Oleh
: Joyojuwoto
Pada
zaman dahulu, saat Kadipaten Tuban dipimpin oleh Tumenggung Wilatikta, Islam
telah masuk dan mulai menyebar di bumi Tuban, baik di kalangan para pejabat
maupun rakyat jelata. Bahkan putra dari
Adipati Tuban yang bernama Raden Syahid kelak menjadi salah satu dari dewan Walisongo, penyebar agama Islam di
Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Hal ini tentu tidak lepas dari peran para
wali yang menyebarkan Islam dengan cara damai dan penuh hikmah, sehingga rakyat
dengan suka rela berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam.
Adalah
Sunan Ampel yang berjasa dan memiliki andil ikut serta membimbing rakyat
sehingga mereka bisa mendalami ajaran Islam. Tidak aneh memang, jika Sunan
Ampel memiliki perhatian besar di Kadipaten Tuban, karena ayahnya yaitu Syekh
Asmaraqandi dimakamkan di desa Gesikharjo, Palang Tuban. Sunan Ampel kemudian juga
menugaskan anaknya, yaitu Sunan Bonang untuk berdakwah dan mendirikan pesantren
di Kadipaten Tuban.
Rakyat
Tuban semakin hari semakin banyak yang masuk agama dari negeri Arab itu, karena
Tumenggung Wilatikta, Adipati Tuban sendiri juga telah memeluk agama Islam. Lazimnya
masyarakat pemeluk agama Islam, mereka membutuhkan tempat untuk beribadah, dan
juga untuk keperluan-keperluan lain yang menyangkut syi’ar ajaran Islam. Maka atas restu dari Adipati Tuban,
masyarakat memiliki gagasan untuk mendirikan sebuah Masjid.
Di
pisowanan agung kadipaten, Adipati Wilatikto menerima utusan atas nama
wakil rakyat untuk menyampaikan gagasan dan aspirasi masyarakat tentang rencana
pembangunan masjid.
Selanjutnya
Adipati Wilatikto memerintahkan salah satu punggawa Kadipaten Tuban yang
bernama Nolo Derma untuk mencari kayu Jati yang bagus sebagai bahan untuk
membuat masjid di Tuban.
“Kakang
Nala Dermo, saya tugaskan engkau untuk mencari kayu Jati di wewengkon
Kadipaten Tuban, carilah kayu jati yang bagus, agar Masjid yang akan kita
bangun nanti tidak mengecewakan” Titah sang Adipati kepada Nala Dermo yang
duduk di depannya.
“Baiklah
Kanjeng Adipati, saya akan berangkat untuk mencari kayu-kayu yang akan dipakai
untuk pembuatan masjid, mungkin di tlatah Kadipaten Tuban bagian selatan sana
banyak kayu jati yang baik. Karena hutan-hutan di wilayah sana masih sangat
lebat.
“Iya
Kakang Dermo, berangkatlah dan bawa prajurit kadipaten secukupnya untuk
membantu tugasmu nanti” lanjut Sang Adipati yang duduk di dampar kencana
kadipaten.
“Ngesto’aken
dawuh Kanjeng Adipati, selain membawa prajurit, nanti saya juga akan
mengajak ikut serta istri saya, Subandiyah, karena mungkin tugas ini akan
memakan waktu yang cukup lama” Jawab Nala Dermo.
Setelah
dari pisowanan, Nala Dermo segera bergegas pulang untuk mengabari istrinya,
tentang tugas yang akan diembannya. Sesampai di rumah Nala Dermo segera mempersiapkan perbekalan serta
perlengkapan untuk pergi mencari kayu jati.
“Istriku
Subandiyah, persiapkan dirimu, kita akan pergi menempuh perjalanan ke wilayah
barat Kadipaten Tuban.”
“Ada
perlu apa Kakang pergi ke sana, bukankah di sana hanya hutan-hutan belantara”
Tanya Subandiyah kepada suaminya.
“Tadi di pisowanan, Kanjeng Adipati
memerintahkan saya untuk mencari kayu jati, guna pembangunan masjid. Saya akan
mengajakmu ikut serta menemaniku” Jawab Nala Dermo kepada istrinya.
Nyi
Subandiyah pun segera mempersiapkan diri, mereka berdua bersama beberapa
prajurit kadipaten akan segera berangkat melaksanakan titah dari Adipati
Wilatikta.
Setelah
dirasa cukup, berangkatlah rombongan yang dipimpin oleh Nala Dermo pergi ke
arah barat daya. Rombongan itu melewati Merakurak, menerjang hutan Koro,
mendaki bukit-bukit kapur di wilayah Montong, hingga sampai di perbukitan di
Singgahan. Namun Nala Dermo belum menemukan kayu jati yang bagus dan cocok
untuk bahan membuat masjid.
Rombongan
itu kemudian berhenti sejenak di sebuah lembah yang memiliki mata air yang
sangat jernih. Karena haus dan lapar mereka minum dari mata air di bawah pohon
besar itu sambil membuka perbekalan.
“Kita
istrirahat di sini dulu Nyai ! Kata Nala Dermo kepada istrinya, “Adi Nala
Kerto, Adi Nala Yuda, perintahkan para prajurit untuk istirahat”, lanjutnya
sambil memberi perintah kepada kedua pengawalnya untuk beristirahat.
“Iya
Kakang, ayo prajurit kita istirahat dulu, yang haus silahkan minum dulu, di
bawah pohon besar itu ada mata air” teriak Nala Yuda memberikan komando.
Di
lembah itu banyak sekali pohon-pohon besar yang menjulang tinggi, walau hari
sudah siang, namun udaranya sangat sejuk. Burung-burung bernyanyi di
dahan-dahannya yang kokoh, suara binatang hutan bersuara bergantian, monyet
liar berloncatan ke sana kemari melihat ada serombongan manusia yang memasuki
wilayahnya.
“Pohon-pohon
di sini sangat besar dan tinggi Kakang Dermo, namun sayang itu bukan pohon jati
yang kita cari” kata Nala Kerto, sambil duduk di sebuah batu di samping Nala
Dermo.
“Iya
Adi Kerto, sedang pohon jati yang kita cari tidak ada, kita akan melanjutkan
perjalanan terus menembus hutan ini hingga sampai di wilayah Bangilan. Kabarnya
di sana banyak kayu jati bagus”
Setelah
menikmati perbekalan dan meneguk jernihnya mata air di lembah itu, akhirnya
rombongan Nala Dermo melanjutkan perjalanan ke arah barat daya. Rombongan itu
terus berjalan hingga sampai di sebuah perkampungan kecil dusun Bangilan. Di
tengah perjalanan Nala Dermo bertanya kepada penduduk mengenai pohon-pohon jati
yang ia cari.
Atas
saran dari salah satu penduduk yang ditemuinya, mereka disuruh terus
melanjutkan perjalanan ke arah barat daya. Di sana banyak pohon jati yang
tinggi-tinggi dan besar. Pohon itu
sangat bagus kata salah satu penduduk tadi. Rombongan pun melanjutkan
perjalanan hingga hari menjelang sore.
“Hutan
di sini sangat lebat Kakang, pohon jatinya juga sangat banyak, mungkin di
sinilah tempatnya kayu jati yang kita cari” Kata Nyi Subandiyah kepada
suaminya.
“Iya
Nyai, firasatku pun mengatakan demikian, lihat pohon-pohon jati itu, sangat
lurus, tinggi menjulang langit dan besar” Jawab Nala Dermo.
“Kakang
Nala Dermo, hutan ini pohon jatinya sangat banyak, mungkin ini yang kita cari”
teriak Nala Yuda dari belakang rombongan.
“Iya
Adi, kita berhenti di sini, hari sudah menjelang sore, suruh para prajurit
untuk membuat kemah, dan kita istirahat dulu. Besok baru akan kita mulai
penebangan” jawab Nala Dermo.
Senja
mulai gelap, matahari perlahan memasuki peraduannya, angin sore bertiup membawa
aroma bunga-bunga liar dari pohon-pohon yang ada di hutan. Suara ayam hutan terdengar
berkokok di kejauhan, burung-burung pun mulai pulang ke sarangnya.
Pagi-pagi
sekali Nala Dermo beserta rombongannya telah bangun, mereka segera membagi
tugas, ada yang bagian memasak untuk sarapan pagi dan adapula yang langsung
ikut Nala Kerto dan Nala Yuda untuk segera mencari dan menebang pohon jati yang
akan dijadikan bahan bangunan masjid.
Karena
pada saat itu musim kemarau, prajurit yang kebagian masak kesulitan mencari air,
dengan terpaksa mereka kemudian menggali tanah untuk dijadikan sumur. Untung
saja di dekat mereka berkemah, tanah yang digali mengeluarkan sumber air. Oleh
masyarakat setempat sumur itu dinamakan sumur Kijing, dan sumur kuno itu masih
ada hingga sekarang.
Para
rajurit yang lainnya segera bergerak di bawah komando Nala Kerto dan Nala Yuda,
dengan cekatan mereka menebang sebuah pohon jati yang paling besar diantara
pohon yang lainnya. Namun tiba-tiba ada kejadian aneh yang membuat para
prajurit ketakutan dan tidak berani untuk menebang pohon itu. Mereka berteriak ketakutan : "Akeh kala..akeh kala... teriak para prajuri yang akan menebang pohon jati.
“Kakang
Dermo, lihatlah Kakang, para prajurit tidak ada yang berani mendekati pohon itu,
banyak binatang yang mengerubunginya” teriak Nala Yuda kepada Nala Dermo.
“Iya
Kakang, seakan-akan binatang-binatang Kala itu melindungi pohon yang akan kita
tebang” sambung Nala Kerto.
Nala
Dermo yang berada tidak jauh dari lokasi penebangan segera mendekat, dia
melihat banyak binatang Kala yang mengeruminu pohon jati itu, ada Kala Jengking,
Kala Umeng, Kala Ketonggeng, Kala Klabang, Kala Seremende, dan binatang Kala
lainnya.
Melihat
hal itu, kemudian Nala Dermo mengheningkan cipta memohon bantuan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa. Dengan bersedakep penuh khusyu’ Nala Dermo berkomat-kamit
membaca do’a mantra.
“A’uudzuu
bi Kalimatillahittammati Min Syarri Maa Khalaq, Salaamun ‘alaa Nuuhin Fil ‘Aalamiin”
Setelah
Ki Nala Dermo selesai membaca do’a, tiba-tiba binatang-binatang yang mengerumuni
pohon jati yang akan ditebang oleh para prajurit musnah seketika tanpa bekas.
Tuhan telah mengabulkan permintaan dari Nala Dermo.
“Adi
Nala Kerto, Adi Nala Yuda, sebagai pengingat-ingat untuk anak cucu kita kelak,
ketika kita akan menebang pohon jati ini, kemudian dihalang-halangi oleh binatang-bintang
Kala, maka besok kalau tempat ini ramai dihuni oleh penduduk, maka aku namakan menjadi
Klakeh, dari kata Kalane akeh.
Demikian
legenda asal-usul nama desa Klakeh di Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban.
Sip lanjutkan
BalasHapus