Membaca Pram : Hidup, Karya,
dan Penjara
Oleh : Joyojuwoto
Idealnya untuk membaca seorang
Pram (Pramoedya Ananta Toer), hendaknya kita harus menyelami huruf per huruf,
kata per kata dan kalimat per kalimat dari samudera karya-karya beliau yang
sangat dalam dan luas. Ada banyak karya yang ditulis oleh seorang sastrawan
ternama dari kota Blora ini. Ada puluhan judul tulisan yang ia hasilkan, entah
itu yang sudah terbit atau yang hilang karena sikap vandalisme dari
kelompok-kelompok tertentu yang tidak menyukainya.
Tapi begitulah seorang Pram, ia
ibarat samudera luas yang tak terbatas. Gelegak dan gelombang jiwanya
meletup-letup, menebar angin badai dan amukan topan yang menerjang tatanan
karang-karang kesombongan dan kepongahan kaum feodalistik. Dengan kalam
dan qalam-nya, pram mampu membangkitkan daya energi kata yang maha
dahsyat, untuk membela kemanusiaan dan keadilan dengan suara yang lantang, dan
ini hanya bisa dilakukan oleh seorang lelaki pemberani.
Pram menurut saya adalah sebuah
fenomena, dalam sejarah panjang bangsa ini, belum tentu kan lahir Pram-Pram
yang lain. Jika dalam urusan agama, Rasulullah Saw bersabda :
إنّ
اللهَ يبعثُ لهذهِ الأمّةِ على رأسِ كلِّ مِائَةِ سنةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لها دينَها
Artinya : Sesungguhnya
Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbarui
urusan agama mereka pada setiap akhir seratus tahun. (HR. Abu Dawud, No. 4291)
Ketika Pram masih di penjara di
pulau Buru Prof. Teeuw pernah menulis “kendati apa pun dikatakan mengenainya,
Pramoedya tetap merupakan penulis yang hanya satu lahir dalam satu generasi,
bahkan satu dalam satu abad.”
Maka jika boleh saya ibaratkan,
atau saya kiaskan sebagaimana hadits di atas, Pram dengan segala kekurangan dan
kelebihannya adalah seorang tokoh pendobrak dan pembaharu dalam term dunia
sastra Indonesia. Seperti yang sering saya tulis, bahwa tulisan itu seharusnya
tidak hanya sekedar bunga-bunga kata tanpa makna, namun lebih dari itu tulisan
harus memberikan ruang bagi peri-kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Atau lebih tepatnya Pram selalu memegang teguh kredo sastra sebagai realisme
sosial.
Keterpihakan karya Pram
terhadap isu-isu sosial inilah yang menurut saya menjaga ruh dan nilai dari
karya-karya Pram untuk terus hidup dan selalu hadir di setiap tikungan sejarah.
Pram menurut saya tidak hanya sekedar penulis, tidak hanya sekedar sastrawan,
namun melaui karya-karyanya Pram adalah sosok pejuang kemanusiaan. Ilmuwan dan
kritikus sastra Indonesia A. Teeuw menulis “Pramoedya Ananta Toer-De Veerbelding
Van Indonesie, lebih lanjut A. Teeuw mengatakan bahwa “... bagi Pramodya Ananta
Toer menulis adalah berjuang untuk kemanusiaan.
Jika kita membaca Pram, akan
kita dapati Pram adalah sosok yang penuh idealisme, keras kepala, dan tidak
pernah mau menundukkan kepala di hadapan siapapun juga. Walau diancam penjara,
dipopor gagang bedil, Pram tak pernah takut, Pram tak pernah ciut nyali. Pram
adalah lelaki pemberani, itu pula yang sering ia katakan “Kalau mati, dengan
berani; kalau hidup dengan berani Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya
setiap bangsa asing bisa jajah kita.”
Pram itu ibarat api yang
berkobar-kobar, api yang melawan segala bentuk kebekuan zaman, api yang akan
membakar dan menghanguskan tembok-tembok feodalistik yang mengekang zaman. Pram
sama sekali tidak ada kata kompromi, dalam kamus hidupnya hanya ada satu kata
“Lawan segala kesewenang-wenangan.” Jadi tidak mengherankan jika hidupnya
dipenuhi dengan drama di balik penjara.
Hampir separoh hidupnya, Pram
ada di balik penjara mulai penjara zaman kolonial hingga penjara saat matahari
kemerdekaan terbit dari ufuk cakrawala bumi Nusantara. Ya mungkin begitulah
garis takdir yang dipilihkan Tuhan untuknya.
Penjara mungkin mampu mengurung
dan membatasi gerak fisik manusia, namun penjara tidak pernah mampu membatasi
gerak batin dan gerak jiwa seseorang. Lihatlah betapa banyak karya-karya besar
dan monumental yang lahir dari balik jeruji penjara. Sayyid Qutub menulis
tafsir Fi Dzilalil Qur’an saat beliau di penjara, Buya Hamka menghasilkan karua
tafsir Al Azhar juga saat dipenjara oleh rezim penguasa, dan Pram pun
melahirkan Tetralogi Pulau Buru pun saat ia di asingkan dan di penjara.
Penjara bagi sebagian orang
adalah tempat yang sangat mengerikan, keterasingan dan isolasi sosial yang
menakutkan. Bahkan penjara adalah label yang negatif bagi pandangan masyarakat
kita. Padahal banyak orang yang dipenjara bukan karena perbuatan buruknya,
bukan karena kejahatannya, justru mereka dipenjara karena keteguhannya dalam
beridealisme. Seperti tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas.
Sebagaimana manusia lumrah,
Pram juga tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Jika kita ingin membaca
Pram secara utuh memang idealnya harus kita khatamkan seluruh karya-karya Pram.
Itu pun belum menjamin mampu membaca secara objektif seorang Pram. Oleh karena
itu sebagaimana yang sering Pram katakan “Seorang terpelajar harus juga berlaku
adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Agar ada keseimbangan dan
keadilan, saya juga akan mengupas sedikit tentang sisi lain Pram, selain
sebagai seorang yang memegang teguh aliran sastra realisme sosial. Sebagai
seorang yang dituduh menganut paham kiri (baca komunis), Pram memang seakan
memiliki perasaan yang sentimentil terhadap sesuatu yang berbau Islam. Pram seperti
sangat membenci dan anti terhadap simbol-simbol santri.
Dalam beberapa karyanya yang
sempat saya baca, ada aroma permusuhan yang memang diciptakan oleh Pram kepada
kaum santri. Sebagai seorang yang matang dalam dunia sastra, ia memang tidak
secara frontal berkonfrontasi dengan simbol ajaran Islam. Ada beberapa hal yang
kadang seakan-akan nuansa kebencian itu ia tuliskan. Seperti dalam kisah Gadis
pantai, Midah, kemudian juga dalam karya Arus Balik.
Jika sekilas kita memandangnya
mungkin pandangan bahwa Pram anti Islam itu ada, namun jika kita berfikir jernih
maka bisa dikatakan Pram hanya benci kepada para pemeluk agama Islam yang tidak
mengaplikasikan Islam dengan sebenar-benarnya, bukan pada ajaran Islamnya.
Menurut saya, semua saya serahkan kepada pembaca, bagaimana ia menafsirinya.
Karena bagaimanapun pembaca berhak untuk itu semua.
Sebagai manusia dengan
idealismenya saya kira lumrah kita berpihak pada apa dan siapa. Tidak ada kata
netral dalam kehidupan, diakui atau tidak pasti kita punya ambisi dan keberpihakan,
dan itu sah dan lumrah, yang terpenting kita bisa bertanggungjawab atas pilihan
kita masing-masing. Bertanggungjawab kepada nilai kemanusiaan maupun nilai
ketuhanan.
Sekian terima kasih.
Disampaikan dalam Ngaji
Literasi Komunitas Kali Kening #11
Banjarworo, 12/02/17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar