dengan beberapa anak buahnya ditangkap oleh Belanda
kemudian diasingkan ke Sawah Lunto, hingga meninggal dunia di sana.
Gerakan pembangkangan yang dilakukan
oleh para petani dari pedalaman Blora ini tidak serta merta padam dengan
ditangkapnya Samin Surosentiko, ajaran saminisme masih terus ada dan lestari
bahkan hingga sekarang. Walau tentu pembangkangan itu sudah tidak lagi
dilakukan di era pemerintahan yang sekarang. Namun kearifan dan nilai-nilai
lokal ajaran samin masih bisa kita jumpai di tengah-tengah masyarakat Samin
yang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar