Berguru
Menulis Di Sahabat Pena Nusantara
Oleh
: Joyojuwoto*
Menulis
menjadi momok menakutkan tidak hanya bagi kalangan awam, bahkan akademisi pun
tidak semuanya mampu menulis. Sebenarnya menulis itu mudah, tidak ubahnya
ketrampilan lain seperti berlatih berjalan, bersepeda, menyopir, berenang, yang
dapat dikuasai oleh siapapun juga, asal mau dan giat berlatih, dipastikan dia
akan bisa melakukannya, begitu juga dengan ketrampilan menulis.
Keterlibatan
saya dalam dunia tulis menulis diawali sebuah interaksi sosial di Facebook
dengan seorang Ust. Dari Lamongan, M. Husnaini. Waktu itu beliau menulis di
wall facebooknya sekitar tahun 2015 mengenai siapa yang akan ikut bergabung di
group whatshap literasi. Karena waktu itu saya punya keinginan untuk menulis
hingga bisa menjadi sebuah buku, maka saya pun menyatakan ikut bergabung.
Di
group whatshap yang diberi nama Sahabat Pena Nusantara (SPN) itulah akhirnya
saya mulai berguru menulis dengan para pakar dunia tulis menulis, seperti Ust. M.
Husnaini sendiri, Prof. Muhammad Chirzin, Pak Didi Junaedi, Pak Much. Khoiri,
Pak Hernowo Hasyim, Pak Dr. Ngainun Naim, Pak Dr. M. Taufiqi, Pak KH. Dawam
Sholeh, Pak KH. Masruri Abd Muchit dan sederet tokoh hebat yang ada di group
SPN.
Saat
awal masuk di group Sahabat Pena Nusantara, saya sudah sering menulis, Cuma bagaimana
membuat tulisan menjadi sebuah buku menjadi hal yang tidak mudah bagi saya, seperti
seorang yang kebingungan di dalam kegelapan malam, tak tahu arah dan mencari
jalan yang terang. Obor SPN menyala melalui keteladanan guru-guru hebat yang
saya sebutkan di atas.
Dari
Pak Husnaini saya belajar kedisiplinan dan ketegasan beliau dalam menulis
bulanan, dari Prof. Muhammad Chirzin saya belajar, bagaimana beliau membuat
buku yang bermanfaat dengan bahan dan setting Al Qur’an, dari dari Pak Didi
saya belajar keistiqamahan beliau dalam menulis setiap hari dan mempostingnya
di laman group, dari pak Much Khoiri saya belajar mencari dan menciptakan
diksi-diksi yang kuat dan menggigit untuk sebuah tulisan, dari Hernowo saya
belajar bagaimana membaca, mengikat makna dalam membaca, ngemil baca, dan
hal-hal lain yang berkaitan dalam berliterasi, dari Pak Dr. Ngainun saya
belajar gigihnya beliau dalam menciptakan buku-buku akademisi kampus, dari pak
Dr. Taufiqi saya belajar hypnoteaching dan hypnosellingnya, dari Kyai Dawam
saya belajar tentang puisi-puisi yang tidak hanya sekedar bunga-bunga kata
tanpa makna, namun puisi bisa menjadi media dakwah yag efektif, dari Kyai
Masruri pemgasuh Pondok Darul Istiqomah saya belajar bahwa menulis adalah salah
satu medan jihad, dan perintah agama. Dari beliau-beliau inilah semangat
menulis saya ikut berkobar-kobar.
Selang
enam bulan bergabung di SPN, akhirnya terbitlah buku Antologi pertama SPN,
judulnya Quantum Ramadhan, betapa senang dan bahagianya saya bisa ikut menjadi
salah satu penulis di buku itu. Ini adalah buku saya pertama yang terbit
bersama SPN, ibarat anak buku itu adalah
anak pertama dalam kehidupan saya, bisa dibayangkan sendiri bagaimana perasaan
saya.
Saya
selalu ingat apa yang sering dipesankan oleh Pak Husnaini, jika telah terbit
buku jangan terlalu terlena, senang boleh, bangga boleh, tapi sekedarnya saja,
terbitnya buku pertama harus diikuti dengan buku kedua, ketiga, dan
selanjutnya. Faidzaa Faraghta Fanshab. Aplikasi dari firman Allah
tersebut dalam dunia literasi adalah jika selesai satu buku, maka segera
menyelesaikan buku yang lainnya.
Setelah
buku Quantum Ramadhan terbit, saya berniat harus membuat buku, dengan segala
upaya dan daya akhirnya di tahun 2016 saya berhasil menerbitkan dua buku solo.
Tidak sia-sia saya berguru di SPN, walau SPN bukanlah tempat formal, bukan pula
kelas menulis premium, namun nyatanya dengan keteladanan dan juga kewajiban
untuk terus menulis akhirnya membuahkan hasil.
Saya
sangat berterima kasih kepada guru-guru dan sahabat-sahabat di SPN, karena
telah memprofokasi dan membakar semangat seluruh anggotanya untuk terus menulis
dan berkarya. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh sastrawan kondang dari
Blora, Pramoedya Ananta Toer, bahwa : “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Selamat
menulis, selamat berkarya dan selamat mengabadi bersama Sahabat Pena Nusantara.
Salam Literasi.
*Joyojuwoto,
Santri Pondok Pesantren ASSALAM Bangilan, Lahir di Bangilan Tuban. Penulis
aktif di www.4bangilan.blogspot.com.
Saat ini telah menulis dua buku solo, Jejak Sang Rasul (Dreamedia: 2016);
Secercah Cahaya Hikmah (Pustaka Ilalang: 2016) dan menulis beebrapa buku
antologi. Silaturrahin bisa via WA 085258611993 atau email
joyojuwoto@gmail.com.
Menginsspirasi Pak Joyojuwoto ... Saya selalu membaca tulisan inspirasi setiap postingan terbaru Bapak
BalasHapusTerima kasih, mbak Eka... Succes selalu:)
BalasHapusMenarik sekali bahasannya tentang komunitas Sahabat Pena Nusantara pak, bagaimana caranya kalau ingin bergabung dengan komunitas tersebut?
BalasHapusdi Fb ada fans pagenya mas, coba njenengan kunjungi
Hapus