Syahadatnya
Saridin
Oleh
: Joyo Juwoto
Saridin
atau lebih dikenal sebagai Syekh Jangkung adalah murid dari Kanjeng Sunan Kudus
dari Pati Jawa Tengah, Saridin tidak seperti santri-santri Sunan Kudus yang
lainnya, ia termasuk orang yang memiliki keyakinan yang kuat, pemberani dan tanpa
tedeng aling-aling dalam menjalankan keyakinannya, bahkan untuk hal-hal
yang kelihatannya membahayakan sekalipun.
Ketika
untuk pertama kalinya Sunan Kudus memperkenalkan ajaran Islam kepada para
santri, Sunan Kudus mengajari dan menuntun mereka mengucapkan dua kalimat
syahadat. Saridin termasuk diantara orang yang baru mengikrarkan syahadat
tauhid dan syahadat rasul di hadapan Sunan Kudus.
Tidak
seperti santri-santri lain yang mengikuti ucapan kalimat syahadat yang
diajarkan oleh Sunan Kudus, ketika giliran Saridin disuruh mengucapkan kalimat
syahadat, ia justru berdiri dari tempat duduknya, kemudian Saridin mendekati
pohon kelapa yang ada di halaman pesantren, selanjutnya Saridin naik ke atas pohon
kelapa. Sesampai di atas dengan tanpa rasa takut Saridin menjatuhkan diri dari
atas pohon. Wusss....semua santri yang melihat adegan itu terkejut,
termasuk juga Sunan Kudus. Aneh bin ajaib, walau terjatuh dari atas pohon
kelapa yang cukup tinggi Saridin tidak cidera, bahkan ia hanya senyum-senyum
saja, seperti tidak terjadi apa-apa.
Kanjeng
Sunan Kudus bertanya kepada Saridin. “Saridin, apa yang kamu lakukan itu?
“Saya
sedang bersyahadat sebagaimana yang Kanjeng Sunan minta? Jawab Saridin enteng
Kisah Saridin di atas bisa jadi
benar bisa jadi hanya sebuah cerita kiasan saja, karena memang dalam khasanah
masyarakat Jawa sering menggunakan kiasan dan pralambang untuk menyampaikan
suatu hal. Namun yang pasti kisah Saridin di atas menjadi satu pelajaran
penting bagi kita, bahwa jika seseorang telah bersyahadat maka tidak ada sesuatu
yang membahayakan di dunia dan bagi kehidupan kita kecuali hanya Allah Swt,
semata. Dengan pengakuan syahadat maka tidak ada yang kita takuti kecuali hanya
takut kepada Allah Swt saja, sebagaimana syahadat yang dipraktekkan oleh
Saridin di hadapan gurunya Sunan Kudus.
Saya dan kita semua mungkin telah
bersyahadat lisan secara terus menerus, dalam sehari semalam setidaknya sepuluh
kali kita berikrar syahadat di dalam shalat kita, namun hati kita masih belum
yakin dengan haqqul yakin akan syahadat yang kita lafalkan. Walau kita
mengucapkan kalimat syahadat itu dengan tartil dan fasih namun nyatanya atsar
dari syahadat yang kita ucapkan belum memiliki dampak yang berarti bagi
kehidupan kita.
Betapa lisan ini mengatakan bersaksi
tidak ada Tuhan yang layak disembah kecuali Allah, “Laa ilaaha
illallah” namun perbuatan yang kita lakukan sehari-hari secara hakiki, belum
mencerminkan pengakuan itu, lain di hati lain dimulut. Ada banyak Tuhan yang
kita sembah, ada banyak Allah yang bersemayam di dalam dada kita.
Tuhan
itu bisa bernama harta, jabatan, popularitas, uang, atasan atau bos kita, perempuan,
mobil mewah, rumah megah dan seabrek kepentingan duniawi lainnya. Betapa
mudahnya lisan ini mengucapkan ‘Asyhadu an laa ilaaha illallah, tapi
pada kenyataannya ‘Asyhadu kita untuk selain Allah Swt. ‘Asyhadu
kita bukan lillah, tapi lighairillah.
Kalimat
Syahadat adalah kalimat yang sangat mudah dan ringan diucapkan oleh lisan,
tetapi pembenaran di dalam hati dan pengaplikasiannya di dalam amal perbuatan
sungguh berat. Karena jika kita telah bersyahadat maka konsekuensinya adalah
kita telah rela menerima segala aturan yang ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Jadi
syahadat tidak hanya berhenti pada persaksian lisan semata, namun harus
dibuktikan dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh
karena itu, ketika Rasulullah Saw, menawarkan dakwah kalimat syahadat ini
kepada orang-orang Makkah, maka Abu Lahab dengan lantang menolaknya.
تبّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ, أَمَا دَعَوْتَناَ إِلاَّ لِهذاَ ؟
Artinya :“Sesungguhnya celaka kamu sepanjang hari ini, hanya untuk inikah
kamu mengumpulkan kami ?.”
Karena
Abu Lahab paham betul tentang makna dari syahadat, tidak cukup hanya diucapkan
di lisan saja, namun harus diikuti dan dipertanggungjawabkan dengan tindakan
amal perbuatan. Penolakan Abu Lahab terhadap kalimat syahadat ini ternyata
tidak hanya menyinggung Nabi Muhammad, namun Allah pun tersinggung, sehingga
laknat kepada Abu Lahab diabadikan oleh Allah di dalam Al Qur’an pada surat Al
Lahab. Inilah pelajaran berharga bagi orang-orang yang menolak kalimat
syahadat.
Bersyahadat
berarti kita telah berikrar, kita telah bersumpah, berbaiat, dan kita telah
mengikat tali perjanjian dengan Allah Swt secara langsung. Jika kita telah
mengakui bahwa Al Ilah adalah Allah, maka apa yang kita harapkan, apa
yang kita takuti, apa yang kita cintai hanya semata Allah saja, tidak yang
lainnya.
Kita
hari ini lebih khawatir dimusuhi manusia daripada dimusuhi Allah, kita lebih takut
kekurangan harta benda daripada takut kepada Allah, kita lebih takut kehilangan
jabatan dibanding takut kehilangan Allah Swt, sehingga dengan segala daya dan
upaya harta kekayaan kita kumpulkan sebanyak-banyaknya, jabatan kita
pertahankan sekuat-kuatnya, bahkan kadang sampai tidak memperhatikan lagi
apakah harta dan jabatan itu didapat dengan cara yang halal ataupun haram.
Bahkan
lebih kacau dan menyedihkan lagi ada orang-orang yang mengatakan begini “Hari
gini mikir halal ataukah haram, yang haram saja susah dapatnya, apalagi yang
halal” naudzubillah min dzalik.
Begitulah
jika syahadat tidak dipahami dengan benar, sehingga syahadat hanya dianggap
sebagai bunga di bibir saja, dan tidak memberikan dampak positif bagi kehidupan
di dunia. Hari ini jabatan lebih banyak diperebutkan, popularitas, dan
kemewahan menjadi incaran setiap manusia, mereka lupa dengan syahadat yang
telah diucapkan, bahwa dengan syahadat seharusnya dunia tidak lebih berat
dibanding sepasang sayap seekor lalat.
Dengan
kalimat syahadat inilah seseorang mampu menanggung resiko kematian yang
menyakitkan sekalipun, dengan kalimat ini pula seseorang mampu bertahan dari
siksaan yang berat, dengan kalimat ini seseorang mampu dan berani meninggalkan
segala kemewahan duniawi, bahkan dengan kalimat ini pula pintu-pintu surga akan
terbuka.
Dalam
banyak kisah shohabiyah diterangkan demi tegaknya kalimat syahadat ini Bilal
bin Rabbah rela dipanggang diterik matahari padang pasir yang panas, demi
dakwah kalimat tauhid ini pula, Mush’ab bin Umair rela kehilangan kemewahan
dalam keluarganya, ia dikurung dan diboikot oleh keluarganya agar meninggalkan
agama Rasul. Demi kokohnya kalimat syahadat ini keluarga Yasir menanggung beban
siksa yang tak terperikan, seluruh keluarga mereka dibakar pada bara api yang
menyala-nyala.
Bahkan
Sumayyah, istri Yasir dibunuh secara kejam dengan ditusuk tombak pada bagian
kehormatannya oleh Abu Jahal, hingga Sumayyah menemui kesyahidannya. Sampai-sampai
Rasulullah Saw menghibur keluarga Yasir “Shabran Abal Yakhdzan, shabran ya
Ahla Yaasirin, Fa Inna Mauidakum Al Jannah” “Bersabarlah wahai Abu Yakhdzan,,
bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya tempat kalian kelak di surga. Allahu
Akbar.
Demi
mempertahankan kalimat tauhid ini pula Saad bin Abi Waqqash sampai menghadapi
aksi mogok yang dilakukan oleh ibunya sendiri. Hingga Saad yang sangat
mencintai ibunya itu harus mengatakan sesuatu yang menggetarkan penduduk
langit. “Wahai ibu demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu
persatu nyawa itu binasa. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikitpun.
Makanlah wahai ibu...jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan
ibu.” Dari peristiwa ini, Allah Swt, menurunkan salah satu dari surat Al
Qur’an, surat Luqman ayat 15 :
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
Artinya
: “Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS: Luqman Ayat: 15).
Begitulah,
betapa dahsyatnya efek kalimat syahadat yang telah diucapkan dan menyatu dengan
jiwa dan raga seorang hamba yang meneguhkan keimanannya, hingga tidak ada
sesuatupun di dunia ini yang mampu menghalang-halangi, bahkan kematian
sekalipun. Hanya pahala dan surga yang menjadi balasan bagi orang-orang yang
bersyahadat dengan sebenar-benar
syahadat.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw
bersabda :
مَنْ قَالَ لَا اِلهَ اِلّا الله خَالِصًا مُخْلِصًا دَخَلَ
الْجَنَّةَ.
Artinya
: “Barangsiapa mengucapkan ‘Laa ilaha illallah’ dengan ikhlas semata-mata
karena Allah, maka dia masuk surga.”
Hadits di atas menyatakan pengucapan
kalimat syahadat harus dengan ikhlas semata-mata karena Allah, maka dia akan
masuk surga. Ikhlas di sini bermakna ridha dengan segala ketentuan yang datang
dari Allah Swt, baik berat maupun ringan, baik suka maupun tidak suka.
Jika
Allah telah menjadi titik tolak dari segala tindakan dan perbuatan manusia yang
bersyahadat, maka layak bagi seorang hamba untuk memegang ‘miftahul jannah
Laa ilaha illallah’ kunci surga adalah kalimat persaksian tiada Tuhan
selain Allah. Oleh karena itu mari berislam yang tidak sekedar di lisan namun
juga menjadi sebuah keyakinan yang menghunjam di lubuk hati yang paling dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar